Penerapan Etnologi (Bahasa) dalam Mengkaji Keberagaman, Konsep, Ragam, Hubungan dan Folklor

Perkalian dan Pembagian Bilangan Desimal, Contoh dan Cara Menghitungnya (Rangkuman Materi Matematika SD/MI Kelas 4 Bab 16) Kurikulum Merdeka

Penerapan Etnologi (Bahasa) dalam Mengkaji Keberagaman | Konsep Dasar Bahasa | Ragam Bahasa di Indonesia | Hubungan Antara Bahasa dan Budaya | Folklor Indonesia |

Konsep Dasar Bahasa

Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa memiliki kebutuhan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Dalam berinteraksi dengan sesama, manusia menggunakan alat untuk berkomunikasi yang disebut dengan bahasa. Bahasa memudahkan individu untuk memahami dan menangkap maksud, makna, atau pesan yang disampaikan oleh individu lainnya. Bahasa dapat dipahami sebagai sistem bunyi yang apabila digabungkan menurut aturan tertentu dapat menimbulkan arti yang dapat dipahami dan ditangkap oleh pengguna bahasa atau orang yang berbicara dengan bahasa tersebut.

Menurut Crystal (1971, 1992) dalam Mahadi (2012), istilah bahasa merujuk pada penggunaan suara, tanda, atau simbol tertulis yang sistematis dan konvensional dalam masyarakat manusia untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri. Bahasa sebagai pembawa makna atau sistem makna simbolik, yang digunakan untuk mengkomunikasikan makna dari satu pikiran ke pikiran yang lain. Satu kata dalam beberapa bahasa dapat diinterpretasikan secara berbeda, tergantung pada konteks sosial budaya yang menyertainya. Konteks budaya tersebut berkaitan dengan status sosial, aktivitas, usia, lokasi geografis maupun gender dapat memengaruhi variasi bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa.


Dalam penggunaan bahasa secara lisan, hasil tutur dapat berkembang menjadi beragam variasi yang disebut dengan dialek. Menurut Chaer & Agustina (1995) dalam Junaidi et al. (2016), dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur bahasa yang berjumlah relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah atau area tertentu, atau disebut dengan dialek regional. Terminologi dialek berasal dari kata “dialektos” yang dalam bahasa Yunani berarti varian dari bahasa yang sama. Dialek merujuk pada perbedaan dari variasi bahasa, yang meliputi perbedaan penggunaan tata bahasa, aspek pengucapan, kosa kata, dan makna kata antara penutur bahasa di satu daerah dengan daerah lainnya.

Dialek atau variasi bahasa di mana masyarakat atau penutur bahasa pada masing-masing tempat memiliki aksen atau pengucapan bahasa yang berbeda. Pada dasarnya setiap penutur bahasa tidak hanya menggunakan satu variasi bahasa atau dialek saja, melainkan beberapa dialek. Dialek yang digunakan oleh seseorang sangat berkaitan dengan tempat atau daerah di mana penutur tersebut tinggal, usia, jenis kelamin, maupun status sosialnya. Selain dialek, penutur bahasa juga memiliki warna suara, gaya bahasa maupun penyusunan kalimat yang berbeda, sebagai ciri khas yang dimiliki oleh penuturnya, yang disebut dengan istilah idiolek.

Ragam Bahasa di Indonesia

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di dunia sangat beragam, yang kemudian dapat dikelompokkan ke dalam satu rumpun bahasa yang memiliki asal-usul leluhur yang sama. Terdapat beberapa sub rumpun bahasa di dunia, yang terdiri atas rumpun bahasa Indo-Eropa, rumpun Sino-Tibetan, rumpun Niger-Kongo, rumpun Austronesia, rumpun Dravida, rumpun Afro-Asiatik, rumpun Chari-Nul, rumpun Fino-Ugris, rumpun Altai, rumpun Amerindia, dan masih banyak lagi. Bahasa-bahasa yang ada di dunia ini bersifat divergensive atau dengan cepat memecah dan menyebar menjadi bahasa baru yang lebih banyak atau terus berkembang, namun sebaliknya bahasa juga dapat mengalami kepunahan karena tidak lagi digunakan oleh penuturnya yang beralih menggunakan bahasa lain (Dyastiningrum, 2009).

Ragam Bahasa di Indonesia Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di dunia sangat beragam, yang kemudian dapat dikelompokkan ke dalam satu rumpun bahasa yang memiliki asal-usul leluhur yang sama. Terdapat beberapa sub rumpun bahasa di dunia, yang terdiri atas rumpun bahasa Indo-Eropa, rumpun Sino-Tibetan, rumpun Niger-Kongo, rumpun Austronesia, rumpun Dravida, rumpun Afro-Asiatik, rumpun Chari-Nul, rumpun Fino-Ugris, rumpun Altai, rumpun Amerindia, dan masih banyak lagi. Bahasa-bahasa yang ada di dunia ini bersifat divergensive atau dengan cepat memecah dan menyebar menjadi bahasa baru yang lebih banyak atau terus berkembang, namun sebaliknya bahasa juga dapat mengalami kepunahan karena tidak lagi digunakan oleh penuturnya yang beralih menggunakan bahasa lain (Dyastiningrum, 2009).

pada saat ini, seperti kerajaan Sriwijaya. Pada zaman penjajahan Belanda, penggunaan Bahasa Melayu berkembang pesat di Indonesia dan digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan dan komunikasi dalam surat kabar. Kemudian bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia melalui Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta (Repelita, 2018).

Selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, masyarakat Indonesia juga menggunakan beragam bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Keragaman bahasa daerah yang ada di Indonesia ini tidak terlepas dari konsekuensinya sebagai negara kepulauan dengan letak geografis yang terpisah oleh lautan, sehingga masyarakat pada masing-masing daerah mengembangkan budaya dan bahasa yang berbeda. Berdasarkan data statistik kebahasaan tahun 2018 dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud (2019), terdapat 750 bahasa daerah di Indonesia, yang menjadikan bangsa Indonesia kaya akan bahasa daerah.

  • Sumatra : Bahasa Aceh, Minangkabau, Melayu, Lematang, Alas, Angkola, Batak, Enggano, Gayo, Karo, Kubu, Lampung, Lom, Mandailing, Mentawai, Kerinci, Orang Laut, Pak-Pak, Nias, Riau, Sikule, Simulur, Rejang Lebong.
  • Kalimantan : Bahasa Banjar, Bahau, Iban, Bajau, Melayu, Kayan, Milano, Klemautan, Kenya, Ot-Danum.
  • Sulawesi : Bahasa Bugis, Makassar, Muna, Mandar, Minahasa, Bubgkumori, Landawe, Toraja, Laki, Gorontalo, Mapute, Bulanga, Buol, Kaidipan, Banggai, Balantak, Babongko, Loinan, Butung, Bonerate, Kalaotoa, Karompa, Layolo, Luwu, Walio, Pitu, Sa’dan, Uluna, Seko, Selo, Bantik, Mongondow, Sangir, Taulad, Tambalu, Tondano, Tambatu, Tontembun, Tompakewa, Tomini, Bada Besona, Kail, Leboni, Napu, Pilpikiro, Watu.
  • Jawa : Bahasa Jawa, Madura, Sunda.
  • Bali : Bahasa Bali dan Bahasa Sasak.
  • Nusa Tenggara : Bahasa Sasak, Sumbawa, Sumba, Timor, Tetun.
  • Maluku : Bahasa Banda, Alor, Aru, Ambelan, Buru, Belu. Goram, Golali, Kadang, Helo, Kai, Kroe, Kaisar, Leti, Lain, Pantar, Rote, Roma, Solor, Tanibar, Ternate, Tidore, Wetar, Windesi, Tetun, Timor.
  • Papua : Bahasa Sentani, Awban, Korowal, Tokuni, Biak, Kuri.

Ragam bahasa daerah tersebut digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, di mana masingmasing bahasa daerah memiliki tata aturan bahasa dan makna atau arti kata yang berbeda antara bahasa daerah satu dengan yang lain. Dengan demikian, terdapat perbedaan pemahaman masyarakat mengenai segala hal yang ada dalam kehidupan sosial budaya penutur bahasa daerah dengan penutur di wilayah lain. Perhatikan ilustrasi berikut ini untuk memahami contoh perbedaan pemahaman masyarakat mengenai suatu kata dalam bahasa daerah yang berbeda.

Salah satu contoh perbedaan pemahaman masyarakat mengenai makna suatu kata menurut bahasa daerahnya, misalnya dalam bahasa Sunda. Seseorang meminta orang lain dengan mengucapkan, “Cokot kalengna!” berarti ambil kalengnya, kemudian ditanggapi dengan kata “Atos” yang berarti sudah. Sedangkan dengan bahasa Jawa, seseorang yang mengucapkan atau meminta orang lain dengan mengucapkan kata “Cokot Kalenge!” berarti gigitlah kalengnya, kemudian akan ditanggapi dengan kata “Atos” yang berarti keras. Hal ini menunjukkan bahwa satu kata pada bahasa daerah lain dapat merujuk arti yang berbeda, sehingga pemahaman masyarakat akan kata tersebut serta respon yang diberikan pun akan berbeda.

Di samping itu, penutur bahasa daerah yang sama dapat memiliki variasi dalam pengucapan bahasa atau aksen yang berbeda pada satu tempat dengan tempat lainnya atau yang disebut dengan dialek. Berikut ini merupakan contoh dari salah satu dialek bahasa daerah di Indonesia.

Salah satu dialek atau variasi bahasa Jawa yang dipergunakan oleh masyarakat di wilayah Banyumas bahkan hingga ke daerah CirebonIndramayu atau yang disebut dengan bahasa Ngapak. Ngapak adalah salah satu variasi bahasa Jawa yang unik dengan logat atau aksen penggunaan bahasa yang agak berbeda dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa pada daerah lainnya. Penutur variasi bahasa Ngapak ini berjumlah 12-15 juta penutur. Adapun perbedaan utama dialek bahasa Ngapak dengan dialek bahasa Jawa umumnya terletak pada pengucapan kata yang berakhiran dengan huruf a tetap diucapkan dengan bunyi a, bukan o, seperti pengucapan ‘’songo” (sembilan) pada dialek bahasa Jawa daerah Solo dan Jogja. Sedangkan dialek bahasa Jawa Ngapak diucapkan dengan kata “sanga”. Selain itu pengucapan kata berakhiran huruf k dalam dialek bahasa Jawa Ngapak cenderung dibaca dengan jelas dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa lainnya.

Hubungan Antara Bahasa dan Budaya

Seperti yang telah kalian pelajari sebelumnya, keragaman bahasa dan penggunaan bahasa di berbagai daerah membawa implikasi berupa perbedaan pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan akan dunianya. Sedangkan pengetahuan masyarakat mengenai dunianya sangat berkaitan dengan konteks sosial dan budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, perlu untuk mengetahui hubungan antara bahasa dan budaya dalam memahami fenomena maupun nilai budaya dalam masyarakat.


Bahasa merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan masyarakat (Koentjaraningrat, 1990). Menurut Koentjaraningrat (1990), kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, maupun hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diperoleh dengan belajar. Budaya memungkinkan orang untuk melekatkan makna pada tindakan manusia, yang menjadi semacam pedoman bagi perilaku manusia dengan menyediakan seperangkat aturan. Bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan budaya, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1991). Bahasa juga menjadi kekayaan sebagai ciri khas suatu kebudayaan, yang dapat membedakan kebudayaan di satu daerah dengan daerah lainnya. Bahasa menjadi sarana bagi masyarakat untuk saling berbagi pengalaman, keyakinan, dan pengetahuan yang dikomunikasikan dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam arti, suatu kelompok masyarakat mentransmisikan kebudayaan melalui bahasa.

Bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan, karena bahasa terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda menurut budaya. Masyarakat menggunakan bahasa untuk menyampaikan makna dalam percakapan, tetapi cara dalam menggunakan bahasa ini dapat bervariasi dari satu budaya ke budaya lainnya. Kompleksitas bahasa berkaitan dengan kelompok masyarakat penggunanya beserta nilai-nilai, identitas, dan pandangan dunia yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut. Anggota dari kelompok masyarakat dengan budaya yang berbeda tidak hanya berbicara dalam bahasa yang berbeda tetapi juga memiliki cara yang berbeda dalam menggunakan bahasa yang mereka gunakan, tergantung pada latar belakang etnis dan kelas, wilayah geografis, jenis kelamin, dan pengaruh lainnya.

Adapun kegunaan bahasa dalam budaya, bahasa dapat berfungsi sebagai ekspresi seni untuk mengiringi seni tari, dalam penyelenggaraan kegiatan adat istiadat dengan menggunakan bahasa daerah setempat, dan dalam penyelenggaraan ritual keagamaan, seperti peringatan kematian, kelahiran maupun pernikahan (Sugianto, 2017). Kebudayaan masyarakat dapat dipelajari melalui bahasa yang digunakan, maka diperlukan pemahaman mengenai bahasa lokal atau bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk mempelajari setiap aspek budaya yang ada pada masyarakat atau komunitas lokal tertentu.

Menurut Vincent Ostrom dalam Chmielewski (1993), bahasa memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai pembawa konten pembelajaran tertentu dan sebagai faktor penting yang menciptakan, membentuk kembali dan mengikat hubungan sosial. Fungsi pertama bahasa sebagai pembawa konten pembelajaran dalam proses transmisi budaya. Hal ini berarti bahwa bahasa sebagai elemen dasar budaya, sehingga budaya dipelajari oleh antropolog untuk menggambarkan bahwa proses pembelajaran biasanya menggunakan istilah-istilah seperti sosialisasi, enkulturasi, atau dalam kasus akulturasi pembelajaran antarbudaya, yang ditransmisikan melalui simbol, yaitu melalui bahasa. Bahasa menjadi kendaraan atau alat khusus untuk mentransmisikan konten budaya tertentu, seperti kebiasaan, kepercayaan, tradisi dan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi, individu ke individu lainnya, kelompok ke kelompok lain maupun satu budaya ke budaya lain. Sedangkan fungsi kedua yaitu bahasa sebagai dasar untuk menetapkan aturan, sehingga individu yang berbeda budaya dapat bertindak dengan harapan bahwa orang lain akan berperilaku sesuai dengan aturan tersebut (Chmielewski, 1993).

Etnolinguistik memandang bahwa bahasa dan dunia sosial saling membentuk sampai pada tingkat tertentu. Etnologi linguistik menganggap bahasa sebagai titik masuk untuk mempelajari keterkaitan antara budaya, bahasa, dan perbedaan sosial. Tujuan etnolinguistik untuk memahami berbagai variasi aspek bahasa sebagai seperangkat praktik budaya (cultural practices), yang merupakan sebuah sistem komunikasi (Mahadi, 2012). Etnolinguistik sebagai bagian dari linguistik dan etnografi (antropologi budaya) mempelajari komunikasi dan interaksi bahasa dengan budaya spiritual dan kesadaran masyarakat, adat istiadat, dan pemahaman dunia mereka (Vorobyov, Zakirova, Anyushenkova, Digtyar, & Reva, 2020).

Kelahiran etnologi linguistik ini berkaitan erat dengan hipotesis Sapir dan Whorf (Ahimsa-Putra, 2001) mengenai relativitas bahasa (linguistic relativism). Hipotesis relativitas bahasa ini berfokus pada hubungan antara bahasa dan pikiran. Cara setiap orang memandang dunia ditentukan seluruhnya atau sebagian oleh struktur bahasa ibu mereka sendiri. Konsep relativitas bahasa ini menyatakan bahwa bahasa-bahasa yang berbeda, baik dalam kosa kata maupun strukturnya, menempatkan, dan menyampaikan makna budaya yang berbeda pula (Mahadi, 2012). Relativitas bahasa memandang bahwa pandangan seseorang mengenai dunia dan budayanya, perlu dipahami melalui bahasa ibu orang tersebut, sehingga pemahaman akan bahasa menjadi penting untuk dilakukan untuk menggali struktur pandangan dunia seseorang.

Melalui etnolinguistik, kebudayaan masyarakat, dan pengetahuan masyarakat akan dunianya dapat dipahami dengan mengkaji bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat. Melalui etnologi linguistik, antropolog dapat mengkaji struktur dan penggunaan bahasa untuk mengungkapkan makna budaya, pengetahuan, kepercayaan, dan pandangan penutur bahasa akan budayanya. Etnologi linguistik memudahkan peneliti dalam memahami keragaman budaya melalui pemahaman akan bahasa yang digunakan masyarakat.

Sebagai contoh dalam mengkaji makna budaya yang terkandung dalam sistem penamaan anak di Bali dapat dilihat pada struktur bahasa yang terkandung pada nama masyarakat Bali. Misalnya pada nama seorang gadis Bali yang menjadi Korea Idol pertama dari Indonesia, yaitu Dita Karang dari Secret Number. Dita Karang memiliki nama asli Anak Agung Ayu Puspa Aditya Karang. Nama tersebut mencerminkan identitas dirinya sebagai bagian dari golongan sosial masyarakat tertentu. Dengan mengkaji struktur morfologis, yaitu dengan melihat kata sandang dari kata awal nama Dita, yaitu Anak Agung, dapat diketahui bahwa Dita berasal dari keluarga bangsawan Bali atau kasta ksatria. Kata sifat dapat dilihat pada kata ketiga dari unsur nama Dita, yaitu Ayu, yang merupakan kata sifat berarti cantik sekaligus menunjukkan jenis kelamin dari pemilik nama tersebut sebagai perempuan. Sedangkan, apabila ditinjau dari struktur semantik pada kata ketiga hingga kelima dari unsur nama Dita, yaitu Puspa (bunga), Aditya (matahari, pandai, bijaksana), Karang (koral, pohon, kediaman), menyiratkan makna pengharapan dari pemberi nama bagi Dita. Dengan demikian, nama Anak Agung Ayu Puspa Aditya Karang dapat diinterpretasikan maknanya sebagai ‘seorang anak gadis, berasal dari golongan ksatria atau bangsawan, yang kelak ketika besar diharapkan menjadi seseorang bagaikan pohon bunga yang pandai dan bijaksana.

Folklor Indonesia

Tradisi marumpasa merupakan tradisi berbalas pantun sebagai tradisi lisan yang masih dilestarikan oleh masyarakat Batak Toba. Umpasa merupakan salah satu ragam bahasa lisan berupa pantun yang berisikan kebaikan, doa restu, nasihat, dan permohonan baik yang dipanjatkan kepada Tuhan, dengan harapan umpasa yang dituturkan dapat menjadi berkat bagi penerimanya. Tradisi marumpasa biasanya dilakukan dalam berbagai upacara adat masyarakat Batak, seperti pesta pernikahan, kelahiran, kematian, panen, acara memasuki rumah, dan lain-lain. Umpasa dituturkan oleh “penatua adat” atau orang yang memiliki pengetahuan mengenai adat. Tradisi bertutur umpasa juga terdapat pada suku Batak lain, suku Karo, dan suku Mandailing. Hanya saja, penyebutan nama umpasa berbeda-beda pada masing-masing wilayah tersebut. Pada masyarakat Karo umpasa disebut dengan ndung-dungen, pada masyarakat Batak Pak-Pak dan Batak Simalungun juga disebut dengan umpasa atau uppasa, sedangkan pada masyarakat Mandailing disebut dengan pantun.

Berikut ini adalah salah satu bait umpasa atau pantun pada masyarakat Batak Toba:

Bintang na rumiris, (Bintang yang berjejer rapi atau berjumlah banyak)

Ombun na sumorop. (Embun yang mengendap)

Anak pe antong riris, (Anak pun banyak)

Baru pe antong torop. (anak laki-laki dan perempuan).

Menurut Simanjuntak, makna dari umpasa di atas berkaitan dengan kedudukan laki-laki yang dianggap sangat penting, sebagai penerus marga ayahnya. Umpasa tersebut menyiratkan adanya sistem patrilineal yang diyakini masyarakat Batak Toba, sebagaimana baris dalam umpasa tersebut menyebutkan bintang yang mempunyai arti menduduki tempat tinggi atau berada di atas dan bersinar, berarti memperoleh keberhasilan. Umpasa di atas memiliki arti bahwa keberadaan anak laki-laki pada masyarakat Toba dapat bersinar dan berhasil.

Tradisi marumpasa merupakan salah satu bentuk folklor Indonesia. Apakah kalian mengenal istilah folklor? Kata folklor berasal dari Bahasa Inggris folklore yang merupakan kata majemuk dari kata folk dan lore. Kata folk sama artinya dengan kata kolektif. Secara sederhana, folklor ini merupakan bentuk tradisi lisan yang diwariskan turun temurun pada satu kebudayaan atau komunitas. Tentunya Indonesia memiliki kekayaan folklor yang menarik untuk dikaji. Menurut Alan Dundes (Dananjaya, 1991: 1), merupakan sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan Jan Harold Brunvand (Dananjaya,1991) mendefinisikan folklor adalah sebagai kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun aktivitas contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

Baca Kumpulan: Rangkuman Antropologi Kelas 11 SMA

Related posts