Pemikiran Plato Tentang Pendidikan dan Penelitian Tentangnya

Pemikiran Plato

Pemikiran Plato Tentang Pendidikan | Makalah Pemikiran Plato Tentang Pendidikan | Penelitian Pemikiran Plato Tentang Pendidikan  |

Pemikiran Plato Tentang Pendidikan

Pada jenjang pendidikan dasar, Plato menekankan pentingnya mousike bagi jiwa dan gymnastike untuk tubuh. Perlu diketahui bahwa mousike tidak hanya terbatas pada seni musik semata, namun juga segala bentuk sastra termasuk puisi, syair, dan teatral (tragedi dan komedi). Ada beberapa cara mengekspresikan mousike, salah satunya dengan cerita-cerita mitos. Mitos dapat menjadi pilihan dalam mendidik anak dari hati. Dengan mitos anak didik akan menemui banyak kisah tentang peringatan, penggambaran dewa atau pahlawan, pujian maupun sanjungan dari orang-orang baik di masa lalu. Dalam hal ini, pendidik harus berhati-hati dalam menceritakan mitos kepada anak didik, karena ingatan mereka cukup kuat dalam menagkap informasi sehingga sukar dihilangkan dan susah diubah. Dengan pertimbangan itu, mitos yang akan diceritakan kepada anak didik sebelumnya harus dipilih secara selektif, sebab tidak semua cerita di dalamnya berunsur baik.

Secara tegas Plato menolak mitos yang berisi kematian (termasuk proses pembusukan manusia, di alam bawah atau hades), kebencian-kebencian, dan kesedihan-kesedihan, karena calon pemimpin harus memiliki kebebasan berpikir (dalam arti positif) serta takut akan adanya perbudakan dan bersifat menindas. Plato meminta untuk menghapus mitos yang berkisah tentang dewa-dewa yang kehilangan batas diri atau pahlawan yang suka korupsi dan gemar melakukan tindak asusila. Baginya cerita itu palsu dan jahat, bagaimanapun para dewa dan pahlawan mustahil jika melakukan perbuatan tidak senonoh. Plato juga menegaskan bahwa yang Illahi tidak akan pernah menampilkan kejahatan. Maka dari itu, Plato tidak bertanggung jawab atas suatu kejahatan.


Pengekspresian muosike selanjutnya melalui puisi dan syair. Untuk permulaan, Plato menganjurkan berlatih deklamasi narasi secara sederhana, imitatif, dan gabungan keduannya terkait imitasi representasi artistik. Selain itu, ada pula deklamasi berupa dialog, yang disebut sebagai seni tragedi dan komedi. Teatral merupakan drama yang menceritakan kisah-kisah puitis dalam sebuah gelanggang. Pemeran laki-laki dalam drama tidak boleh memerankan tokoh perempuan dan begitupun sebaliknya. Dalam memainkan peran, anak didik secara total harus meniru tokoh yang dikisahkan pada alur cerita. Namun, anak didik perlu memilih tokoh dengan karakter yang baik, berani, disiplin, bebas, dan tidak meniru perilaku yang buruk, seperti perbudakan maupun penindasan. Aktivitas mencontoh atau meniru merupakan sesuatu yang penting, karena akan menjadikan habitus pada diri, mulai dari sifat, ucapan, dan pikiran. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan musabab yang ada, Plato hanya mengizinkan meniru orang-orang baik, dan menolak mencontoh orang-orang yang rendah. Plato juga menganjurkan calon pemimpin di setiap polis meneladani keutamaan-keutamaan atau kebaikan-kebaikan tokoh. Pembiasaan-pembiasaan baik kepada jiwa dan tubuh dengan frekuensi yang tinggi, dapat menumbuhkan hasrat anak didik menuju yang diinginkan.

Sehubungan dengan musik, Plato melarang anak didik mendengarkan genre harmoni Lydia yang cenderung melo dan sedih. Tidak jauh berbeda, genre harmoni Ionia juga dinilai tidak cocok jika digunakan untuk mendidik para calon pemimpin, sebab hanya pantas diputar saat berbincang santai dan berpesta. Plato menganggap musik Dorian dan Phrygialah merupakan jenis musik yang tepat untuk mendidik calon pemimpin, karena dapat memantik keberanian dalam menghadapi krisis hidup, kematian, dan menjadi pecinta keindahan. Selain itu, Plato beranggapan bahwa musik sebagai sarana pendidikan calon pemimpin agar dijauhkan dari unsur penyebab kemalasan dan merasa cepat puas. Sehingga Plato meminta jenis musik yang berbahaya dihilangkan.

Menurut Plato, alat musik yang paling sesuai untuk mendidik calon pemimpin adalah lira dan sejenis seruling kecil. Secara tegas Plato menolak alat musik jenis flute. Plato menyarankan instrumen harmoni musik yang dipakai cukup menggunakan alat yang sederhana. Hal ini bertujuan apabila negara ideal terwujud, tidak perlu lagi mempertahankan profesi-profesi pembuat alat-alat poliharmonis. Selain itu, Plato juga mengajak individu memahami ritme untuk mendukung keteraturan dan rasa keberanian (Plato). Plato yakin, ritme sangat berpengaruh kepada jiwa, baik harmonis maupun disharmonis. Keharmonisan ritme akan menghasilkan wacana yang tersusun dengan baik, keselarasan, dan keanggunan karakter. Berbanding terbalik dengan ritme yang terkesan disharmonis, justru akan menjerumuskan individu pada wacana buruk dan sifat tercela.

Plato berpendapat bahwa sesungguhnya sifat terpuji dan disiplin muncul dari ritme yang indah. Calon pemimpin yang bernalar rasional dan memiliki kepekaan sosial akan selalu ada seiring dengan hadirnya musik dan puisi beritme bagus. Inilah kemudian yang menjadi alasan Plato jika mousike sangatlah penting bagi setiap anak. Bahkan sejak dini, anak-anak seharusnya sudah diberi pemahaman tentang mousike untuk menyiapkan insan kalos kagathos di masa depan. Hingga sampai pada puncak pendidikan mousike, yaitu cinta pada keindahan. Bagaimanapun mousike berpengaruh besar pada kehidupan, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai pemain mousike jika belum bisa mengenali bentuk dan format dari keugaharian, keberanian, kebebasan, integritas, serta segala sesuatu yang berlawanan dengannya. Dari dua pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan calon pemimpin semestinya diawali dengan mempelajari mousike, yang bertujuan menanamkan karakter yang berbudaya dan bermoral.

Setelah pendidikan mousike selesai di usia dini sampai tujuh belas tahun, kemudian Plato menggiring anak didik mempelajari gymnastike dalam rentang usia delapan belas hingga dua puluh tahun. Gymnastike hanya bertujuan untuk menyempurnakan jiwa, bukan tubuh. Sebab, tubuh yang baik tidak menjamin adanya jiwa yang bagus. Sebaliknya, jiwa yang baik menjamin adanya tubuh yang bagus. Seperti yang telah disinggung di awal, bahwa postulat pendidikan filsafat Plato terletak pada jiwa, sehingga tidak benar jika dikatakan gymnastike dapat menyempurnakan tubuh dan jiwa. Di bagian ini, untuk pertama kalinya Plato membahas tentang makanan dalam mengolah fisik, seperti melarang menenggak minuman keras, karena mengandung alkohol yang dapat memabukkan. Selain itu menjaga tubuh agar tetap sehat, diet makan, kuat begadang, memiliki pendengaran dan penglihatan yang tajam, serta siap sedia dalam menghadapi tugas-tugas militer merupakan bagian penting dari menjaga tubuh. Dalam kegaiatan diet makan di serangkaian program latihan fisik, Plato melarang memakan makanan yang berbau amis, berlebih-lebihan dalam makan, dan menahan diri dari godaan hubungan seksual. Menjadi hal yang menarik bahwa Plato mengatakan kesederhanaan dalam makan turut menjadi wasilah menjaga kesehatan diri anak didik. Plato juga memperingatkan agar merawat tubuh sewajarnya, seperti halnya memberikan obat pada seorang pasien dengan dosis yang ditentukan.


Plato kembali menegaskan, tujuan utama gymnastike bukanlah melatih fisik, namun untuk kepentingan jiwa. Jika tanpa latihan fisik, individu cenderung gegabah, dan pemarah. Anak yang tidak bisa mengarahkan thumos melalui latihan fisik, akan tumbuh menjadi individu penakut, begitu pun sebaliknya. Proses-proses itu tidak dapat dipisahkan dari kegiatan mousike. Dalam menyampaikan materi mousike dan gymnastike kepada anak didik, pendidik perlu memperhatikan takaran, jika berlebih akan membuat karakter anak tidak terkendali dan malas.

Filsafat idealisme Plato terhadap pendidikan, antara lain:

  1. Pendidikan sebagai proses maupun hasil. Sebagai proses, pendidikan bertugas dan berfungsi menyiapkan manusia yang berkemampuan hidup di masyarakat. Fungsi ini dilimpahkan pada lembaga pendidikan, karena diasumsikan bahwa manusia dibagi dalam tiga kelas yang berbeda. Jadi kebutuhan dibedakan oleh masing-masing individu bertanggungjawab dan fungsi lembaga pendidikan diletakkan pada tempat yang proporsional. Selanjutnya sebagai hasil, lembaga pendidikan memiliki fungsi pembentuk yakni menghasilkan individu yang mampu berkontemplasi atau merenung dan berpikir dengan penuh perhatian dengan alam idea yang abstrak, raja philosof, yang menjadikan sesuatu itu sesuai dengan seluruh keuntungan pengetahuan yang benar dari kebaikan yang absolut. Pandangan ini terkesan klasik, Plato justru terkenal dan meletakkan pandangan baru bagi para ahli bahwa filsafat diperuntukkan juga untuk memberi perlakuan pada masalah pendidikan.
  2. Belajar merupakan proses menemukan. Di mana peserta didik dirangsang untuk mengemukakan kembali kebenaran yang telah dipresentasikan melalui pikirannya. Ketika materi yang diberikan terlalu banyak, apalagi dengan konsep yang tak menarik hati, maka peserta didik akan kian cepat jenuh. Padahal kejenuhan dalam belajar adalah awal penghambat atau pertentangan pada materi yang diberikan. Perlu disadari bahwa peserta didik tidak semuanya sama kecerdasan, ada yang berkarakter pemberontak, ketidakmampuan menyerap banyak materi, karena bervariasinya potensi dan bakat sebagaimana. Padahal peserta didikmempunyai hak untuk menggunakan semuapotensi dirinya untuk mencapai apapunyang mereka mau dan bisa dilakukan, berekspresi, termasuk bermain-main terutama pada usia anak-anak. Jika pendidikan tanpa memperhatikan potensi atau bakat, peserta didik hanya akan menjadi korban idealisme tujuan pendidikan dan korban dari orang tua yang memaksa anaknya menjadi yang terbaik. Ketika ingin memberi yang terbaik takperlu dengan memaksa, tapi dengan menyesuaikan potensi, bakat, dan kemampuan peserta didik. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar pesertadidik menjadi senang belajar.
  3. Tujuan pendidikan. Pendidikan yangmenitikberatkan pada idealisme akanmerumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian manusia yang berkepribadianmulia dan memiliki taraf hidup kerohanianyang tinggi dan ideal.
  4. Seorang pendidik berfungsi sebagai contoh moral dan budaya terhadap nilai-nilai yangmewakili ekspresi individu yang tertinggi dan terbaik serta pengembangan kemanusiaan.
  5. Peserta didik dipandang sebagai suatu diri mikrokosmik (jagat cilik) yang berada dalam proses menjadi diri absolut. Memanfaatkan kebiasaan yang diberikanuntuk mengembangkan kepribadian danbakat. Oleh karenanya peserta didik akanberjuang serius demi mencapai kesempurnaan karena person ideal danpeserta didik perlu diberi bekal pemahamanmana yang baik dan mana yang buruk.

Beberapa Penelitian Pemikiran Plato Tentang Pendidikan

Berikut adalah beberapa penelitian “Pemikiran Plato Tentang Pendidikan” :

Filsafat Idealisme (Implikasinya Dalam Pendidikan), oleh Rusdi

Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Rusdi dengan judul Filsafat Idealisme (Implikasinya Dalam Pendidikan) dalam jurnal.

Pada bagian ini dikemukakan bahwa idelisme adalah suatu aliran filsafat yang berpandangan bahwa dunia ide dan gagasan merupakan hakikat dari realitas. Realitas sesungguhnya tidak terdapat pada objek materi, tetapi terdapat dalam alam pikiran ide. Meskipun idealisme menganggap bahwa yang hakikat adalah ide. ia tetap mengakui adanya materi. Namun menurutnya, yang utama adalah dunia ide. karena ide terlebih dulu ada sebelum materi. Aliran filsafat ini, kemudian berimplikasi dalarn bidang pendidikan. Bangunan filsafat tersebut membentuk sebuah pemahaman bahwa pendidikan dikonstruk berdasarkan ide-ide yang bersifat abstrak yang lebih mengedepankan akal pikiran dan moral.

Epistemologi Idealisme Plato; Implikasi Terhadap Lahirnya Teori Fitrah Dalam Pendidikan Islam, oleh Nuthpaturahman

Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Nuthpaturahman dengan judulEpistemologi Idealisme Plato; Implikasi Terhadap Lahirnya Teori Fitrah Dalam Pendidikan Islam dalam Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Vol 15 No.28 Oktober 2017

Bagi Plato, pengetahuan merupakanbawaan dalam diri kita yang sejatinya terdiri dari konsep atau idea-idea yang telah ada dalamkepala kita. Maka peserta didik harus dirangsang untuk mengemukakan kembali kebenaran yang telah dipresentasikan melalui pikirannya. Ketika materi yang diberikanterlalu banyak, tidak memperhatikan potensi atau bakat, apalagi konsepnya tidak menarikhati, maka peserta didik akan cepat jenuh. Danjustru peserta didik hanya akan menjadi korban idealisme tujuan pendidikan dankorban dari orangtua yang memaksa anaknyauntuk menjadi yang terbaik menurut mereka.

Filsafat Pendidikan Politik Plato Sebagai Cara Untuk Menyiapkan Calon Pemimpin Indonesia, oleh Andika Setiawan

Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh dengan judul, dalam Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama Vol. 13 No. 1 (2021) 93-106

Sasaran utama filsafat pendidikan politik Plato adalah jiwa, maka program pendidikan (paideia) untuk menyiapkan calon pemimpin mengisyaratkan sebuah artifisial (mimesis, imitasi) yang diperoleh lewat mousike dan gymnastike untuk mengarahkan thumos. Jiwa selalu mengikuti apa yang diarahkan. Mousike, gymnastike, dan dialektika merupakan sebuah paidia (permainan) yang menjadi perpaduan dalam proses pendidikan tersebut. Dialektika dalam alegori gua menjadi komponen yang penting untuk bekal anak didik sebelum terjun ke dalam masyarakat. Selain dialektika, ilmu perhitungan seperti matematika juga dibutuhkan. Unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan dengan wilayah pembahasan rumusan kurikulum 2013, sehingga keduanya dapat diintegrasikan. Pembacaan teks Al-Barzanji atau lagu-lagu rohani sesuai dengan kepercayaan anak didik, ialah bagian dari mitos karena memiliki pesan tersurat bagi pembacanya dan percontohan keteladanan di dalamnya. Pencak silat bukan hanya soal fisik, namun juga berkaitan dengan melatih sikap dan jiwa. Nalar anak didik di lingkungan sekolah juga dapat dibentuk dengan diskusi bersama dengan cara guru membebaskan anak didik mengutarakan pendapat. Tiga tawaran program pendidikan hasil integrasi filsafat pendidikan politik Plato dan kurikulum 2013 dapat menjadi pertimbangan inovasi pembelajaran dalam mendidik anak agar tumbuh menjadi calon pemimpin Indonesia yang bijak dan bernalar. 

Related posts