Pemikiran Plato Tentang Politik dan Penelitian Tentangnya

Pemikiran Plato

Pemikiran Plato Tentang Politik | Makalah Pemikiran Plato Tentang Politik | Penelitian Pemikiran Plato Tentang Politik |

Pemikiran Plato Tentang Politik

Pemikiran plato dilatar belakangi oleh situasi Athena yang tidak stabil setelah mengalami penyerangan oleh Sparta. Negara Kota Athena menerapkan sistem demokrasi akhirnya hancur dan porak-poranda akibat serangan brutal Negara Kota Sparta, salah satu negara kota terkuat di Yunani Kuno, menerapkan sistem aristokrasi militer, memiliki kebijakan bahwa semua warga negara ialah tentara yang bisa digerakan secara massif kapan saja untuk berperang menyerang negara kota lain.

Pemikiran politik Plato merupakan jawaban atas kehancuran tanah kelahirannya akibat invasi dari negara lain, maka tidak heran pemikiran filsafat politiknya mencita-citakan bentuk pemerintahan ideal. Pemerintahan bisa keluar dari keterpurukan dan kegagalan pengelolaan elit. Jadi inti dari gagasan Plato bagaimana pemerintahan ideal bisa terbentuk menuju pemerintahan kuat, adil, setara, dan sejahtera.


Untuk mewujudkan pemerintahan ideal menurut Plato sang penguasa atau kepala negara haruslah dipimpin oleh seorang filsuf (cerdik pandai atau cendikia), artinya posisi penguasa tidak terbuka bagi semua orang, hanya orang bijak, pandai, dan berwawasan luas yang pantas menduduki singgasana kekuasaan.

Plato memiliki keyakinan setiap orang tidak mengetahui apa yang terbaik bagi hidup mereka, orang paling mengetahui persoalan hidup adalah filsuf. Kaum cendikia ini dinilai Plato memiliki pengetahuan luas, sehingga mampu menentukan arah kebijakan tepat dan cepat, dari berbagai permasalahan muncul ditengah-tengah masyarakat.

Setelah terpilih pemimpin dari kalangan filsuf, menurut Plato sang penguasa yang memimpin negara harus melakukan beberapa tindakan politik, diantaranya :

  1. Penghapusan kepemilikan privat bagi dirinya, tidak boleh memiliki kekayaan, supaya tidak terjadi konflik kepentingan.
  2. Rumah sang penguasa dibuat oleh rakyat, serta mudah diakses dengan mudah, sehingga setiap orang bisa datang kapanpun melakukan konsultasi.
  3. Kebutuhan penguasa berserta pejabatnya disediakan (gaji) oleh rakyat, supaya terjadi kontrak politik, sehingga penguasa bisa dituntut bila mengabaikan aspirasi warga negaranya.

Berikutnya sang penguasa ketika menjadi pemimpin politik, dirinya seutuhnya menjadi milik rakyat, ia tidak boleh memiliki orientasi politik untuk kepentingan pribadi, ketika menjadi penguasa sebenarnya kontrak politik sudah terjadi antara dirinya dengan rakyat. Artinya sang penguasa mutlak harus merealisasikan apa menjadi keinginan dari para pemilihnya, tidak boleh mengecewakan apalagi melanggar kesepakatan bersama.

Bentuk terbaik dari suatu pemerintahan menurut Plato adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum aristokrat. Yang dimaksud aristokrat di sini bukannya aristokrat yang diukur dari takaran kualitas, yaitu pemerintah yang digerakkan oleh putera terbaik dan terbijak dalam negeri itu.


Tuduhan yang mengatakan bahwa Plato adalah anti demokrasi, adalah argumentasi ini membenarkan tuduhan itu. Mengapa Plato menjadi anti demokrasi, pemikiran Plato tidak terlepas dalam konteks sosio-hostoris kehancuran Athena. Kehancuran Athena menurut Plato bukan hanya karena kekalahan Athena dalam perang peloponesos. Kemenanagan Sparta atas Athena menunjukkan prinsip-prinsip dari kenegaraan bersifat Aristokrat militeristik yang ternyata lebih unggul dibandingakan dengan struktur kenegaraan Athena yang demokratis.

Beberapa Penelitian Pemikiran Plato Tentang Politik

Berikut adalah beberapa penelitian “Pemikiran Plato Tentang Politik” :

Hukum Kekuasaan Dan Demokrasi Masa Yunani Kuno, oleh Yudi Widagdo

Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Yudi Widagdo dengan judulHukum Kekuasaan Dan Demokrasi Masa Yunani Kuno dalam Jurnal Diversi, Volume 1, Nomor 1, April 2015 : 1-113.

Negara ideal menurut Plato adalah city state, negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil, negara luas akan sulit untuk menjaganya, sementara negara yang terlalu kecil akan sulit untuk dipertahankan karena mudah dikuasai. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, bukan berarti lembaga ini tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan terbentuknya negara adalah untuk kesejahteraan seluruh penduduk atau rakyat bukan kesejahteraan individu. Negara yang baik menurut Plato adalah negara yang dapat mencapai tujuan-tujuan negara. Sementara negara yang tidak dapat melaksanakan tujuan-tujuan tersebut maka adalah negara gagal.

Kekuasaan dalam Pandangan Plato dan Aristoteles, oleh Rizka Meilinda

Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Rizka Meilinda dengan judul Kekuasaan dalam Pandangan Plato dan Aristotele dalam jurnal.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa baik Plato maupun Aristoteles mempunyai dasar-dasar ajaran tentang filsafat terutama dalam hal filsafat politik yang kemudian banyak berkembang di segala penjuru dunia pada umumnya dan di Barat pada khususnya. Plato dan Aristoteles memiliki hubungan sebagai guru-murid. Kendati demikian, tidak berarti bahwa pemikiran kedua tokoh tersebut sama. Terdapat banyak perbedaan pandangan salah satunya adalah pandangan mengenai kekuasaan. Plato menitikberatkan kekuasaan adalah pengetahuan. Ia mengemukakan penyelenggaraan kekuasaan dengan cara yang halus atau secara persuasi dan minim kekerasan adalah hal yang ideal. Kekerasan hanya digunakan pada saat-saat darurat saja. Plato memandang bahwa negara merupakan perpanjangan sistem dari sebuah keluarga, oleh karena itu ia menyamakan negara dan keluarga dalam hal kekuasaan. Plato dalam negara idealnya ialah secara paternalistik. Seangkan Aritoteles lebih menekankan pada hukum dalam hal sumber kekuasaannya. Hukum memegang peran penting dalam hal kekuasaan karena sifat kedaulatan dan kewibawaan tingggi yang dimiliki. Ia menganjurkan politea sebagai bentuk pemerintahan yang paling realistis dan praktis. Ia mengkritik pandangan Plato yang menyatakan bahwa negara dapat diibaratkan dengan keluarga dalam hal kekuasaan. Menurutnya, justru dalam keluarga lah hubungan penyelenggaraan kekuasaan dapat terbagi dan dibedakan. Terdapat tiga jenis hubungan dalam hal penyelenggaraan kekuasaan, yakni mastership antara tuan dan budak, matrimonial antara suami dan istri, dan paternalistik antara ayah dan anak, dan Aristoteles pun lebih memiih bentuk kedua yakni matrimonial dibandingkan dengan Plato yang memilih paternalistik.

Related posts