Pernah mendengar tentang Sunan Giri ? Sunan Giri merupakan salah satu wali songo yang menyebarkan islam di tanah Nusantara dengan cara-cara damai, santun, toleran dan dapat menyesuaikan diri dengan adat-adat lokal penduduk Nusantara sehingga ajaran Islam diterima baik oleh masyarakat.
Masih bingung, tentang cerita Sunan Giri.
Simak penjelasan berikut ini tentang Biografi Sunan Giri, Peran Sunan Giri dalam Mengembangkan Islam di Indonesia dan Sikap Positif dalam Pribadi Sunan Giri.
Biografi Sunan Giri
Sunan Giri, nama aslinya Raden Paku, lahir 1442 M, ayahnya bernama Syaikh Maulana Ishak putra Syaikh Jumadil Kubro. Silsilahnya tersambung dengan Rasulullah Saw melalui jalur Husein putra Sayidah Fatimah ra. Sedangkan ibunya, Dewi Sekardadu anak Raja Blambangan, Bhre Wirahbumi putra Maharaja Hayam Wuruk, ( penguasa Majapahit 1350-1389 M ).
Masa kecilnya diasuh oleh seorang saudagar kaya raya di Gresik, Nyi Ageng Pinatih. Pengasuhan Nyi Ageng Pinatih berawal dari seorang awak kapal yang menemukan peti tersangkut di kapal milik Nyi Ageng Pinatih yang sedang berlayar ke Bali. Bayi tersebut diserahkan kepada pemilik kapal, Nyi Ageng Pinatih. Kemudian bayi mungil diberikan nama Jaka Samudra dan dijadikan anak angkat.
Sewaktu Jaka Samudra masih dalam kandungan ibunya, Syaikh Maulana Ishak diusir oleh mertuanya, Bhre Wirahbumi lantaran ia tidak mau menerima ajakan Syekh Maulana Ishak untuk masuk agama Islam. Setelah Syekh Maulana Ishak pulang ke Pasai, Aceh, Dewi Sekardadu mengalami sakit hingga wafat setelah melahirkan putranya. Selang beberapa hari, terjadilah wabah penyakit di Gresik, Bhre Wirahbumi memerintahkan agar sang bayi cucunya sendiri di buang ke laut karena dianggap mendatangkan bencana dan akhirnya ditemukan oleh Nyi Ageng Pinatih.
Ketika berusia 7 tahun, Jaka Samudra dititipkan ke Pesantren Ampel Denta. Nama Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku oleh Sunan Ampel. Ia belajar berbagai disiplin ilmu agama, al-Qur’an, Hadits, Fikih dan Tasawuf dengan pemahaman ahlussunnah wal jamaah di bawah asuhan Sunan Ampel. Karena kecerdasannya menyerap ilmu yang disampaikan Raden Paku diberikan gelar Maulana Ainul Yaqin.
Setelah beberapa tahun mengenyam pendidikan di Pesantren, Raden Paku berangkat ke Tanah Suci bersama Raden Mahdum Ibrahim (putra Sunan Ampel). Saat melewati Aceh, mereka berdua menemui Syaikh Maulana Ishak, kemudian disarankan untuk memperdalam ilmu agama terlebih dahulu. Setelah beberapa tahun belajar mereka berdua disarankan kembali ke Jawa untuk mengabdi ke masyarakat.
Kepulangannya ke Gresik bersama dua orang abdi, Syaikh Koja dan Syaik Grigis, sambil membawa pesan Syaikh Maulana Ishak agar kelak Raden Paku mencari lokasi yang jenis tanahnya sama dengan tanah yang diberikan sang Ayah. Ia menikah dengan Mas Murtosiyah, putri Sunan Ampel, sehingga hubungannya dengan sang guru tidak sebatas santri dan kiai, melainkan hubungan mantu-mertua.
Sebelum membangun pesantren, Sunan Giri melakukan usaha-usaha dagang milik ibu angkatnya Nyi geng Pinatih. Ekspedisi perdagangan ia lakukan tidak hanya di wilayah Jawa, melainkan ke daerah-daerah lain, seperti Makasar. Ia melansungkan dakwah Islam sambil berdagang sampai akhirnya memutuskan untuk mendirikan pesantren.
Pendirian pesantren Giri Kedhaton bermula dari munajatnya selama 40 hari hingga teringat pesan ayahnya ketika bertemu di Pasai, Aceh. Akhirnya menemukan jenis tanah yang sama di sebuah perbukitan pada tahun 1480 M. yang diberikan nama Giri, dalam bahasa Sangsekerta berarti gunung. Seiring perkembangan Islam, Giri Kedathon tumbuh sebagai kota, dan pusat pemerintahan sekaligus pusat penyebaran Islam.
Makam Sunan Giri terletak di sebuah bukit di Dusun Kedhaton, Desa Giri Gajah, Kabupaten Gresik. Di pintu gapura tertulis tahun 1505 M, tahun pembangunan gapura makam. Perjuangan Sunan Giri dalam dakwahnya dilanjutkan oleh Pangeran Zainal Abidin atau Sunan Dalem, bergelar Sunan Giri II, dan puncak kejayaan Giri saat Sunan Prapen, cucu Sunan Giri naik tahta dakwah Islam dilanjutkan ke berbagai daerah Kutai, Goa, Sumbawa, Bima, Lombok, bahkan ke Maluku.
Sunan Prapen, cucu Sunan Giri, melanjutkan perjuangan kakeknya menyebarkan Islam ke wilayah Lombok abad ke-16. Dalam Babad Lombok disebutkan bahwa Sunan Prapen putra Sunan Ratu Giri ketika datang ke Lombok dalam rangka penyebaran agama Islam pertama kali mendarat di Salut lalu melanjutkan perjalanan ke Labuan Lombok.
Sunan Giri wafat pada awal abad XVI, dimakamkan di sebuah bukit di Dusun Kedhaton, Desa Giri Gajah, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.
Peran Sunan Giri dalam Mengembangkan Islam di Indonesia
Dalam melakukan dakwah Islam di daerah Jawa, Sunan Giri punya peran penting dalam pengembangan syiar Islam, yaitu :
- Berperan Sebagai Pemimpin Agama dan Penguasa
Wilayah Giri Keberadaan Bangsal Sri Manganti, Puri Kedhaton di Situs Giri Kedhaton, menjadi bukti sejarah bahwa Raden Paku bukan hanya ulama penyebar Islam, melainkan juga penguasa politik di wilayahnya. Gelar Prabu Satmata atau Sunan Giri, juga disematkan ke Raden Paku. Dalam bahasa Jawa Kuno Sunan Giri berarti Raja Giri. Usaha dakwah yang dilakukan lebih meluas dan leluasa karena memegang kedudukan sebuah pemimpin. Sebagai bagian dari Dewan wali Songo, Sunan Giri bertugas membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur kalender perhitungan siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon serta merintis pembukaan jalan.
- Mengambil Alih Fungsi Dukuh Menjadi Pesantren
Salah satu proses Islamisasi melalui pendidikan yang diperankan Sunan Giri adalah usaha mengambil alih lembaga pendidikan Syiwa Budha yang disebut mandala, asrama, atau dukuh menjadi pesantren. Pada masa Majapahit dukuh dijadikan sebagai tempat pertapaan untuk mendidik calon pendeta, lalu oleh para Wali Songo dukuh diformat menjadi “pesantren” dan peserta didik yang belajar disebut santri. Kata santri berasal dari kata sashtri yang berarti orang suci yang mempelajari kitab suci. Dalam perjalanannya, Pesantren mengajarkan berbagai macam pengetahuan, agama, kebudayaan, seni, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Kemasyhuran dan pengembaraan Raden Paku, saat muda dalam menjalankan usaha dagang milik Nyi Ageng sambil menyebarkan Islam ke berbagai daerah menjadikan Sunan Giri dikenal luas hingga santrinya tidak hanya berdatangan dari pulau Jawa, bahkan dari Makasar, Lombok, Sumbawa, Flores, Ternate, Tidore, dan Hitu. Persebaran santri dari berbagai penjuru daerah menunjukkan kemajuan dan perkembangan pesantren diminati masyarakat masa itu.
- Mengembangkan sistem pendidikan terbuka bagi masyarakat umum
Dalam dakwahnya, Sunan Giri tidak hanya mengembangkan sistem pesantren yang diikuti santri-santrinya di berbagai daerah, melainkan mengembangkan pendidikan masyarakat secara terbuka dengan menciptakan berbagai jenis permainan anak, yaitu: Jelungan, Jamuran, Gendi-gerit, dan tembang permainan anak, yaitu: Padhang Wulan, Jor, Gula-Ganti, Cublak-Cublek Suweng. Kedatangannya di tengah masyarakat dengan cara-cara unik memanfatkan seni lokal menarik sempati dari berbagai tingkat usia menjadikan Islam semakin meluas.
- Memanfaatkan Seni Pertunjukan sebagai Media Dakwah
Pada masa Majapahit, pertunjukan di masyarakat berhubungan dengan ritual-ritual keagamaan Hindu Budha yang berkaitan dengan tempat-tempat sakral, pilihan hari dan waktu, pemain terpilih, sesaji, dan busana khusus.
Seni wayang diperkirakan sudah ada di Nusanatara sejak tahun 930 M. Asli kebudayaan Jawa. Pertunjukan wayang merupakan pertunjukan ritual yang berasal dari cerita Ramayana dan Mahabrata. Pegelarannya dikaitkan dengan upacara spritual agar terhindar bencana-bencana bersifat gaib. Karena itu dalang diposisikan sebagai orang suci atau pendeta.
Melihat potensi dakwah dalam pertunjukan ini, Sunan Giri dan wali songo lainnya melakukan ambil alih seni pertunjukan dan mengembangkannya, dengan menyesuaikan dan menyelaraskan isi cerita dengan ajaran tauhid dalam Islam. Seperti menggelar pertunjukan wayang krucil dengan pedoman cerita Menak, yang mengisahkan kepahlawanan Hamzah, paman Nabi Muhammad Saw. Pegelarannya pun disertai tata cara dan sopan santun yang baik jauh dari maksiat.
Sikap Positif dalam Pribadi Sunan Giri
Dalam usaha menyebarkan dan mengembangkan dakwah Islam di Indonesia, Sunan Giri patut menjadi teladan dalam sikap positif yang ditunjukkan, yaitu:
- Santri cerdas, tekun, dan ulet dalam menuntut ilmu
Sejak anak-anak hingga tumbuh dewasa Raden Paku mengenyam pendidikan pesantren di Ampel Denta dan berguru kepada Syaikh Maulana Ishak, ayahnya saat singgah di Malaka, Aceh. Kecerdasannya diakui Sunan Ampel sehingga diberikan gelar Raden Ainul Yaqin.
- Toleran dan bijak dalam berdakwah
Dalam melaksanakan dakwahnya, Sunan Giri terkadang mendatangi masyarakat ke rumahnya dan berbicara empat mata untuk menyampaikan ajaran Islam, kemudian mengumpulkan mereka dalam acara-acara yang menjadi tradisi masyarakat seperti selamatan, lalu Sunan Giri memasukkan ajaran Islam sehingga lambat laun ajaran Islam diterima dengan baik tanpa paksaan.
- Pemimpin yang mengayomi rakyat
Dalam batu nisan Sunan Giri tertulis empat pedoman hidup yang dijalani sebagai pemimpin :
- Berilah makan pada mereka yang lapar.
- Berilah pakian pada mereka yang tidak menutup aurat.
- Berilah payung pada mereka yang kehujanan, dan d) Berilah tongkat pada mereka yang buta.
Perinsip hidup diterapkan ketika menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin wilayah Giri. Ia sosok yang mampu mendamaikan dunia keilmuan, politik dan spritual guna membangun peradaban dunia.
- Seniman kreatif
Kemampuan Sunan Giri menuangkan ide-ide kreatif dalam menyebarkan Islam melalui pendidikan dan seni budaya, telah menjadikannya seniman yang memanfaatkan seni untuk agama, kreasinya membuat permainan anak, membuat tembang yang berisi pesan-pesan moral, dan menambahkan lakon-lakon dalam seni wayang yang mengandung nafas keislaman. patut menjadi teladan yang patut dicontoh. Perinsip dakwah yang disampaikan para Wali Songo seiring dengan ajaran agama yang menjunjung nilai-nilai akhlak mulia sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw.
Sumber: Buku Guru & Buku Siswa SKI Kelas VI MI