Riset Kegalauan Generasi Z

3

WISLAH.COM: Remaja adalah masa depan bangsa. Merekalah pembentuk wajah dan identitas suatu masyarakat kelak. Meski demikian, keberadaan mereka saat ini juga sangat signifikan dalam merepresentasikan pola pemahaman dan tindakan generasi ini.

Tidak mengherankan jika kemudian banyak riset yang dilakukan berbagai lembaga penelitian yang menyasar kaum muda ini. Salah satunya adalah sebuah riset yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada tahun 2018, yang dalam kesimpulannya menyebut bahwa Generasi Z merupakan generasi yang galau.

Pengertian Generasi Z

Generasi Z adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun antara 1995 hingga tahun 2000-an, sehingga secara usia saat ini berkisar antara 20-25 tahunan. Saat ini sudah secara umum mereka masih berada di bangku kuliah atau fresh graduate dan magister. Mereka juga merupakan generasi yang akrab dengan gadget. Sehingga keberadaan berbagai platform yang ada di dalamnya merupakan hal yang biasa mereka temui.


Rentang usia tersebut, dalam psikologi perkembangan juga dikenal sebagai usia remaja akhir. Sebuah fase yang para pakar psikologi sendiri berbeda pendapat rentang usianya. Sarlito Wirawan misalnya menyebut rentang antara usia remaja adalah 11 hingga 24 tahun.

Karakterisik Remaja

Para remaja memiliki ciri yang berbeda dibandingkan pada masa kanak-kanak maupun pada masa dewasa. Allport, sebagaimana dikutip Sarlito (2006) dalam studinya tentang psikologi remaja membagi masa remaja dalam ciri-ciri berikut ini:

  1. Extension of the self adalah kondisi dimana seorang remaja akan menunjukkan kemampuan untuk menjadikan orang atau hal lain menjadi bagian dari dirinya. Jika pada sikap kanak-kanak ia memiliki egoisme tinggi, maka pada masa ini cenderung berkurang. Disusul dengan sifat empati yang ia tunjukkan kepada orang lain.
  2. Self objectivication adalahdimana seseorang mulai bisa menilai dirinya sendiri (self insight) dan dapat bersikap tenang meskipun dirinya dijadikan sasaran candaan dan kritik (sense of humor).
  3. Unifying philosophy of life adalah kondisi remaja yang ditandai dengan pemahaman bagaimana ia harus bertingkah laku. Mereka juga memiliki prinsip atau falsafah hidup yang tertanam dalam dirinya. Mereka mulai menunjukkan bahwa mereka tidak mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain.

Perkembangan Moral dan Religi Remaja

Pada masa remaja, seseorang akan mencapai moralitas post-conventional. Yaitu sebuah tingkatan dimana seseorang memiliki prinsip tertentu. Seorang remaja dinilai sudah memiliki pendapat dan nilai-nilai yang berbeda dalam dirinya. Remaja juga tidak akan dengan mudah menerima pemikiran yang kaku dan absolut yang sebelumnya mungkin mereka terima tanpa ada perlawanan. Yang menjadi ciri khas pada remaja berkaitan dengan aspek moral adalah, mereka mulai mempertanyakan kebenaran pemikiran yang hadir dihadapan mereka dan juga mempertimbangkan jalan atau pemikiran alternatif lainnya.


Sebagian besar remaja akhir ini sudah mulai stabil dan mantap, ia ingin hidup dengan modal keberanian, ia sudah mengenal aku-nya, mengenal arah hidupnya, serta sadar akan tujuan yang dicapainya, pendiriannya sudah mulai jelas dengan arah tertentu. Sikap kritis sudah semakin nampak, dan dalam hal ini sudah mulai aktif dan objektif dalam melibatkan diri ke dalam kegiatankegiatan dunia luar dan masyarakat sekitarnya. Ia sudah mulai mencoba mendidik diri sendiri sesuai pengaruh yang diterimanya. Dalam hal ini, terjadi perkembangan yang penting dalam pandangan hidupnya. Masa ini merupakan masa berjuang dalam menentukan bentuk/corak kedewasaannya.

Generasi Galau

Survey PPIM terkait Sikap Keberagamaan Siswa dan Mahasiswa yang diselenggrakan pada tanggal 1-15 Oktober 2017 menegaskan kegalauan kalangan remaja. Remaja adalah mereka yang memiliki opini intoleran dan opini radikal yang cukup tinggi, tetapi di sisi lain aksi intoleran dan radikalnya rendah.

Hasilnya adalah sebagian besar kalangan remaja beropini dalam kategori intoleran/sangat intoleran dan radikal/sangat radikal. Akan tetapi jika dilihat dari sisi aksi/tindakan, mereka sebagian besar memiliki kecenderungan toleran dan moderat.

Penelitian ini menggunakan 2 konsep toleransi; toleransi internal dan toleransi eksternal. Toleransi internal adalah toleransi pada sesama Muslim namun dari kelompok yang berbeda. Misalnya sesama Muslim, namun yang satu dari kelompok Muhammadiyah dan yang satu dari kelompok Syiah. Toleransi eksternal adalah toleransi pada pemeluk agama yang berbeda. Misalnya Muslim dengan Kristiani, Muslim dengan Budhis, dan sebagainya.

Untuk konsep radikalisme yang dipakai dalam penelitian ini adalah mengacu pada Hafez (2015) yang menyatakan bahwa radikalisasi mengacu pada adopsi pandangan kelompok ekstremis untuk mempengaruhi perubahan sosial atau politik; juga menggunakan definisi dari O’Ashour (2009) yang menyatakan bahwa orang radikal akan menggunakan cara yangmenolak prinsip demokrasi untuk mencapai tujuan politiknya. Radikalisme yang diteliti dibatasi pada dukungan penerapan Negara Islam.

Hasilnya menunjukkan bahwa siswa dan mahasiswa cenderung intoleran terhadap paham atau kelompok yang berbeda di dalam internal umat Islam daripada penganut agama lain. Sikap intoleransi internal mereka disebabkan oleh ketidaksukaan mereka terhadap Ahmadiyah dan Syiah.

Sedangkan sikap radikal dan intoleran secara eksternal disebabkan oleh kebencian terhadap Yahudi. Sebanyak 53,74% siswa dan mahasiswa setuju jika Yahudi adalah musuh Islam, dan 52,99% setuju bahwa orang Yahudi itu membenci Islam. Salah satu pemicu sikap intoleran terhadap Yahudi bisa dilacak pada buku ajar PAI yang kerap menggambarkan Yahudi sebagai kaum yang licik. Konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel juga turut berkontribusi terhadap persepsi intoleran terhadap Yahudi. Di mana mereka setuju dengan pendapat bahwa umat Islam saat ini dalam kondisi terzalimi (55,08%).

Namun, kebencian terhadap Yahudi tidak terlalu berlaku terhadap umat Kristen. Siswa dan mahasiswa cenderung toleran kepada umat Kristen. Sebanyak 76,22% berpendapat bahwa umat Kristen tidak membenci umat Islam, dan mereka juga tidak keberatan jika umat agama lain memberi bantuan kepada lembaga-lembaga Islam (70,36%). Data ini mengkonfirmasi bahwa toleransi umat Islam generasi Z, yang memeluk agama mayoritas, terhadap agama lain hanya sebatas agama-agama resmi yang diakui negara –Kristen salah satunya, namun tidak pada agama lain yang tidak diakui negara, termasuk Yahudi. (Disadur dari Generasi Z; Kegalauan Identitas Keagamaan)

Related posts