Tindakan Sosial, Interaksi Sosial dan Identitas, Pengertian

Perkalian dan Pembagian Bilangan Desimal, Contoh dan Cara Menghitungnya (Rangkuman Materi Matematika SD/MI Kelas 4 Bab 16) Kurikulum Merdeka

Tindakan Sosial, Interaksi Sosial dan Identitas | Tindakan Sosial | Interaksi Sosial | Identitas Sosial |

Tindakan Sosial

Pengertian Tindakan Sosial

Tindakan sosial adalah tindakan yang mengandung makna ketika individu berhubungan dengan individu lain di mana hasil tindakan tersebut memengaruhi perilaku orang lain. Bagi Max Weber, tindakan hanya dapat dikategorikan sebagai tindakan sosial manakala tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku orang lain. Saat kalian menyanyi untuk menghibur diri sendiri misalnya, itu merupakan tindakan tetapi bukan tindakan sosial. Tetapi saat kalian menyanyi dengan tujuan menarik perhatian orang lain, barulah hal itu disebut tindakan sosial.

Teori Tindakan Sosial

Teori tindakan sosial menjadi salah satu gagasan pokok dalam sosiologi yang dilontarkan oleh Max Weber. Tetapi baginya tidak semua tindakan sosial harus diteliti dan layak dikaji. Mengapa demikian? Hanya tindakan sosial bermakna (meaningful action) yang dianggap penting oleh Weber. Makna sendiri merupakan hasil tafsir atas tindakan sosial secara simbolik.


Bagi Weber, tindakan sosial melibatkan upaya menafsir oleh individu. Saat melakukan tindakan sosial, individu berupaya menangkap makna simbolik yang dapat diperoleh dari tindakannya tersebut. Hal ini berarti, tindakan sosial merupakan tindakan sadar karena melewati serangkaian proses berpikir yang menghasilkan makna. Tindakan tersebut juga bukan hanya perbuatan spontan yang sekedar merespon stimulus atau rangsangan.

Max Weber membedakan empat tipe tindakan sosial yang dibedakan berdasarkan konteks motif para pelakunya:

  • Tindakan Rasionalitas Instrumental

Tindakan sosial ini merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan praktis yang didasarkan pada kesesuaian antara tujuan serta ketersediaan alat yang digunakan untuk mencapainya (berorientasi tujuan). Tindakan ini disebut rasional karena dilakukan dalam kesadaran dan penuh perhitungan. Misalnya tindakan menabung dimaksudkan untuk tujuan memupuk kekayaan dan motif berjaga-jaga manakala membutuhkan biaya dalam jumlah besar.

  • Tindakan Rasional

Nilai Tindakan rasional nilai merupakan tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan nilai seperti etika, estetika, moral, dan religi. Tindakan ini tetap dipahami sebagai tindakan rasional karena dilakukan dengan kesadaran. Bedanya, dasar dari tindakan ini adalah nilai-nilai yang diyakini oleh pelaku tindakan sosial tersebut. Contoh dari tindakan jenis ini misalnya berderma. Derma dari sisi ekonomis dipandang sebagai tindakan yang tidak menguntungkan. Namun tindakan ini bukan berangkat dari perhitungan untung rugi. Tetapi tindakan ini dilakukan berdasar nilai-nilai yang diyakini pelakunya tentang kewajiban sesama manusia untuk berbagi.

  • Tindakan Afektif

Tindakan sosial ini dilakukan lebih berdasarkan faktor emosi/perasaan, seperti cinta, bahagia, marah, sedih, empati, simpati, kasihan dan sebagainya. Tindakan ini digerakkan oleh perasaan atau emosi dalam merespon tindakan sosial lainnya tanpa refleksi secara sadar. Tindakan ini tidak rasional dan spontan dilakukan sebagai reaksi emosional dari individu. Contoh tindakan afektif adalah kebahagiaan seorang ibu atas kelahiran putranya yang sehat dan selamat meski merasakan kesakitan setelah melahirkan.

  • Tindakan Tradisional

Tindakan sosial jenis ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan atau lazim dilakukan. Seseorang melakukan tindakan tertentu disebabkan oleh kebiasaan yang diwariskan dari generasi pendahulunya. Tindakan semacam ini tidak dibangun dengan refleksi sadar. Orang melakukannya tanpa mempertanyakan mengapa tindakan tersebut perlu dilakukan.

Interaksi Sosial

Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi sosial belum terjadi apabila hanya ada kontak tanpa diiringi dengan komunikasi (Damsar, 2010: 3). Saat berangkat ke sekolah, kalian akan banyak melakukan kontak ketika berpapasan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang tidak kalian kenal. Kalian boleh jadi kontak dengan polisi lalu lintas, pengendara motor, pengemis, pengamen, dan sebagainya dengan saling menatap. Namun tindakan tersebut, tidak diikuti dengan tindakan komunikasi.

Guna memenuhi syarat interaksi sosial, maka kontak perlu diikuti dengan komunikasi. Secara harfiah, komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio berarti “penyampaian, pemberitahuan dan pemberian”. Berangkat dari pengertian tersebut, maka komunikasi adalah proses penyampaian informasi timbal balik dua orang atau lebih. Informasi yang disampaikan dapat berupa kata-kata (bahasa), gerak tubuh (bahasa tubuh) serta simbol lainnya yang memiliki makna.

Ketika kalian berangkat menuju sekolah misalnya, bisa jadi kontak dengan banyak orang tadi dilanjutkan dengan tindakan komunikasi. Saat berada di lampu merah, kalian bertemu dengan pengemis yang menyodorkan tangannya dan kalian membalasnya dengan gerakan melambaikan tangan. Tindakan tersebut, sekalipun tanpa kata, termasuk tindakan komunikasi karena bersifat timbal balik dan memuat makna. Pengemis menyodorkan tangannya bermakna meminta uang dan tindakan kalian melambaikan tangan bermakna menolak memberikan uang.

Demikian pula saat kalian di jalan menjumpai mobil ambulans dengan sirene meraung-meraung. Dengan simbol suara sirene, pengemudi ambulans sedang mencoba berkomunikasi dengan para pengguna jalan lainnya. Tindakan membunyikan sirene bermakna meminta jalan karena harus bergegas mengantar pasien dalam kondisi darurat ke rumah sakit. Seketika para pengguna jalan merespon pesan berupa simbol sirene dengan tindakan memberi jalan bagi mobil ambulans tadi. Tindakan-tindakan tersebut telah memenuhi syarat interaksi sosial.

Faktor-Faktor Interaksi Sosial

  • Imitasi adalah tindakan seseorang meniru orang lain. Imitasi mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai tertentu yang berlaku yang berupa nilai positif dan negatif.
  • Sedangkan sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau bersikap dan kemudian pandangan tersebut diterima pihak lain. Proses sugesti hampir sama dengan imitasi, tetapi titik berangkatnya berbeda.
  • Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi lebih mendalam ketimbang imitasi, dan kepribadian sesorang dapat terbentuk karena faktor ini.
  • Simpati merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik dengan pihak lain. Dalam simpati, faktor perasaan memegang peran penting, meskipun dorongan utama simpati adalah keinginan memahami pihak lain dan bekerja sama dengan orang lain.

Tipe interaksi sosial menurut Georg Simmel meliputi interaksi yang terjadi antarindividu, interaksi yang terjadi antara individu-kelompok, dan interaksi yang terjadi antarkelompok. Sebagai contoh, interaksi kalian dengan teman sekolah sebagai individu mencerminkan interaksi sosial antarindividu. Contoh lainnya, interaksi sosial kalian dengan orang tua, saudara kandung, dan sahabat juga merupakan perwujudan dari interaksi tipe ini.

Lalu, ketika guru sedang menyampaikan materi di kelas mewakili interaksi sosial individu dengan kelompok. Dalam skala yang lebih luas interaksi tipe ini juga dapat ditemui dalam hubungan antara pemimpin dan kelompoknya. Misalnya antara tokoh agama dan jemaah atau pemimpin adat dan komunitas sukunya. Di bidang politik, misalnya hubungan pimpinan partai dan massa pendukungnya juga termasuk tipe ini.  Demikian pula interaksi kalian dengan komunitas lingkungan tempat tinggal dapat dikategorikan dalam tipe ini.

Sedangkan, ketika ada konflik berupa perkelahian antar geng pelajar sesungguhnya menggambarkan interaksi sosial antarkelompok. Dalam skala lebih luas, tipe ini juga dapat dijumpai dalam hubungan kerja sama dua partai atau lebih yang berkoalisi dalam pemilu. Atau kerja sama antarnegara dalam skala global melawan pandemi COVID-19 juga mewakili gambaran interaksi tipe ini.

Kerjasama dan konflik merupakan variasi dari bentuk interaksi sosial yang digambarkan pada bagian sebelumnya. Persoalannya bagaimana bentuk-bentuk tersebut dijelaskan? Gillin dan Gillin (1954) menyajikan dua bentuk interaksi sosial, yaitu:

  • Interaksi Sosial Asosiatif

Proses asosiatif yang dimengerti sebagai bentuk proses sosial yang mengarah kepada kerja sama antar pihak. Proses asosiatif terdiri dari kerja sama, akomodasi, dan asimilasi sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:


  1. Kerja sama adalah interaksi sosial manakala terdapat dua pihak atau lebih mengikatkan diri untuk memenuhi kepentingan bersama atau karena adanya persamaan tujuan. Kerja sama atau yang disebut cooperation dapat berupa koalisi dan kolaborasi.
  2. Sedangkan akomodasi merupakan upaya meredakan ketegangan karena pertentangan yang terjadi dengan cara memenuhi sebagian tuntutan dari pihak-pihak yang bertikai. Tujuan akomodasi adalah mencapai perimbangan serta mencegah membesarnya pertentangan. Variasi bentuk akomodasi misalnya kompromi, arbitrasi, mediasi, konsiliasi, dan toleransi.
  3. Bentuk ketiga adalah asimilasi. Asimilasi merupakan percampuran dua kebudayaan atau lebih yang menghasilkan kebudayaan baru. Dalam proses semacam ini, budaya baru yang terbentuk sungguh berbeda dari budaya asal yang turut membentuk budaya baru tersebut.
  4. Akulturasi acap kali dipersamakan dengan proses asimilasi. Padahal sesungguhnya keduanya berbeda. Proses akulturasi merupakan proses dua budaya atau lebih berinteraksi, namun masing-masing kebudayaan tetap mempertahankan identitasnya serta batas-batas perbedaan antar budaya tidak hilang.
  5. Interaksi Sosial Disosiatif Bentuk lain yang berbalik dengan proses asosiatif adalah proses disosiatif. Interaksi ini mengarah kepada pertentangan antara pihak yang terlibat. Bentuk-bentuk proses disosiatif adalah kompetisi, kontravensi, dan konflik sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
  6. Kompetisi adalah proses sosial bilamana para pihak yang terlibat bersaing berebut sesuatu. Hal yang menjadi sumber perebutan masing-masing pihak sangat beragam misalnya sumber daya, keuntungan, jabatan, dan status.
  7. Kontravensi mewakili bentuk proses disosiatif yang lebih tinggi dibanding persaingan, tetapi tidak sampai mengalami pertentangan. Ragam bentuk kontravensi adalah penghasutan, penyangkalan, penolakan, dan pengkhianatan.
  8. Konflik merupakan proses disosiatif di mana pihak yang terlibat berusaha mencapai tujuannya dengan cara menantang atau menyerang lawan termasuk dengan kekerasan. Meski dekat dengan dampak negatif, konflik memiliki sisi positif berupa menguatnya solidaritas dalam kelompok karena adanya musuh bersama. Penyebab konflik antara lain adalah perbedaan nilai, kepentingan, kebudayaan, dan sebagainya.

Identitas Sosial

Pengertian Identitas

Dalam KBBI, kata identitas mengandung pengertian “ciri-ciri, keadaan khusus seseorang, atau jati diri.” Sedangkan Kamus Merriam-Webster menawarkan penjelasan lebih jauh tentang definisi identitas, yaitu sebagai kesamaan ciri-ciri antar beberapa manusia serta ciri-ciri yang membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Ringkasnya, identitas merupakan ciri-ciri yang melekat dan tertanam dalam diri setiap manusia.

Pada umumnya identitas disandarkan pada ciri yang bersifat alamiah, seperti jenis kelamin atau identitas berbasis genetik seperti ras. Identitas jenis ini biasanya lebih mudah dikenali secara fisik. Namun ada pula identitas yang tidak berangkat dari ciri-ciri alamiah, namun karena dilekatkan secara sosial seperti identitas berbasis agama dan suku/ etnis. Identitas jenis ini dapat diamati melalui praktik-praktik kehidupan sosial seseorang, misalnya praktik beribadah atau tradisi yang dirawat dan diwariskan oleh suku-suku yang ada. Pada suku tertentu terdapat kebiasaan menambahkan nama marga atau nama keluarga pada keturunan dari suku/marga tersebut.

Gagasan tentang identitas bahkan berkembang tidak hanya berbasis Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Identitas juga dapat dikaitkan dengan ciri-ciri seperti gaya hidup, keyakinan, bahkan orientasi seksual. Dalam gaya hidup misalnya identitas ditemukan pada kebiasaan makan yang melahirkan identitas vegan (tidak memakan daging/vegetarian) atau bagi kalian yang memiliki hobi bola biasanya teridentifikasi sebagai anggota dari klub suporter. Keyakinan atau ideologi juga dapat menjadi dasar identitas seperti sosialis, penganut liberal, dan sebagainya. Secara singkat, identitas adalah cerminan diri yang berasal dari gender, tradisi, etnis dan proses sosialisasi.

Pembentukan Identitas

Manusia sebagai mahluk yang berpikir sebagaimana dikatakan Aristoteles. Sebagai mahluk berpikir, maka yang menyadari keberadaan mahluk yang lain adalah manusia, bukan mahluk yang lain tersebut. Ketika berpikir, manusia mempertanyakan keberadaan atau eksistensi dirinya. Manusia menjadi mahkluk yang terus menerus mencari identitas dirinya. Kondisi tersebut tidak terjadi pada mahkluk-mahkluk lainnya.

Dengan demikian identitas dipahami sebagai kesadaran tentang konsep diri. Konsep diri merupakan integrasi gambaran diri yang dibayangkan sendiri dan yang diterima dari orang lain tentang apa dan siapa dirinya, serta peran apa yang dapat dilakukan dalam kaitan dengan diri sendiri serta orang lain. Dari pengertian tersebut, gambaran diri tersebut menyoal tentang bagaimana proses pembentukan identitas di mana identitas terbentuk dan dibentuk. Sebagaimana disampaikan oleh Stuart Hall (1990), pembentukan identitas dapat diteropong dalam dua cara pandang, yaitu identitas sebagai wujud (identity as being) dan identitas sebagai proses menjadi (identity as becaming).

Identitas dalam perspektif pertama ditempatkan sebagai ciri-ciri yang terbentuk. Identitas semacam ini diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi oleh para penggunanya. Ciri-ciri ini melekat sejak dari awal permulaan. Ia terbentuk secara alamiah atau dengan sendirinya. Suatu ciri yang dimiliki bersama serta berada dalam diri banyak orang di mana mereka dipersatukan kesamaan genetik, ikatan darah, sejarah dan leluhur. Sudut pandang ini lebih melihat ciri fisik untuk mengidentifikasi mereka sebagai suatu kelompok.

Sedangkan dalam cara pandang kedua, identitas dipahami sebagai ciri-ciri yang dibentuk melalui proses sosial. Identitas sebagai “proses menjadi”, mengandaikan ciri-ciri tidak bersifat alamiah namun dibentuk secara sosial. Ciri-ciri tersebut ditanamkan baik secara individual maupun kelompok melalui proses-proses sosialisasi. Pada tingkat kelompok identitas semacam ini mewujud dalam kesamaan ide, gagasan, nilai, kebiasaan-kebiasaan baru yang menghasilkan praktik-praktik kehidupan sosial baru. Karena itu, identitas ini tidak dikenali dari ciri-ciri lahiriyah.

Pembentukan identitas juga terkait relasi antara identitas diri dan identitas sosial. Eric Fromm (1947), seorang pakar psiko-sosial menyatakan identitas diri dapat dibedakan antara satu individu dengan lainnya. Namun identitas diri tidak dapat dilepaskan dari identitas sosial individu dalam konteks komunitasnya. Selain sebagai makhluk individual, manusia sekaligus juga mahkluk sosial. Dalam membangun identitas dirinya, manusia tidak dapat mengabaikan diri dari norma yang mengikat semua warga di mana ia hidup. Identitas tersebut juga menentukan peran sosial apa yang seharusnya dijalankan dalam masyarakat.

Konsekuensi Identitas Sosial: Eksklusi dan Inklusi

Di kalangan pelajar acapkali kita menyaksikan tawuran antar sekolah. Konflik juga dapat berupa tawuran antar kampung, perkelahian massal suporter bola, hingga konflik paling sensitif yakni konflik berbasis SARA. Beragam konflik yang terjadi jika dilihat dari jenis konflik yang ada, berpangkal pada satu hal yakni identitas.

Identitas menjadi dasar bagi seseorang untuk mengikatkan dirinya pada komunitas atau kelompoknya. Ikatan tersebut memunculkan kedekatan dengan orang-orang yang memiliki kesamaan identitas. Kelompok juga membuka diri bagi individu-individu yang memilki kesamaan identitas. Proses membuka diri terhadap individu yang memiliki kesamaan identitas inilah yang dikenal dengan watak inklusif.

Ikatan-ikatan inilah yang pada akhirnya membuat perbedaan antar kelompok. Dari identitas melahirkan perasaan dan keinginan untuk membedakan satu di antara yang lain. Dorongan untuk membedakan diri dengan orang lain pada gilirannnya akan memicu pemikiran superioritas. Dorongan semacam ini dapat berupa merasa kelompok sendiri paling unggul atau paling benar, dan sebagainya, sementara kelompok lain lebih rendah atau salah. Pada titik ini sesungguhnya kelompok ini menjadi eksklusif atau membatasi dirinya dengan kelompok lain.

Eksklusifitas sangat rawan menyinggung pihak lain yang tidak sepaham dengannya. Pemikiran tersebut dapat memicu ketegangan antarpihak yang dapat berujung konflik sosial. Keragaman identitas di Indonesia seharusnya dipandang sebagai kekayaan identitas di mana kekayaan tersebut justru menjadi kekuatan bangsa dalam menatap masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan bagi setiap kelompok anak bangsa dalam mengembangkan karakter inklusifnya.

Baca Kumpulan: Rangkuman IPS Kelas 10 SMA

Related posts