Penerapan Pancasila di Kepemimpinan Suharto (Rangkuman Materi PPKN Kelas 9 SMP Kurikulum Merdeka)

Perkalian dan Pembagian Bilangan Desimal, Contoh dan Cara Menghitungnya (Rangkuman Materi Matematika SD/MI Kelas 4 Bab 16) Kurikulum Merdeka

Penerapan Pancasila di Kepemimpinan Suharto | Rangkuman Materi PPKN Kelas 9 | Bab 1 | SMP | Kurikulum Merdeka | Wislah Indonesia |

Penerapan Pancasila di Kepemimpinan Suharto

Demokrasi Pancasila

Demokrasi Terpimpin yang diterapkan pada masa pemerintahan Sukarno dianggap sebagai penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila. Suharto kemudian menggantinya dengan Demokrasi Pancasila sebagai upaya koreksi terhadap penyimpangan tersebut. Demokrasi Pancasila diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang telah merusak dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Janji-janji tersebut mendapat dukungan luas dari berbagai golongan dan rakyat Indonesia. Suharto dianggap mampu menjaga stabilitas negara dalam waktu singkat setelah mengatasi G30S/PKI.

Kekuatan Demokrasi Pancasila pada masa pemerintahan Suharto bergantung pada peran militer yang dikenal sebagai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang menjalankan “dwi fungsi”. Selain tugas militer, ABRI juga terlibat dalam kegiatan sosial politik masyarakat. ABRI bertindak sebagai penjaga utama dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.


Selain peran militer, pemerintahan Suharto juga membentuk kekuatan politik yang dikenal sebagai Golongan Karya atau Golkar, yang berfungsi sebagai partai politik. Pada tahun 1971, pemerintahan Suharto mengadakan pemilihan umum dengan 10 peserta, termasuk Golkar dan sembilan partai lainnya. Pemilihan umum ini diadakan lima kali lagi pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Mulai dari pemilihan umum tahun 1977, hanya ada dua partai yang diizinkan bersaing dengan Golkar, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sehingga partai-partai lain harus bergabung dengan PDI atau PPP. Pembatasan ini dikritik oleh beberapa pihak sebagai upaya Suharto untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pembangunan Ekonomi

Pemerintahan Suharto berhasil menerapkan Pancasila dalam pembangunan ekonomi, dengan memperkenalkan Trilogi Pembangunan yang mencakup pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional. Melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), program ini berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengubah Indonesia dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpenghasilan menengah, dan secara signifikan mengurangi angka kemiskinan. Prestasi ini membuat Indonesia menjadi contoh dalam pembangunan di tingkat global.

Dalam sektor pertanian, pemerintah meluncurkan program Bimas dan Inmas Pertanian untuk meningkatkan produktivitas padi petani. Selain itu, Koperasi Unit Desa (KUD) didirikan di setiap desa untuk mendukung upaya tersebut. Lembaga nasional bernama Badan Urusan Logistik (BULOG) juga dibentuk untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok. Pembangunan bendungan dan saluran irigasi juga menjadi fokus dalam sektor pertanian.


Di bidang pendidikan, pemerintah mengembangkan Sekolah Dasar Inpres secara nasional dan menerapkan program wajib belajar. Program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), dan Keluarga Berencana diperkenalkan dalam sektor kesehatan. Sedangkan di sektor infrastruktur, program ABRI Masuk Desa dilaksanakan untuk membangun jalan di daerah pedesaan, serta program Listrik Masuk Desa diluncurkan.

Berbagai program tersebut berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, periode pertumbuhan ekonomi Indonesia juga ditandai dengan meningkatnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Krisis moneter tahun 1998 dan reformasi politik berikutnya mengguncang perekonomian Indonesia, yang akhirnya mendorong Suharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden.

Program Pengamalan Pancasila

Pemerintahan Suharto memiliki program pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk menerapkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Pancasila digunakan sebagai dasar pembangunan politik di Indonesia. Pemerintahan Suharto memanfaatkan kegagalan PKI setelah Peristiwa G30S/PKI untuk memperkuat Pancasila.

Hari Kesaktian Pancasila ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 1965 sebagai hari yang menandai kegagalan PKI dalam berkuasa. PKI memiliki niat mengganti Pancasila dengan paham komunisme. Monumen Kesaktian Pancasila didirikan di Sumur Lubang Buaya di Jakarta Timur, tempat pembuangan jenazah para jenderal yang dibunuh dalam Peristiwa G30S/PKI.

Suharto mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1985 yang menerapkan Asas Tunggal Pancasila. Hal ini berarti setiap organisasi, termasuk partai politik, wajib menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Meskipun kebijakan ini menciptakan stabilitas politik, namun juga dianggap membatasi hak berpolitik yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.

Selain itu, Suharto membentuk Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang bertugas menyelenggarakan pelatihan yang dikenal sebagai Penataran P4. Program Penataran P4 atau Eka Prasetya Pancakarsa mengharuskan peserta untuk bersumpah setia pada lima sila Pancasila. Program ini diikuti oleh pegawai pemerintah, pelajar, mahasiswa, dan tokoh masyarakat. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan melalui 36 butir Pancasila yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun banyak peserta yang mengikuti program ini, Penataran P4 juga dikritik sebagai upaya indoktrinasi politik Orde Baru. Program pengamalan Pancasila melalui Penataran P4 berhenti setelah pemerintahan Suharto berakhir. Penerapan Pancasila oleh pemerintahan Suharto berhasil menciptakan stabilitas politik dan kemajuan ekonomi, namun tidak berhasil mewujudkan kehidupan demokrasi di masyarakat.

Related posts