Menjawab Masalah Pelanggaran Norma dan Konstitusi | Rangkuman Materi PPKN Kelas 12 | Bab 2 | SMA | Kurikulum Merdeka | Wislah Indonesia |
Menjawab Masalah Pelanggaran Norma dan Konstitusi
Pelanggaran Norma dan Konstitusi
Pelanggaran terhadap norma dan konstitusi adalah suatu peristiwa yang sering dijumpai dalam sebuah komunitas. Norma merupakan aturan bersama yang harus dipatuhi oleh seluruh elemen yang menyepakatinya. Namun, ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang melanggar kesepakatan tersebut.
Pertama, pelanggaran bisa terjadi karena seseorang tidak mengetahui adanya kesepakatan norma di dalam komunitas. Jika norma tidak disosialisasikan dengan baik, maka kemungkinan besar individu tidak akan mengetahuinya.
Kedua, kesulitan memahami isi dan maksud norma juga dapat menjadi penyebab pelanggaran. Norma yang dirumuskan dengan kalimat yang rumit atau menggunakan kata-kata ambigu bisa menyebabkan kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda-beda. Oleh karena itu, norma seharusnya dirumuskan dengan jelas agar mudah dipahami oleh semua pihak.
Ketiga, ada kalanya seseorang melanggar norma karena merasa di atas aturan tersebut. Mereka mungkin merasa memiliki kekayaan atau koneksi dengan penguasa sehingga merasa berhak melanggar norma sesuai keinginan mereka.
Keempat, ketidaksepakatan terhadap isi norma juga menjadi penyebab pelanggaran. Dalam proses musyawarah, perbedaan pendapat adalah hal wajar. Namun, setelah tercapai kesepakatan, norma harus dihormati dan dilaksanakan bersama. Sayangnya, beberapa pihak yang tidak setuju terkadang menolak untuk melaksanakannya, sehingga pelanggaran menjadi pilihan mereka.
Kelima, ada situasi tertentu di mana seseorang melanggar norma secara tidak sengaja atau karena terpaksa. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi yang mendesak atau keadaan tak terduga yang memaksa individu untuk melanggar kesepakatan yang telah ada sebelumnya.
Pelanggaran norma juga dapat terjadi di lingkungan lembaga pendidikan formal, seperti sekolah. Setiap sekolah memiliki tata tertib dan kesepakatan yang berbeda mengenai berbagai hal, termasuk iuran sekolah. Namun, aturan tersebut seringkali dilanggar oleh peserta didik, orang tua, guru, maupun manajemen sekolah.
Dalam menghadapi pelanggaran norma dan konstitusi, diperlukan kesadaran dan kesepahaman bersama agar aturan yang telah disepakati dapat dijalankan dengan baik. Penerapan norma yang jelas dan pengawasan yang efektif juga penting untuk mencegah pelanggaran dan menciptakan lingkungan yang adil dan harmonis dalam sebuah komunitas atau lembaga pendidikan.
Bentuk-Bentuk Pelanggaran Norma
Pelanggaran terhadap norma seringkali terjadi meskipun norma seharusnya menjadi acuan bersama yang tidak bertentangan dengan sumber-sumbernya, seperti agama, hukum, sosial, dan kesusilaan. Jenis pelanggaran norma sangat beragam.
Beberapa pelanggaran tidak hanya menabrak satu sumber norma, melainkan beberapa sekaligus. Misalnya, perbuatan mencuri, membunuh, dan berzina melanggar keempat sumber norma tersebut sekaligus. Tidak ada pandangan agama atau keyakinan yang membenarkan tindakan-tindakan tersebut, dan hukum negara juga melarangnya. Selain itu, adat susila dan norma sosial juga menganggap ketiga perbuatan tersebut sebagai perbuatan tercela yang tidak boleh dilakukan.
Di lingkungan sekolah pun, banyak kesepakatan yang sering dilanggar. Misalnya, pelanggaran terhadap aturan tentang ketepatan waktu, kejujuran, penghormatan terhadap guru dan orang tua, serta larangan menggunakan handphone di ruang kelas saat pelajaran berlangsung. Kesepakatan-kesepakatan ini umumnya berlaku di berbagai lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Pelanggaran norma bukan hanya dilakukan oleh peserta didik, tetapi bahkan oleh figur teladan di lembaga pendidikan, seperti guru dan kepala sekolah. Contohnya adalah pungutan liar di sekolah atau praktik jual beli kursi dalam penerimaan peserta didik baru yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.
Kita harus selalu berhati-hati dan mawas diri agar tidak melanggar ketentuan yang telah disepakati. Akibat dari pelanggaran bisa sangat fatal, seperti terlibat dalam tindakan korupsi. Selain menjadi dosa dalam pandangan agama, korupsi juga dapat berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai dari pihak kepolisian, kejaksaan, hingga peradilan. Jika terbukti bersalah, konsekuensinya bisa berupa malu dan pengaruh negatif pada masa depan diri sendiri dan keluarga.
Sebagai anggota masyarakat atau komunitas, seperti di lingkungan sekolah, kita harus membiasakan diri untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disepakati bersama. Jika ada ketidaksetujuan, mekanisme yang telah disepakati juga harus digunakan untuk menyampaikannya. Meskipun ketidaksetujuan diperbolehkan, cara menyampaikannya harus diperhatikan agar tidak menggunakan cara semau sendiri.
Memberikan Sanksi untuk Menjaga Norma
Setiap kesepakatan atau norma berisiko untuk dilanggar oleh siapa pun. Oleh karena itu, penting untuk menyertakan sanksi dalam norma tersebut. Setiap orang yang melanggarnya harus diberikan ganjaran sesuai ketentuan yang telah disepakati, tanpa kecuali, bahkan jika orang tersebut memiliki kekuasaan atau kekayaan.
Di masa lalu, dalam masyarakat yang menghargai adat istiadat, pemimpin memiliki mandat yang kuat dari masyarakat. Posisi pemimpin dihormati dan dihargai, sehingga apa pun yang disampaikan oleh pemimpin diikuti dan dihormati. Oleh karena itu, sanksi dapat diberlakukan oleh seorang pemimpin terhadap anggota yang melanggar. Namun, dengan perkembangan zaman, posisi seorang pemimpin tidak selalu lagi dihormati, bahkan seringkali tidak dihiraukan oleh anggota masyarakat. Mengandalkan pemimpin semata untuk menjaga norma tidak lagi memadai.
Norma harus dijaga bersama oleh partisipasi seluruh anggota masyarakat, terutama ketika terjadi pelanggaran. Sanksi harus diterapkan oleh anggota masyarakat yang dipimpin oleh pemimpin. Dengan cara ini, sanksi menjadi lebih diperhatikan. Pelanggar atau orang yang bersalah tidak hanya berhadapan dengan seorang pemimpin, tetapi juga dengan seluruh anggota masyarakat. Harapannya, dengan pendekatan ini, sanksi dapat diterapkan secara efektif.
Di dalam masyarakat modern, terdapat situasi di mana sanksi terkadang sulit dilaksanakan. Banyak orang lebih mengandalkan hukum formal negara sebagai satu-satunya sarana penegakan norma. Sebagai akibatnya, norma bersama seringkali dilanggar secara bersama-sama, seperti dalam kasus korupsi yang melibatkan banyak pelaku. Tindakan tersebut hanya dianggap sebagai pelanggaran ketika pelakunya tertangkap oleh hukum formal negara. Orang-orang yang mencurigai keterlibatan seseorang dalam tindakan tidak terpuji merasa tidak berdaya karena hukum belum menyentuh mereka.
Dalam situasi seperti ini, sanksi sosial dapat menjadi cara yang efektif. Pengucilan sosial, di mana masyarakat secara negatif membicarakan perbuatan seseorang, diharapkan dapat menjadi cambuk pembelajaran yang efektif.
Tujuan dari memberlakukan sanksi adalah untuk memberikan efek jera. Dengan mendapatkan sanksi, diharapkan seseorang yang melakukan perbuatan merugikan komunitas atau masyarakat tidak akan mengulanginya. Keberhasilan dalam mencegah tindakan yang melanggar norma akan memudahkan pencapaian tujuan bersama. Fokus kita bukanlah hanya menghukum satu individu, tetapi seluruh anggota masyarakat harus menjadi bagian dari potensi kerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Pelanggaran Konstitusi dan Hak-hak Warga Negara
Dalam negara hukum, di mana konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi, melanggar konstitusi dianggap sebagai pelanggaran serius. Melanggar konstitusi berarti tidak melaksanakan mandat yang telah ditetapkan oleh konstitusi, yang dalam kasus ini adalah UUD NRI Tahun 1945. Konstitusi ini mengandung berbagai ketentuan tentang hak dan kewajiban warga negara.
Pasal 26 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa menjadi warga negara adalah hak bagi orang-orang bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan sebagai warga negara melalui undang-undang. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk taat pada hukum dan pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, Pasal 28J ayat (1) menegaskan kewajiban setiap warga negara untuk menghormati hak asasi orang lain.
Disamping kewajiban, setiap warga negara juga memiliki hak-hak yang dijamin oleh konstitusi, seperti hak atas keluarga, kepastian hukum, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 menjamin hak warga negara untuk menjalankan agama dan keyakinannya.
Terkadang, pemerintah tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam konstitusi. Sebagai contoh, Pasal 34 ayat (1) menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar harus dipelihara oleh negara, dan ayat (3) menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Jika pemerintah tidak memenuhi kewajiban tersebut, warga negara berhak menuntut pertanggungjawaban negara.
Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan Pasal 29 ayat (2) menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah sesuai keyakinannya. Jika warga negara merasa bahwa negara tidak memenuhi hak-hak ini, mereka berhak untuk mengajukan gugatan terhadap negara, khususnya pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan.
Dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa hak-hak dan kewajiban warga negara dipenuhi dengan sepenuhnya sesuai dengan amanat konstitusi. Melalui penegakan konstitusi yang baik, diharapkan hubungan yang saling menguntungkan antara negara dan warganya dapat terwujud untuk mencapai tujuan bersama yang lebih baik.