Biografi Kiai Ahmad Dahlan | Profil Kiai Ahmad Dahlan | Kisah Sejarah Kiai Ahmad Dahlan | Keteladana Kiai Ahmad Dahlan | Karakteristik Kiai Ahmad Dahlan |
Wislah.com: Pendidikan sekolah yang sekarang diberlangsungkan di Indonesia adalah salah satu warisan dari Kiai Kholil al-Bangkalani, Kiai Ahmad Dahlan, dan Kiai Hasyim Asy’ari. Beliau adalah seorang yang bermaksud menjadikan masyarakat Islam tidak tertinggal dari majunya pendidikan di Barat. Ada pula pendidikan pesantren yang memiliki muatan agama dan kebangsaan. Jadi dalam pesantren, santri masih diwajibkan untuk belajar sejarah dan kewarganegaraan.
Dua ragam pendidikan di atas merupakan karya dari Kiai Kholil al-Bangkalani, Kiai Ahmad Dahlan, dan Kiai Hasyim Asy’ari. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas tentang: Kisah Kiai Ahmad Dahlan dan Keteladanan Kiai Ahmad Dahlan.
Kisah Kiai Ahmad Dahlan
Muhammad Darwis atau Kiai Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kampung Kauman, Yogyakarta, anak ke-4 dari pasangan Kiai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dengan Siti Aminah binti Kiai Haji Ibrahim.
Sejak kecil beliau sudah terlihat sebagai anak yang cerdas dan kreatif. Beliau mampu mempelajari dan memahami kitab yang diajarkan di pesantren secara mandiri. Beliau dapat menjelaskan materi yang dipelajarinya dengan rinci, sehingga orang yang mendengar penjelasannya mudah untuk mengerti dan memahaminya. Beliau juga sudah mampu membaca al-Qur`an dengan tajwidnya pada usia 8 tahun.
Pada tahun 1883, setelah cukup menguasai pengetahuan agama beliau berangkat ke Makkah selama lima tahun. Di sana beliau mengkaji kitab-kitab Tauhid karangan Syaikh Mohammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma karangan Syaikh Mohammad Abduh, Kanz al-Ulum dan Dairot al-Ma’arif karangan Farid Wajdi, Fi al Bid’ah karangan Ibnu Taimiyah, Tafsir al Manar karangan Sayid Rasyid Ridha, Majalah al-‘Urwat al-Wutsqa, dan masih banyak kitab-kitab yang lain yang sering beliau kaji.
Menjelang kepulangannya beliau menemui Imam Syafi’i Sayid Bakri Syatha untuk mengubah nama dari Muhammad Darwis mendapatkan nama baru Haji Ahmad Dahlan.
Setelah kembali ke tanah air, beliau kembali menuntut ilmu dan belajar ilmu fikih dan nahwu kepada kakak iparnya Haji Muhammad Saleh dan Kiai Haji Muhsin, ilmu falak kepada Kiai Raden Haji Dahlan, hadis kepada Kiai Mahfuzh dan Syaikh Hayyat, ilmu qira`ah kepada Syaikh Amin dan Bakri Satock, ilmu bisa atau racun binatang kepada Syaikh Hasan. Beliau juga belajar kepada Kiai Haji Abdul Hamid, Kiai Muhammad Nur, R. Ng. Sosrosugondo, R. Wedana Dwijosewoyo dan Syaikh M. Jamil Jambek.
Pada tahun 1903, beliau dan anaknya, Muhammad Siradj berangkat ke Makkah dan menetap di sana selama dua tahun. Beliau kembali ke Makkah untuk memperdalam pengetahuan agama. Di sana, beliau belajar secara langsung dari ulama-ulama Indonesia di Makkah yaitu, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, Kiai Mahfuzh Termas, Kiai Muhtaram dari Banyumas, dan Kiai Asy’ari dari Bawean. Selama di Makkah Kiai Haji Ahmad Dahlan juga bersahabat karib dengan Kiai Nawawi al-Bantany, Kiai Mas Abdullah dari Surabaya dan Kiai Fakih dari Maskumambang.
Kiai Ahmad Dahlan ialah seorang yang memiliki gagasan pembaharuan. beliau terpengaruh dengan gagasan dari Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Bahkan beliau pernah mendiskusikan esensi dari gerakan pembaharuan kepada mereka berdua. Untuk mendalami gagasan pembaharuan, beliau sering membaca Majalah al-Manar oleh Rasyid Ridla dan al-‘Urwat al-Wutsqa oleh Jamaludin alAfghany.
Kiai Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Hari ini kita masih menyaksikan karya besar anak bumi putera ini. Beliau meninggalkan pesan bagi para generasi penerusnya di Muhammadiyah, beliau mengatakan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”.
Keteladanan Kiai Ahmad Dahlan
Menciptakan masyarakat islam yang sejahtera
Kiai Ahmad Dahlan dalam menciptakan masyarakat Islam yang sejahtera menekankan pada bentuk-bentuk pelayanan. Hal ini terlihat pada beberapa sekolah, panti asuhan, rumah sakit dan penerbit. Pernah jamaah bertanya kepada beliau, “Kenapa Kiai membahas Surah al-Maun dilakukan berulang-ulang?”. Beliau menjawab, “Saya tidak akan berhenti menyampaikan Surah itu sebelum anda terjun kemasyarakat mencari orang-orang yang perlu ditolong”.
Bentuk-bentuk pelayanan di sini terbagi menjadi tiga bidang yaitu, pendidikan, sosial, dan keagamaan sebagai berikut:
Pertama, di bidang pendidikan lembaga pendidikan Islam harus diperbaharui dengan metode dan sistem pendidikan yang lebih baik. Model pembelajaran sorogan dan bandongan yang selama ini diterapkan di pesantren perlu diganti dengan model pembelajaran klasikal, sehingga sasaran dan tujuan kegiatan pembelajaran lebih terarah dan terukur. Beliau menggabungkan sisi baik model pendidikan pesantren dengan model pendidikan Barat untuk diterapkan dalam pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan dilakukan di dalam kelas, materi pelajaran tidak hanya pengetahuan agama saja tetapi dilengkapi dengan materi ilmu pengetahuan umum.
Kedua, di bidang sosial beliau berkonsentrasi pada empat hal yaitu, mewujudkan bidang pendidikan dan guruan sehingga bisa membangun gedung universitas, mengembangkan agama Islam dengan jalan dakwah dengan membangun langgar, masjid dan madrasah pendakwah di daerah untuk tempat pengajian, pengkajian dan ibadah, membangun rumah sakit untuk menolong masyarakat yang menderita sakit serta membangun rumah miskin dan rumah yatim dan menyiarkan agama Islam dengan mengedarkan selebaran, majalah dan buku secara gratis atau dengan berlangganan.
Ketiga, di bidang keagamaan beliau berusaha keras untuk menghilangkan stigma kaum penjajah bahwa agama Islam itu kolot dan bodoh, karena itu umat Islam perlu diberikan pencerahan ilmu dan iman. Beliau pernah mengatakan, “Manusia itu semua mati (perasaannya) kecuali para ulama (orang-orang yang berilmu). Ulama itu dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal, mereka yang beramalpun semuanya khawatir kecuali mereka yang ikhlas dan bersih”.
Ilmu pengetahuan dan agama adalah pengikat kehidupan manusia
Kiai Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki perasaan yang sama. Perasaan yang sama inilah yang akan membawa manusia pada kemajuan dan peradaban. Perasaan yang sama ini timbul sebab dua alasan yaitu berasal dari satu keturunan yaitu Adam dan Hawa dan tujuan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan. Menurutnya, jika belum timbul perasaan yang sama, maka lakukan tiga hal yaitu menganggap ilmu pengetahuan itu penting untuk dipikirkan, mempelajari ilmu pengetahuan dengan serius dan cermat, dan mengatur kehidupan dengan instrumen al-Qur`an.