Hutang Piutang : Pengertian, Dasar Hukum, Hukum, Rukun, Syarat, Ketentuan, Tambahan, Adab dan Hikmah

Hutang Piutang : Pengertian, Dasar Hukum, Hukum, Rukun, Syarat, Ketentuan, Tambahan, Adab dan Hikmah

Wislahcom / Referensi / : Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam misalnya dalam hutang piutang. Hutang piutang merupakan akad perjanjian dua orang, orang pertama disebut pemberi hutang dan orang kedua disebut penerima hutang, dengan perjanjian bahwa si penerima hutang akan membayar atau mengembalikan sesuatu yang diterimahnya.

Nah bagaimana transaksi hutang piutang dalam islam?

Simak penjelasan tentang : Pengertian Hutang Piutang, Dasar Hukum Hutang Piutang, Hukum Hutang Piutang, Rukun dan Syarat Hutang Piutang, Ketentuan Hutang Piutang, Tambahan dalam Hutang piutang, Adab Hutang Piutang, dan Hikmah Hutang Piutang.


Pengertian Hutang Piutang

Hutang piutang atau qard mempunyai istilah lain yang disebut dengan “dain”. Istilah “dain” ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” yang menurut bahasa artinya memutus. Menurut terminologi Fikih, bahwa akad hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu yang disepakati.

Dasar Hukum Hutang Piutang

Dasar disyariatkan ad-dain atau qard (hutang piutang) adalah al-Qur’an, hadits.

  • Al-Qur’an surah al-Baqarah (2): 245

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah (2): 245).

  • Hadis Rasullullah Saw

“Tidak ada seorang muslim yang memberi hutang kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali.” (HR. Ibnu Majah).

Hukum Hutang Piutang

Hukum asal dari hutang piutang adalah mubah (boleh), namun hukum tersebut bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, yaitu:

  • Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan hutang hukumnya sunnah sebab ia termasuk orang yang menolong sesamanya.
  • Hukum orang yang berhutang menjadi wajib dan hukum orang yang menghutangi juga wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya.
  • Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika terkait dengan hal-hal yang melanggar aturan syariat. Misalnya memberi hutang untuk membeli minuman keras, berjudi dan sebagainya.

Rukun dan Syarat Hutang Piutang

Rukun Hutang piutang (qard) ada tiga yaitu:

  • Dua orang yang berakad (pemberi hutang dan orang yang berhutang),
    • Syarat pemberi hutang antara lain ahli tabarru’ (orang yang berbuat kebaikan) yakni merdeka, baligh, berakal sehat, dan rasyid (pandai serta dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
    • Syarat orang yang berhutang. Orang yang berhutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-muamalah (kelayakan melakukan transaksi) yakni merdeka, baligh dan berakal sehat.
  • Harta yang dihutangkan
    • Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, seperti uang, barang-barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung.
    • Harta yang dihutangkan diketahui kadar dan sifatnya.
  • Sighat ijab kabul

Ucapan antara dua pihak yang memberi hutang dan orang yang berhutang. Ucapan ijab misalnya “Saya menghutangimu atau memberimu hutang” dan ucapan kabul misalnya “Saya menerima” atau “saya ridha” dan sebagainya.


Ketentuan Hutang Piutang

Pada dasarnya hutang piutang merupakan akad yang bersifat ta’awun (tolong menolong). Walaupun demikian, sifat ta’awun itu bisa berujung permusuhan ataupun perselisihan jika salah satu atau kedua belah pihak yang berakad tidak mengetahui tentang ketentuan akad yang mereka lakukan. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  • Hutang piutang sangat dianjurkan untuk ditulis dan dipersaksikan walaupun tidak wajib.
  • Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang. Jika hal ini terjadi, maka termasuk kategori riba dan haram hukumnya.
  • Melunasi hutang dengan cara yang baik dan tidak menyakitkan.
  • Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya.
  • Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak. Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak.
  • Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan hutang, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak orang yang memberikan hutang. Jangan berdiam diri atau lari dari si pemberi hutang, karena akan memperparah keadaan, dan merubah tujuan menghutangkan yang awalnya sebagai wujud kasih sayang berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
  • Segera melunasi hutang

Orang yang berhutang hendaknya berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zalim.

  • Memberikan tenggang waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.

Tambahan dalam Hutang piutang

Ada dua macam penambahan pada qard (hutang piutang), yakni:

  • Penambahan yang disyaratkan.

Demikian ini dilarang berdasarkan ijmak (kesepakatan para ulama). Begitu juga manfaat yang disyaratkan, seperti perkataan: “Aku memberi hutang kepadamu dengan syarat kamu memberi hak kepadaku untuk memakai sepatumu atau menggunakan motormu.” atau manfaat lainnya karena yang demikian termasuk rekayasa dan menjadi riba.

  • Penambahan yang tidak disyaratkan.

Ketika seseorang melunasi hutang kemudian memberi tambahan melebihi hutangnya sebagai wujud balas budi ataupun terima kasih karena sudah ditolong sehingga terbebas dari kesulitan maka hukumnya boleh.

Adab Hutang Piutang

Adapun adab atau etika hutang piutang dalam Islam sebagai berikut:

  • Seorang yang memberikan hutang tidak mengambil keuntungan dari apa yang dihutangkannya.
  • Menulis perjanjian secara tertulis disertai dengan saksi yang bisa dipercaya.
  • Seseorang yang berhutang harus berniat dengan sungguh-sungguh untuk melunasi hutangnya dengan harta yang halal.
  • Berhutang pada orang yang berpenghasilan halal.
  • Berhutang dalam keadaan darurat atau terdesak saja.
  • Tidak boleh melakukan hutang piutang disertakan dengan jual beli.
  • Jika ada keterlambatan dalam pengembalian atau pelunasan hutang, maka segera memberitahukan kepada pihak yang berpiutang dengan baik.
  • Pihak yang berpiutang hendaknya memberikan toleransi waktu atau menangguhkan hutang jika pihak yang berhutang mengalami kesulitan dalam pelunasan.
  • Menggunakan uang hasil berhutang dengan benar.
  • Berterimakasih kepada orang yang berpiutang atas bantuannya.

Hikmah Hutang Piutang

  • Bagi orang yang berpiutang, antara lain:
    • Menambah rasa syukur kepada Allah Swt. atas karunia-Nya berupa kelapangan rezeki.
    • Memupuk sikap peduli dan empati terhadap orang yang membutuhkan.
    • Menumbuhkan rasa solidaritas terhadap sesama manusia.
    • Mempererat tali silaturahim dan persaudaraan.
    • Menambah pahala karena sebagai ladang untuk ibadah.
  • Bagi yang berhutang, antara lain:
    • Menguji kesabaran dan keimanan.
    • Kesulitan hidup menjadi berkurang.
    • Beban hidup menjadi lebih ringan.
    • Dapat membantu terpenuhi kebutuhan hidupnya.
    • Bisa membuka lapangan usaha dengan modal uang hasil berhutang.

Related posts