Biografi Singkat KH. Abdul Halim, Pendidikan, Karya, dan Pemikirannya

Biografi Singkat KH Abdul Halim

Biografi Singkat KH. Abdul Halim | Profil K.H. Abdul Halim | Pendidikan | Karya | Pemikiran |

Biografi Singkat KH Abdul Halim: Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

K. H. Abdul Halim dipanggil dengan nama Mohammad Sjatari oleh orang tuanya pada waktu lahir. K.H. Abdul Halim dilahirkan pada hari Sabtu Pon, 25 Syawal 1304 H. / 17 Juni 1887 M, di Desa Sutawangi, kecamatan dan kawedanaan Jatiwangi, Majalengka. Ayahnya bernama Iskandar dan ibunya Siti Mutmainnah. Menurut Akim di dalam buku Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011) K.H. Abdul Halim diduga masih memiliki garis keturunan dari kesultanan Banten melalui jalur ayahnya. Sedang dari jalur ibunya, keturunan Panembahan Sebranglor, Demak. Deliar Noer di dalam buku Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011) menjelaskan bahwa Iskandar bekerja sebagai penghulu di kawedanan Jatiwangi. Mohammad Sjatari lahir dari keluarga yang memiliki dasar agama Islam cukup kuat. Dari perkawinannya dengan Mutmainnah, Iskandar dikaruniai delapan orang putra dan putri, masing-masing: 1) Iloh Mardiyah, 2) Empon Kobtiyah, 3) Empeu Sodariyah, 4) Jubaedi, 5) Iping Maesaroh, 6) Hidayat, 7) Siti Sa’diyah, dan 8) si bungsu Mohammad Sjatari.

Pada masa kanak-kanak, Mohammad Sjatari tidak terlihat tanda-tanda keistimewaan yang melebihi teman-teman seusianya. Menurut Wanta ia bergaul dan bermain seperti anak-anak pada umumnya sesuai dengan lingkungan pergaulan saat itu di sekitar pekauman Jatiwangi; bermain dengan anak-anak Tionghoa (sebutan untuk orang China), dan Arab, di samping anak-anak pribumi. Namun demikian, sejak kecil Mohammad Sjatari sering dijadikan tempat bertanya dan mengadu, baik oleh teman-temannya maupun saudarasaudaranya. Selain dikenal sebagai orang yang supel dalam bergaul, Mohammad Sjatari juga suka berdagang. Pada usia mudanya, Mohammad Sjatari menjadi pedagang perantara. Dari Majalengka ia membawa kecap, dan terutama dari daerah Pekalongan ia membawa kain plekat untuk dijual di Majalengka. Juga terkadang ia menjualbelikan dagangan orang lain. Kegiatan dagang tersebut ia lakukan ketika menjadi santri di beberapa pesantren di luar Majalengka.


Pendidikan K.H. Abdul Halim

Sejak usia 10 tahun Mohammad Sjatari mulai gemar belajar membaca Alquran. Kegemarannya tersebut ia salurkan dengan cara mondok menjadi santri dari pesantren satu ke pesantren lainnya yang ada dalam lingkup daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah hingga usianya mencapai 22 tahun. Sebagaimana yang dijelaskan Jalaludin di dalam buku Mengenang Perjuangan dan Kepahlawanan K.H. Abdul Halim, sebagai sebuah keluarga dengan tradisi keagamaan yang kuat, pendidikan dasar yang utama ditanamkan terhadap Mohammad Sjatari adalah pendidikan keagamaan. Iskandar dan Siti Mutmainnah, menanamkan pendidikan dasar keagamaan kepada Mohammad Sjatari sebelum memasuki usia sekolah.

Namun sayangnya, pendidikan dasar keagamaan yang diterima oleh Mohammad Sjatari tidak tuntas secara sempurna. Artinya, ketika ayahnya meninggal dunia pada saat usia Mohammad Sjatari masih kecil, pendidikan dasar keagamaan hanya diberikan oleh ibundanya, Siti Mutmainah. Namun demikian dengan latar belakang tradisi keislaman yang begitu kuat, Siti Mutmainah tidaklah terlalu sulit untuk menanamkan dasar-dasar keagamaan kepada anak-anaknya.

Mohammad Sjatari bermain dan bergaul tidak hanya dengan anak-anak pribumi, melainkan juga dengan anak-anak keturunan Arab dan China. Mereka selalu bersama-sama membangunkan warga desanya untuk melaksanakan makan sahur pada saat menjalan ibadah puasa Bulan Ramadhan. Tradisi ini lebih dikenal dengan sebutan obrog-obrog. Berikutnya Wanta menjelaskan bahwa hal yang menbedakan dari teman-temannya sebayanya, Mohammad Sjatari sangat menyukai pertunjukan wayang kulit purwa dan kalau ada masyarakat yang hajat serta menggelar pertunjukan wayang, ia selalu bersama dengan orang tua atau saudara kandungnya.

Menurut Wanta, Mohammad Sjatari adalah seorang otodidak. Demikian pula menurut Jalaludin yang menyebutkan bahwa Mohammad Sjatari tidak pernah mengikuti jenjang pendidikan umum secara formal di sekolah ataupun madrasah. Kondisi demikian dapat dimengerti, mengingat situasi kehidupan bangsa Indonesia pada masa itu benar-benar kurang menguntungkan di segala bidang, termasuk sistem pendidikan di sekolah-sekolah Gubernemen.

Memang dijumpai informasi, mulai 1864 Sekolah Dasar Bumi putera telah dikembangkan sedemikian rupa. Bahkan pada 1893 terjadi reorganisasi pendidikan dasar. Namun tampaknya, ibunya Mohammad Sjatari tidak memiliki niat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah Gubernemen. Hal itu disadarinya, karena yang diperkenankan mengikuti pelajaran di sekolah-sekolah Gubernemen hanya anak-anak pemimpin puncak dan tokoh-tokoh terkemuka saja. Sedangkan untuk masyarakat biasa hanya diperbolehkan masuk sekolah “kelas dua”. Pembatasan pendidikan demikian masih dirasakan hingga tahun 1912. Untuk itu, Mohammad Sjatari dimasukkan ke pesantren.

Menurut Wanta yang menyebutkan bahwa seiring dengan kepindahan keluarganya ke kampung Cideres, Desa Dawuan, Kecamatan Dawuan sekitar tahun 1896, intensitas pendidikan keagamaan yang diterima oleh Mohammad Sjatari semakin meningkat. Intensitas belajar membaca Alquran yang diterima oleh Mohammad Sjatari semakin meningkat dan proses pembelajaran itu dilakukannya sehabis menunaikan shalat lima waktu.

Menurut Wanta alasan lainnya Mohammad Sjatari menempuh jalur pendidikan pesantren, diduga berkaitan dengan pendidikan agama yang telah ditanamkan ibunya sejak kecil. Terdapat informasi, sejak usia pra-sekolah Mutmainah telah mengajarkan dasar-dasar pendidikan agama kepada Mohammad Sjatari, sehingga pada usia 10 tahun ia sudah dapat membaca mushaf (Alquran). Pada usia 10 tahun itulah Mohammad Sjatari mulai dimasukkan ke pesantren di bawah bimbingan seorang kyai di Kampung Cideres, Kecamatan Dawuan, Majalengka, untuk melanjutkan pelajaran Alquran.

Menurut Jalaludin saat berada di Cideres Mohammad Sjatari tidak hanya belajar Alquran, tetapi juga belajar membaca dan menulis huruf Latin dan bahasa Belanda kepada seorang paderi Kristen berkebangsaan Belanda, romo Verhouven. Seorang pendeta yang bertanggung jawab atas kegiatan Zending di Majalengka. Menurut Deliar Noer bahwa Zending merupakan kegiatan menyebarkan agama Kristen Protestan kepada penduduk pribumi yang belum menganut Protestan. Landasannya adalah bagaimana caranya mengubah agama penduduk pribumi menjadi penganut Protestan untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sementara itu, untuk Katolik kegiatan semacam itu dikenal dengan nama misi.


Menginjak usia 11 tahun Mohammad Sjatari mulai memperdalam ilmu agama Islam secara periodik dari pesantren ke pesantren. Mula-mula ia masuk ke pesantren Lontang Jaya, Penjalin, Leuwimunding. Di pesantren ini Mohammad Sjatari belajar ilmu qira’at dan tajwid kepada seorang kyai bernama Abdullah. Setelah lulus, ia pindah ke pesantren Bobos, Mohammad Sjatari mendapat bimbingan langsung dari Sjudja’i, kyai di pesantren itu. Selanjutnya belajar ke pesantren Ciwedus, Timbang, Cilimus, Kuningan. Di pesantren Ciwedus ia dibimbing oleh Sobari (Kyai Sjaubari). Setelah lulus, Mohammad Sjatari pindah lagi ke pesantren Kanayangan, Kedungwuni, Pekalongan, dan setelah itu ia kembali mondok di pesantren Ciwedus, Kuningan.

Pada 1908 Mohammad Sjatari berkesempatan melaksanakan ibadah haji. Setelah musim haji selesai ia tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi bermukim di Makkah untuk melanjutkan pendidikan agamanya. Kuat dugaan, Mohammad Sjatari belajar di pusat jaringan ulama Haramayn. Masa studinya di Timur Tengah bersamaan dengan masa studi Mas Mansur, Abdul Wahab, Sanoesi, serta kawankawannya dari Sumatera. Dengan demikian, kuat dugaan pula Mohammad Sjatari belajar kepada para ulama yang menjadi guru-guru kawan-kawannya di atas. Hal terpenting di antara guru-guru K.H. Abdul Halim selama di Haramayn adalah Ahmad Khatib Minangkabawi dan Ahmad Khayyat.

Pada 1911 Mohammad Sjatari dijemput keluarganya. Dengan demikian, masa studinya di Timur Tengah hanya berlangsung kurang lebih tiga tahun. Sekembalinya ke tanah air, ia tidak menggunakan nama kecilnya (Mohammad Sjatari), tetapi menggantinya dengan Abdul Halim. Nama itu tetap dipakainya hingga akhir hayatnya.

Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan bahasa China dari orang China yang bermukim di Mekkah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di luar maupun di dalam negeri, K.H. Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip. Ia tidak mau bekerja sama dengan kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi pegawai pemerintah, ia menolaknya.

Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekkah, K.H. Abdul Halim mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa orang tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan (attarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyyah).

Karya KH. Abdul Halim

Pada tataran syiar Islam lewat organisasi yang dipimpinnya, Persyarikatan Oelama (PO), K.H. Abdul Halim sebagai pemikir yang berorientasi kearah pembaharuan, ia sangat intens menyelenggarakan tabligh sebagai salah satu cara membangun karakter keagamaan masyarakat dengan baik, menerbitkan majalah sebagai salah satu sarana masyarakat dalam menggali informasi dan ilmu pengetahuan yang lebih luas, dan brosur sebagai media organisasi singkat dan ringkas yang dapat dengan mudah diakses masyarakat dalam upaya pencarian informasi umum yang praktis dan sistemis.

Atas pemikiran-pemikirannya yang senantiasa jernih, ia banyak menuangkan pemikirannya dalam bentuk buku dan brosur. Dengan demikian, ia dapat digolongkan sebagai ulama yang produktif dalam menulis. Namun sayang sebagian besar tulisannya banyak yang terbakar saat agresi militer Belanda ke dua. Di antara karyanya yang dapat dicatat dalam sejarah antara lain:

  1. Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia.
  2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam (1936).
  3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah (1934).
  4. Persjarikatan Oelama (sebagai Ketua Tim Penyusunan) Dawatul Amal.
  5. Tarikh Islam.
  6. Neraca Hidup.
  7. Risalah.
  8. Ijtimaiyah Wailajuha.
  9. Kitab Tafsir Tabarok.
  10. Kitab 262 Hadits Indonesia.
  11. Babul Risqi.

Atas kekejian tentara Belanda saat agresi militer II pada 1948 yang dengan sengaja membakar buku-buku karya Abdul Halim tersebut, maka yang tersisa tinggal tiga buku saja yaitu:

  1. Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia.
  2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam.
  3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Oelama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).

Dari hasil wawancara dengan Kyai Kholiq Fadlullah (Cucu K.H. Abdul Halim), didapat informasi bahwa buku-buku/ karya-karya K.H. Abdul Halim banyak yang hilang, bahkan waktu ia masih hidup pun banyak yang sudah tidak ada.

Sejak 1930-an hingga1962, tulisan-tulisan K.H. Abdul Halim yang menunjukkan kecemerlangan gagasan atau pemikirannya dalam memperbaharui kehidupan masyarakat Islam, banyak dimuat dalam berbagai majalah, antara lain Suara Persyarikatan Oelama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), dan dalam bentuk lembaranlembaran tercetak atau stensil, yang penyebarannya diutamakan untuk kalangan organisasi Persjarikatan Oelama. Dalam majalah Suara MIAI, ia aktif menjadi pengisi artikel Ruangan hadits. Adapun beberapa tulisan K.H. Abdul Halim yang dimuat dalam majalah dimaksud, antara lain:

  1. “Jalan Sempurna ke Arah Kebangkitan Dunia Akhirat”, Catatan Harian/ Manuskrip, tanpa tahun.
  2. “Oelama Pembawa Amanat Allah”, dalam SMI, Vo. 16 Th. II. 1363/ 2604
  3. “Agama Pelita masyarakat”, dalam majalah Mingguan Hikmah, No. 19, th. X, 25 Mei 1957/ 25 Syawal 1376
  4. “Masjarakat Hidup dan Semangat Bekerdja”, dalam majalah Soeara Muslimin Indonesia (SMI), no. 3, th II, 1363/ 2604; “Tangga Kebahagiaan Oemoem”, dalam Soeara MIAI, No. 2, th. I, 1934
  5. “Ruangan Hadis Tentang Penutup Para Nabi”, dalam majalah Soeara Madjlis Islam A’la Indonesia (MIAI), No. 2, th. I, 1372/ 2603
  6. “Azas dan Tujuan Pendidikan/ Pengajaran Santi Asromo, 1932 dan lain sebagainya

Pada tanggal 7 Mei 1962, K.H. Abdul Halim meninggal dunia di Santi Asromo. Berita meninggalnya K.H. Abdul Halim pertama kali diumumkan oleh RRI Regional Bandung yang keesokan harinya dimuat juga di Pikiran Rakyat dengan menuliskan riwayat singkat perjuangannya. Pada tanggal 1 Juni 1962, Gema Islam menerbitkan juga riwayat perjuangan K.H. Abdul Halim secara panjang dan lebar di kolom Kronik.

K.H. Abdul Halim meninggal dunia dalam usia 75 tahun dan meninggalkan seorang istri yang dinikahinya pada tahun 1908. Tidak ada harta melimpah yang diwariskan kepada istri dan keenam anaknya. Warisannya adalah semangat perjuangannya untuk melakukan perbaikan umat. Istrinya pun hanya ditinggali penghasilan berupa tunjangan sebagai janda seorang Perintis Kemerdekaan. Tidak banyak hartanya, tetapi semangat perjuangannya yang tidak dapat diukur oleh materi.

Related posts