WISLAH.COM – Pemerintah Tajikistan baru-baru ini mengesahkan undang-undang kontroversial yang melarang penggunaan jilbab di negara tersebut. Langkah ini menuai kritik dan kecaman dari berbagai pihak, terutama karena mayoritas penduduk Tajikistan adalah Muslim.
Undang-undang yang baru disahkan tersebut melarang penggunaan “pakaian asing”, termasuk jilbab atau penutup kepala lainnya yang biasa dikenakan oleh perempuan Muslim. Pemerintah Tajikistan berdalih bahwa larangan ini bertujuan untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah ekstremisme.
Namun, banyak pihak yang menilai larangan ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap umat Muslim. Mereka berpendapat bahwa jilbab adalah bagian dari identitas keagamaan dan tidak seharusnya dilarang oleh negara. Beberapa organisasi hak asasi manusia juga mengecam langkah pemerintah Tajikistan ini sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama.
Larangan jilbab di Tajikistan bukanlah hal baru. Sebelumnya, pemerintah telah melarang penggunaan jilbab di lembaga-lembaga publik seperti sekolah dan kantor pemerintah. Namun, undang-undang baru ini memperluas larangan tersebut ke ruang publik secara umum.
Pemerintah Tajikistan berargumen bahwa larangan jilbab diperlukan untuk menjaga keamanan nasional dan mencegah penyebaran ideologi radikal. Namun, para kritikus berpendapat bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa jilbab terkait dengan ekstremisme.
Keputusan pemerintah Tajikistan ini telah memicu protes dari masyarakat, terutama dari kalangan perempuan Muslim. Mereka merasa hak mereka untuk berpakaian sesuai dengan keyakinan agama mereka telah dilanggar.
Larangan jilbab di Tajikistan menjadi sorotan dunia internasional. Banyak negara dan organisasi internasional yang menyerukan agar pemerintah Tajikistan mencabut larangan tersebut. Namun, hingga saat ini, pemerintah Tajikistan tetap pada pendiriannya dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mengubah kebijakan kontroversial ini.