Sejarah Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Sejarah Singkat Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Sejarah Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon | Pondok Pesantren Babakan | Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon |

Pendahuluan

Lembaga pendidikan Islam tradisional atau pesantren di Indonesia hari ini, termasuk pesantren-pesantren di Cirebon, oleh banyak akademisi dijadikan sebagai subjek penelitian. Hal ini seolah menjawab tantangan KH. Abdurrahman Wahid (selanjutnya ditulis Gus Dur) di tahun 1983, dalam paragraf pertama esainya “Pesantren Sebagai Subkultur”.

Pengakuan bahwa pesantren adalah subkultur masih berupa usaha pengenalan identitas kultural yang dilakukan dari luar kalangan pesantren, bukanya oleh kalangan pesantren sendiri. Jika diingat pendekatan ilmiah yang terbaik untuk mengenal hakekat sebuah lembaga kemasyarakatan adalah pendekatan naratif (narrative), dimana kalangan lembaga itu sendiri yang melakukan identifikasi dalam bentuk monografi-monografi. Dengan demikian, selama istilah itu belum diuji secara ilmiah-murni, kesimpulan apapun juga yang didapat dari penggunaan masih akan berupa kesimpulan sementara, tetapi sifat kesementaraan itu tidak mengurangi nilai objektifitas ilmiahnya.[1]


Di dalamnya, Gus Dur secara tersirat berkeinginan untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam tradisional ini menjadi subjek penelitian yang berkelanjutan. Karena pesantren dari masa ke masa, dari masa wali songo hingga sekarang, terus tubuh dan berkembang. Sedangkan penelitian yang dilakukan, bisa difungsikan sebagai alat untuk menemukan sistem pendidikan yang paling mendekati kebenaran, untuk mencapai tujuan atau hasil yang lebih maksimal[2].  

Di Cirebon, ada banyak pesantren yang biasa dijadikan subjek penelitian, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin[3], Pondok Pesantren Buntet[4], Pondok Pesantren Kempek, dan beberapa pesantren lainnya[5]. Masing-masing peneliti menggunakan berbagai macam pendekatan untuk mengupas pesantren. Dari mulai pendekatan sosiologis, antropologis, sampai dengan pendekatan historis[6].

Peneliti tumbuh dan berkembang dalam lingkungan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, merasa harus terlibat dalam lingkungan penelitian dengan pesantren sebagai subjeknya. Terlebih Gus Dur masih dalam esai “Pesantren Sebagai Subkultur” menawarkan model penelitian pesantren yang berasal kalangan lembaga pendidikan Islam Tradisional itu sendiri, dengan melakukan identifikasi[7].

Sebagai subjek penelitian, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin adalah pondok pesantren yang unik, karena di dalamnya bukan hanya satu lembaga pendidikan tetapi ada banyak pesantren. Saat ini, ada sekitar 30 pondok pesantren di lingkungan Babakan Ciwaringin[8]. Semuanya tumbuh bersama, namun dengan corak dan identitas kelembagaannya masing-masing.

Menariknya, di tengah komunitas pendidikan Islam Trasional, tumbuh secara cepat lembaga pendidikan Islam formal berbasis madrasah. Mahmudah dalam nujabar.com menyebutkan ada banyak lembaga pendidikan selain pesantren di Babakan Ciwaringin[9],

Di samping lembaga pondok pesantren, bumi Babakan juga memiliki sejumlah lembaga pendidikan formal baik milik pemerintah maupun swasta. Di antara lembaga pendidikan milik pemerintah, yaitu; Madrasah Aliyah Negeri (disebut juga dengan MAN Model), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN), dan Sekolah Dasar Negeri (SDN). Sementara itu, guna membekali santri dengan ijazah yang legitimate, pendidikan madrasah dan sekolah umum yang terstruktur dan berjenjang, didirikan di bumi pesantren Babakan. Di antara lembaga pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak, antara lain; (RA/TK Uswatun Hasanah dan TK Perjuangan), Madrasah Ibtidaiyah (Madrasah A’malul Muta’allimin, Madrasah Rahmatal Lil’alamin), Madrasah Tsanawiyah (Madrasah Salafiyah Syafi’iyah/MSS, Sekolah Menengah Pertama Pesantren/SMPP) dan Madrasah Aliyah (Madrasah Aliyah Pesantren/MAP, SMEA Babakan, SMK Tribakti.

Di samping lembaga pendidikan tingkat Atas/Aliyah ke bawah, pesantren Babakan Ciwaringin juga menyelenggarakan pendidikan Strata satu (S1); yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Ali (STAIMA) dengan konsentrasi pada studi pendidikan Islam/Tarbiyah dan Ma’had Ali Al-Hikamus Salafiyah yang mengkonsentrasikan pada studi Hukum Islam dan Sejarah Pemikiran Islam. Lembaga pendidikan lain yang bersifat non formal adalah lembaga pendidikan dan pelatihan al-Biruni. Lembaga ini memfasilitasi para santri dalam program pengembangan pendidikan dan ketrampilan, baik melalui kursus bahasa Inggris, Arab, komputer, lokakarya dan lain-lain.       

Dengan berbekal fakta di atas, peneliti melihat pengungkapan dinamika relasi kedua jenis lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Babakan ini menjadi penting. Sebagai pisau analisanya, pendekatan sejarah[10] adalah hal yang tidak bisa tawar, karena proses relasi kedua jenis lembaga ini memanjang dalam ruang waktu.      

Rumusan Masalah dan Batasan Penelitian

Rumusan Masalah

Sebelum pada pertanyan utama, ada beberapa pertanyaan penelitian yang penting untuk dijawab sebagai dasar penelitian.

  1. Bagaimana dinamika Pesantren Babakan Ciwaringin dari masa perintisan sampai sekarang?
  2. Bagaimana dinamika lembaga pendidikan Islam formal (madrasah) di Babakan Ciwaringin?       

Setelah dua pertanyan di atas terjawab, kemudian penelitian ini berusaha menjawab pertanya utamanya, bagaimana dinamika relasi antara pesantren dan pendidikan formal, khususnya dari sisi kelembagaan?

Batasan Penelitian

Batasan penelitian penting dituangkan, agar penelitian tidak keluar dari subjek penelitiannya.

  1. Penelitian hanya fokus pada pesantren-pesantren yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.
  2. Penelitian hanya fokus pada lembaga pendidikan formal yang berbasis madrasah.
  3. Penelitian hanya fokus pada dinamika relasi kelembagaanya.   

Landasan Teori

Berkaitan dengan pertanyaan penelitian di atas, kajian ini memfokuskan pada dinamika relasi lembaga Pondok Pesantren dan lembaga pendidikan formal (Madrasah). “dinamika”, “relasi” dan “lembaga pendidikan Islam” adalah kata kunci utama penelitian ini. Ketiga kata kunci ini, penting untuk dibahas sebelum melakukan penelitian dengan pendekatan sejarah. Agar semua data yang diungkap dalam “hasil penelitian” memiliki landasan teori yang kuat.      

Pengertian Dinamika dan Relasi

Dinamika secara bahasa berasal dari kata dynamic, dynamism mengandung makna tenaga gerak, bergerak[11]. Lebih Peter Salim dalam kamusnya “The Contemporary English Indonesian Dictionary”  mendefinsikan “dinamika” dengan perubahan atau pergerakan yang berkelanjutan, dan bisa dimaknai sesuatu yang berhubungan dengan gerak kemajuan[12].

Dalam pandangan Munir, dinamika adalah suatu sistem ikatan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara unsur-unsur tersebut. Jika salah satu unsur sistem mengalami perubahan, maka akan membawa perubahan pula pada unsur-unsur lainnya[13].   

Dalam penelitian dengan menggunakan “pendekatan sejarah”, kata “dinamika” menjadi suatu yang lumrah digunakan. Hal ini karena kata “dinamika” sendiri, sebagai mana dikaji secara bahasa di atas, bisa mewakili peristiwa yang berjalan dari masa tertentu ke masa setelahnya. Misalnya, buku “Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru” karya Moch. Tolcha[14], di dalamnya rangkaian peristiwa sejarah pendidikan dibahas, dari satu periode ke periode berikutnya.

Sedangkan kata “relasi” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesi) bermakna hubungan; hubungan, pertalian[15]. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan antara satu entitas dengan entitas lainnya. Dalam konteks penelitian ini, adalah satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya, antara pesantren dengan madrasah.

Pengertian Lembaga Pendidikan Islam  

Kata “lembaga” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki makna yang beragam; “1. asal mula (yang akan jadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, atau tumbuhan); 2. bentuk (rupa, wujud) yang asli; 3. acuan; lekatan (tt mata cincin dsb); 4.  badan (organisasi) yg tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha”. Sedangkan kata “lembaga” jika bersambung dengan “pendidikan”, bermakna “lembaga yang mengurusi masalah pendidikan[16]. Jadi, pengertian “Lembaga Pendidikan Islam” secara bahasa adalah lembaga yang mengurusi masalah pendidikan Islam[17].

Dalam pandangan Moh. Roqib, lembaga pendidikan adalah istitusi yang memang secara sengaja dibentuk untuk keperluan khusus kependidikan[18]. Artinya, dengan menggunakan dasar pandangan Moh. Roqib, lembaga pendidikan Islam bisa dimaknai, “istitusi yang memang secara sengaja dibentuk untuk keperluan khusus kependidikan Islam”.       

Faktor “sengaja” atau “sadar” dalam membangun lembaga pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata, membutuhkan enam dasar argumentasi; historis, sosiologis, ekonomi, politik, administrasi, psikologi, dan filosofis[19]. Idealnya secara teoritik, baik lembaga pendidikan Islam tradisional atau lembaga pendidikan formal berbasis madrasah, menjadikan seluruhnya sebagai dasar konseptual berdirinya sebuah pendidikan Islam.

Pesantren adalah bagian didalam kategorisasi lembaga pendidikan Islam tradisonal. Ini sangat jelas dalam defisini pesantren yang disampikan oleh Mastuhu, “adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, mengahayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari”[20].

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga memiliki subjek pendidikan. Menurut Wahid Zain, peserta didik (baca: santri) memiliki ciri yang sangat khas; 1. Relatif memiliki kepedulian terhdap kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah, 2. Menjaga hubungan baik dengan Allah, sebagai Pencipta dan Pemiliknya, 3. Menjaga hubungan baik terhadap sesama[21].     

Ciri lain dari pesantren adalah dalam kehidupan sehari-hari, yaitu santri dibiasakan hidup sederhana dan memiliki sikap tunduk dan patuh kepada kyai. Tinggal dalam jangka waktu yang lama dengan kyai selama proses pendidikan juga menjadi bagian dari ciri pesantren[22].

Sejarah Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin : Hasil Penelitian

Sejarah Menjelang Perintisan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin

Sebagai pembuka bahasan sejarah Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, peneliti akan menyampaikan terlebih dahulu pesantren yang lebih dahulu hadir di Cirebon. Sebagai penjelas posisi, meskipun Pondok Pesantren Babakan Cirebon termasuk pesantren tua di Indonesia, tetapi ada pesantren yang jauh lebih tua darinya.

Pesantren tertua di Cirebon tertua adalah pesantren yang didirikan oleh Syekh Nurjati. Dalam keterangan Didin Nurul Rosidin yang dikumpulan dari berbagai naskah klasik Cirebon[23], pesantren tersebut berdiri pada abad 15. Syekh Nurjati membangun pesantrennya di bukit Amparan Jati, di kampung Pesambangan.

Di dalam pesantrennya, Syekh Nurjati banyak sekali mengajarkan banyak ilmu keislaman; ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tasawuf, dan berbagai macam hizib, doa-doa serta Asma Allah. Di luar hal yang kognitif, Syekh Nurjati juga memberikan keilmuan dalam ranah afektif dan psikomotorik, adalah: “1. Kebaikan budi pekerti. 2. Kemurahan hati. 3. Sopan santun, merendah diri, jangan takabbur, jangan congkak. 4. Melakukan pengetahuannya dengan hati-hati jangan sampai dikatakan orang bahwa ia tidak baik atau tidak benar”. Syekh Nurjati juga menganjurkan agar peserta didiknya, “suka bertapa, sedikit makan, menjauhi pergaulan orang-orang yang kurang waras jalan fikirannya dan menjauhi pergaulan dengan orang-orang cerdik pandai tetapi mempunyai kesopanan dan tatakerama”[24].   

Setelah pesentren yang didirikan oleh Syekh Nurjati, yang lebih dahulu dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, adalah pesantren yang didirikan oleh Syekh Syarif Hidayatullah. Sebelum mendirikan pesantren, Syekh Syarif Hidayatullah memulai dengan membangun tajug atau masjid sebagai pusat pendidikan dimana beliau mendidik murid-muridnya[25].

Syekh Syarif Hidayatullah adalah sosok yang tidak hanya fokus pada dunia pendidikan Islam. Itu yang kemudian setelah mendapatkan amanah menjadi pimpinan tertinggi di karaton Cirebon, yang diberikan kakak dari ibunya (bahasa Cirebon: uwa). Beliau dan generasi selanjutnya menjadi keraton sebagai pusat pendidikan.

Pembuktian yang tidak bisa terbantahkan bahwa karaton sebagai pendidikan Islam—yang sebelumnya berada di pesantren, adalah data yang dikumpulkan oleh Hadi[26]. Disebutkan ada banyak naskah keagaaman, mulai dari naskah (kitab) yang membahas tentang tajwid, fiqih, sampai dengan naskah tarekat.  

Sayangnya kegemilangan keraton sebagai pusat pendidikan Islam tergerus, karena keraton-keraton di Cirebon (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebon, dan Kaprabonan) berhasil potong perannya oleh penjajah Belanda.[27] 

Sejarah Perintisan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin

Perintisan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin oleh Kyai Jatira atau KH. Hasanuddin (1715) adalah bagian dari potret dinamika pendidikan Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Pusat pendidikan Islam yang awalnya berpusat di-“keraton” kemudian berpindah ke daerah-daerah, salah satunya upaya Kyai Jatira merintis Pondok Pesantren di daerah Babakan Ciwaringin, di perbatasan Karesidenan Cireboan  dan Karesidenan Priangan.

Kyai Jatira jelas orang yang tahu benar kondisi keraton saat itu, karena beliau adalah putra dari KH. Abdul Latief yang masih punya hubungan kekerabatan keraton[28]. Saat itu (baca: awal abad 18) posisi politik keraton sudah lemah di hadapan penjajah Belanda.

Lembaga pendidikan Islam yang dirintis oleh Kyai Jatira sangat sederhana. Sikap hidup pendirinya pun yang sangat sederhana dan gampang menyatu dengan masyarakat sekitar, terutama mereka yang tergolong miskin. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab pesantren yangd dirintisnya cepat tumbuh.

Penanaman sikap anti-kolonial pun menjadi salah satu hal yang sangat kental di pesantren ini. Ini yang kemudian menjadikan Zamzami membuat tesis, jika Pondok Pesantren Babakan bukan hanya dirintis sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai ucapaya membangun strategi perlawanan terhadap penjajah[29]

Sejarah Lahirnya Pesantren-Pesantren di Babakan Ciwaringin

Kyai Jatira wafat, tidak ada data atau penelitian akademik berhasil mengungkap tahun berapa beliau wafat. Penerus beliau dalam perintisan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin adalah menantunnya KH. Nawawi. Walaupun dalam fakta historis yang diungkap oleh Zamzami, disebutkan bahwa KH. Nawawi tidak meneruskan proses pendidikan Agama Islam di lokasi di mana Kyai Jatira merintis. Melainkan berada satu kilometer sebeluh selatan, dari lokasi pondok pesantren yang dirintis oleh Kyai Jatira[30].

Berbeda dengan masa Kyai Jatira, pada masa KH. Nawawi, pondok pesantren ini sudah memiliki nama yang eksplisit, yaitu Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin. Dalam mendidik peserta didik di pesantren yang dibangunnya ini, KH. Nawawi dibantu oleh KH. Adzroi. Setelah wafat keduanya, pesantren dipimpin oleh putra KH. Adzroi, KH. Ismail[31]. Pada masa beliau ini, ada banyak santri yang kemudian menjadi ulama besar, salah satunya KH. A. Syathori[32], putra K.H. Sanawi bin Abdullah bin Muhammad Salabi, pendiri Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun.

Setelah KH. Ismail bin KH. Adzroi wafat 1800, Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin dipimpin oleh KH. Amin bin KH. Arysad (selanjutnya ditulis KH. Amin Sepuh). Dari data yang diungkap oleh Zamzami, kepemimpinan lembaga pendidikan tidak langung dipimpin oleh KH. Amin Sepuh, melainkan baru beliau pimpin pada tahun 1916[33].

Sepanjang kepemimpinan KH. Amin Sepuh sampai dengan beliau wafat tahun 1972, dengan pola pendidikan tradisional yang digunakannya, berhasil melahirkan ulama-ulama besar yang dikemudian hari juga mendirikan pondok pesantren. Antara lain, Habib Muhammad bin Yahya (Kang Ayip Muh, Kota Cirebon), KH. Masykur Yasin, KH. Abdullah Abas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Hannan, KH. Sanusi, KH. Machsuni (Kwittang), dan lainnya[34].      

Perjungan KH. Amin Sepuh cukup keras dalam membangun Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin. Pesantren diserang oleh penjajah, seluruh santri pergi dan keluarga KH. Amin Sepuh mengungsi. Kitab-kitab bahan pembelajaran dibakar (termasuk Al-Quran), bangunan dihancurkan.

Tahun 1955, KH. Amin Sepuh kembali dari pengungsian. Mendengar kembali pesantren beliau (Raudlatut Tholibin) sudah kembali aktif, para santri dari berbagai daerah berdatangan. Dari tahun ke tahun bertambah, sampai tidak tertampung lagi.

Disebutkan oleh Zamzami[35], saat itu rumah-rumah pendidik (baca: ustadz) yang ikut mengabdi dalam Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin dijadikan tempat para santri tinggal dan tempat berlangsungnya prose pembelajaran. Di antaranya umah KH. Hanan, KH. Sanusi, dan lainnya[36].

Jumlah santri yang terus banyak, menjadikan para pendidik yang sebelumnya mengabdi di Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, mulai merintis pondok pesantren masing-masing.

Di antaranya, Tahun 1960-1970 adalah tahun-tahun dimana Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, berlahiran pondok pesantren baru. Awal-awal tahun 1960-an, KH. Syaerozie mendirikan Pondok Pesantren Asaalafie[37]. Secara garis besar pondok pesan ini mengarakan banyak hal mulai dari di hal fikih, tauhid, tasawuf, gramatika bahasa Arab (nahwu, saraf, balaghah), dan hal lainnya yang berkaitan dengan keterampilan. Tahun 1965, KH. Amin Halim dan Nyai Masturoh Amin, mendirikan Pondok Pesantren Muallimat. Khoriyah menyebutkan, pondok yang khusus santri perempuan ini, hanya mengikuti pendidikan dilingkungan pesantren[38]. Tidak dibolehkan mengikuti pendidikan formal, yang saat itu sudah mulai tumbuh (lihat pada pembahasan pendidikan formal).

Di tahun 70an, lahir Balai Pendidikan Pondok Putri AL-Istiqomah (BAPENPORI) yang dirintis oleh Nyai. Hj. Izzah dan suaminya KH. Fuad Amin. Seperti halnya Pondok Pesantren Muallimat, pondok ini beridiri khusus santri perempuan. BAPENPORI sangat komitmen dengan pendidikan perempuan, karena bukan hanya pindidikan keislamaan, pesantren mengadakan berbagai kegiatan. Mulai dari kursus PKK (Kursus Pendidikan kesejahteraan keluarga); home industri dan menjahit, kursus mengetik, dan berbagai program berbagai kursus lainnya[39].     

Dari masa kemasa, kesemua pondok pesantren di Babakan Ciwaringin mengunakan pola pembalajaran tradisonal.  Yaitu semuanya berkiat dengan kitab kuning atau kitab yang dikarang ulama, terutama yang mengunakan bahasa Arab. Semua kategorisasi kitab kuning yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier masuk di dalamnya; “1. Nahwu dan shorof; 2. Fiqh; 3. Usul fiqh; 4. Hadits; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan etika, dan 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah[40].    

Sedangkan metode pembelajarannya dengan bandongan dan sorogan, dengan sistem halaqah. “Sorogan artinya belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Bandongan artinya belajar secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Biasanya kiyai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya[41].

  Dalam konteks kelembagaan, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin terus tumbuh. Zamzami dalam bukunya “Babad Kana” mengungkap adanya dua hal yang sangat mendasar bagi sebuah lembaga pendidikan; 1. Landasan filosofis Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, 2. Visi dan Misi Pesantren Babakan Ciwaringin[42].  

Landasan Filosofis

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin terlahir sebagai manifestasi kebutuhan ummat akan pola dan sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi kekinian, kondisi di mana hajat akan terciptanya sebuah generasi yang tidak hanya mengejar nilai-nilai duniawi juga tidak hanya ngejar nilai-nilai ukhrawi yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari

“Dan  tuntutlah dengan apa yang telah diberikan Allah kepadamu kebahagiaan akhirat, dan jangan lupakan kehidupan dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berlaku baik kepadamu, dan jangan membuat kerusakan dimuka bumi, seseungguhnya Allah tidak menyukai orang yang merusak” (QS. Al-Qashash: 77).     

Visi dan Misi Babakan Ciwaringin

Visi Pesantren Babakan

Mewujudkan pesantren yang unggul, dengan mengambangkan kecerdasan, keterampilan, kemandirian berdasarkan akhlakul karimah menuju generasi yang mampu menjadi mudzirul qaum (penuntun dan pemimpin umat).

Mempersiapkan sumberdaya manusia muslim yang memiliki ilmu pengetahuan yang seimbang secara bidimensional (dengan menghilangkan dikotomi dan ukrowi) serta mampu mengimplementasikannya kepada kehidupannya yang ihsan fi ad-darain.         

Misi Pesantren Babakan
  1. Mempersiapkan kader kader muslim depan yang mempunyai iptek, memiliki daya juang yang tinggi, mampu berkreasi secara inovatif, aktif dan dinamis di atas landasan iman, dan taqwa yang kuat.
  2. Mengkombinasikan kurikulum pondok pesantren tradisonal dengan kurikulum pendidikan nasional dalam rangka menghilangkan kesan dikotomis antara ilmu pengetahuan umum dan agama.
  3. Mempeluas medan juang santri meliputi seluruh aspek kehidupan dengan bekal iman sebagai landasan keyakinan, pandangan dan sikap hidup yang haq.
  4. Meningkatkan kemampuan profesional dan pengatahuan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan pendidikan dengan kebutuhan dunia pendidikan dan tuntutan dinamika kehidupan masyarakat.

Walaupun ada misi dan visi secara umum (ditulis di atas), penulis temukan ada beberapa pesantren di Pondok Pesantren Bababan memiliki kedua hal itu. Di salah satunya di Pondok Pesantren Mua’alimat:

Visi dan Misi Pondok Pesantren Muallimat

Visi  Pondok Pesantren Muallimat

Mencetak generasi yang beriman , berilmu, bertakwa, beramal shaleh dan berakhlak karimah. (Pondok pesantren khusus putri yang aman dari pergaulan bebas, mencetak kader muslimah yang bijak dan bermartabat)


Misi Pondok Pesantren Muallimat
  1. Mengantarkan santri menguasai ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan. 
  2. Mendidik santri memiliki kematangan ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan.
  3. Mengamalkan ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan dengan ikhlas dan istiqomah.
  4. “Membangun”, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para masayikh terdahulu.
  5. Menjunjung tinggi nilai-nilai akhlakul karimah.
  6. Memberikan penghormatan dan penghargaan kepada para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berjasa dalam membangun masyarakat madani.

Tahun 1993 KH. Muhammad dan Nyai Hj. Masyiah mendirikan Pondok Pesantren Jambu. Ada satu hal yang unik dari pondok pesantren ini, bahkan cenderung berbeda dengan pondok-pondok pesantren lainnya di Babakan Ciwaring, karena yang diajarkan hanya kitab tertentu saja, berjumlah sebelas. Kitab sebelas yang dimaksu adalah “Safinah An-Najah, Tijan Darory, Qortul Al-Ghais, Sullam Najah, Minahul Tsaniah, Bahjah Al-Wasail, Tanqih Al-Qoul, Sullam Taufiq, Ar-Riyadh al-Bad’ah, Fath al-Qarib, dan Ta’lim Muta’alim”[43].        

Tahun 2012 KH. Syarif Abu Bakar bin Yahya beserta istrinya Nyai Hj. Fitriah Yahya mendirikan Pondok Pesantren Daar Al-Zahra. Yang membedakan pesantren dengan pesantren lainnya di Babakan Ciwaringin adalah Dalam pembelajaran Kitab kuning menggunakan halaqoh hadromiyah, Metode Qiroati, Metode Amstilati. Model pendidikan yang digunakan di dalam pesantren adalah pendidikan karakter, hal ini sesuai dengan misi dan visinya “menjadikan Pondok Pesantren Daar Al-Zahra sebagai lembaga pendidikan berakhlakul karimah dengan menerapkan ihyaussunnah, membantu santri untuk berakhlakul karimah yang berorientasi pada ihyaussunnah, dan tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama)[44].

Sejarah Lahirnya Lembaga Pendidikan Formal Berbasis Madrasah di Lingkungan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin

Hampir sama dengan momen tumbunya jumlah pesantren di Babakan Ciwaringan, pada tahun 1960an lembaga pendidikan berbasis madrasah juga mulai dirintis. Dan para perintisnya tidak lain adalah para kyai sendiri dari pesantren di lingkungan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin itu sendiri.

Perintisan Madarasah Al-Hikamus Salafiyah adalah salah satu bukti sejarah, bagaimana antar kyai dalam satu lingkungan bekerjasama. Saifuddin dalam “Arah pengembangan pendidikan tinggi di lingkungan Pesantren[45], berhasil memotret peristiwa tersebut.

Pada tahun 1966  Muncul suatu gagasan untuk merencanakan pembangunan gedung madrasah. Gagasan ini muncul pertama kali dari pemikiran KH. Syaerozie yang  kemudian mendapat dukungan penuh dari seluruh Dewan Asatidz.

Dengan penuh perhatian yang khusus, walupun dalam kesehatan yang kurang baik, dan dengan dukungan Kyai Sholihin, Kyai Anwar Fathoni mulai mengadakan musyawarah pembentukan panitia pembangunan gedung madrasah di rumah kediaman KH. Amin Halim. Dari musyawarah ini menghasilkan keputusan bahwa sebagi ketua panitia ditunjuk KH. Amin Halim dan pembantu umum diserahkan kepad KH. Syaerozie, Ust. Yunus dari Watu Belah dan Ust. Ribban dari Gondok.

Memasuki tahun 1967 M, pembangunan Madrasah mulai dilaksanakan dan sebagai langkah awal dibuatlah bata sebanyak 85.000 buah di kebun milik putra-putri Kyai Madamin, menurut kesepakatan lokasi madrasah telah dipersiapkan di blok Gondang Manis yang bersifat ibadah milik KH. Makhtum Hannan, melihat kurang luasnya tanah yang akan dibangun gedunga MHS, maka diperlukan beberapa areal tanah lagi sementara di sebuah rumah (sekarang dihuni oleh KH. Makhtum Hannan) KH. Amrin Hannan meminta bantuan KH. Syaerozie untuk mencari para dermawan yang dapat membeli tanah ukuran 70 bata milik Bapak Ahid yang beriringan dengan tanah MHS, tidak berapa lama akhirnya KH. Syaerozie mendapatkan tiga dermawan yang hendak membeli tanah tersebut, yaitu Bapak H. Ghozali Dukuhpuntang, Bapak H. Hamid Babadan dn Bapak H. Hamid Dadap.

Dengan demikian setelah persiapan dianggap cukup matang, maka tepat pada hari Ahad tahun 1967 M, dimulailah peletakan batu pertama pembanguna Madrasah Al-Hikamus salafiyah (MHS). Turut hadir pada kesempatan itu KH. Amin Sepuh, KH. Muhammmad Sanusi, KH. Masduqi Ali dan Kyai Sholihin. Juga beberapa ulama se-Cirebon diantaranya: KH. Ridlwan Balerante, KH. Ali Bombang, KH. Umar Kempek dan KH. Syatori Arjawinangun yang turut memberikan do’a.

Selang dua tahun kemudian, tahun 1969 M. KH. Syaerozie mengusulkan kepada Kyai Anwar Fathoni agar Madrasah Al-Hikamus Salfiyah (MHS) diadakan tingkat Aliyah sebagai kelanjutan dari tingkat tsanawiyah. Setelah gagsan tersebut dipertimbangkan, maka pada tahun 1970 M. MHS tingkat aliyah mulai digelar pada bulan Syawal tahun itu juga.

Terdorong rasa tanggung jawab akan kemajuan Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS), pada bulan Dzul Qo’dah tahun 1970 M, Kyai Anwar beserta kyai lainnya berunding dalam sebuah rumah (sekarang dihuni KH. Makhtum Hannan) untuk membagi tugas dalam mengatur roda kegiatan dari masing-masing tingkatan, hasil dari rembukan itu menetapkan KH. Syaerozie sebagai Kepala tingkat Ibtidaiyah dan Kyai Anwar dipercaya untuk memimpin tingkat Tsanawiyah sementara tingkat Aliyah ditunjul KH.Amin Halim.

Tahun 1970, tepatnya tanggal 22 Mei terbit Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 73 tahun 1970. Perihal Penegerian Madrasah Aliyah Alhikamus Salafiyah Pesantren Babakan Ciwaringin Kab. Cirebon menjadi Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) Babakan Ciwaringin[46].

Karena berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri, akhirnya segala urusan bersinggungan dengan pusat. Dari mulai mata pelajaran, kurikulum, jumlah jam, dan sebagainya[47].

Tabel I

Daftar Mata Pelajaran dalam Kurikulum Madrasah Aliyah 1973

KELOMPOKNO.MATA PELAJARAN MAAIN
Dasar1Tafsir, Hadits, Tauhid, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Penjas,
Pokok2Fiqih/U. Fiqih, Tarikh Tasyri’, Sejarah Islam, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Sejarah Kebudayaan, Ilmu Pasti, IPA, IPS, Biologi, Kimia, Geografi, Ekonomi/ Koperasi, Hitung Dagang, Tata Buku  
Khusus3Menggambar/ Seni, Prakarya/PKK
Ekstra-Kulikuler4Kepramukaan, Koperasi

Tabel II

Jam Mata Pelajaran Madrasah Sesuai Pelajaran Tingkat MAIIN

Sesuai Kurikulum Madrasah 1973[48]

Jam MP AgamaJam MP UmumJam MP KejuruanJumlah
12 – 1431 – 33648

Sejak perubahan status tersebut, nama lembaga beberapakali berubah sesuai dengan standar nasioal yang diikutinya, mulai dari MAN Babakan Ciwaringin Kab. Cirebon sampai dengan sekarang bernama MAN 2 Cirebon[49]

Sebagai sebuah lembaga formal MAN 2 CIREBON memiliki visi dan misi; visinya adalah terwujudnya individu yang bermartabat secara intelektual, emosional, dan spiritual. Sedangkan misinya, adalah; 1. Menyelenggarakan pendidikan secara profesional, 2. Mengembangkan potensi akademik dan non akademik, 3. Mewujudkan keteladanan yang berakhlkakul karimah, 4. Mengimplementasikan ajaran Islam dalam civitas madrasah.

Selain MHS, Madrasah yang ada dibabakan adalah Madrasah Salafiyah Syaiiyah (MSS). Berdasar data dari Khoriyah, tahun 1984 MSS putri menarik diri dari Madrasah Salafiyah Syaiiyah (MSS), sayangnya tidak ada keterangan lanjutan di dalamnya. Dari peristiwa itu, akhirnya berdiri Madrasah Salafiyah Syaiiyah Balai Pendidikan Putri (MSS) yang dipimpin oleh KH. Fuad Amin[50].

Tahun 1987 Pondok Pesantren Jambu, membangun Madrasah Tahsinul Akhlaq Assalafiyah. Madrasah ini terinspirasi dari Madarasah Salafiyah Syafi’iyah (MSS) dan Madrasah al-Hikam al-Salafiyah (MHS), tempat pendiri Pondok Pesantren Jambu (KH. Muhammad) mengenyam pendidikan formal berbasis madrasah.

Masa belajar di Madrasah Tahsinul Akhlaq Assalafiyah cukup unik, yaitu 6 tahuh. 3 tahun pertama mata pelajaran yang diajarkan selain kita kuning juga diintegrasikan dengan program pelajaran paket B, sehingga dapat mengikuti ujian UN tingkat SMP. Sedangkan 3 tahuh berikutnya diintegrasikan dengan program paket C, agar bisa mengikuti UN tingkat SMA[51].  

Potret Relasi Pesantren dan Madrasah di Babakan Ciwaringin

Gambaran relasi Pondok Pesantren Babakan Cirebon dengan Madrasah sangat harmonis, semuanya dimulai dari tahun 1960-an. Saat lembaga pendidikan formal berbasis madrasah, mulai digagas oleh KH. Syaerozi. Kyai-kyai dari pesantren-pesantren di Babakan Ciwaringin, ikut serta dalam pembangun lembaga pendidikan formal ini.

Hampir semua kyai yang telibat intensif dalam pembangunan madrasah, menduduki posisi penting. KH. Syaerozie sebagai Kepala tingkat Ibtidaiyah dan Kyai Anwar dipercaya untuk memimpin tingkat Tsanawiyah sementara tingkat Aliyah ditunjul KH.Amin Halim.

Ketika memasuki masa perubahan dari MHS ke Madrasah Negeri (1970-an), relasi kelembagaan yag dibangun antara pesantren dan madrasah masih sangat kuat. A. Syatori dalam Pendidikan Multikultural di Madrasah (Potret dari MAN Model Babakan Ciwaringin), menyebutkan posisi pesantren dalam MAN sangat kuat[52].

Hampir seluruh proses melahirkan kebijakan-kebijakan terkait proses belajar mengajar secara moral, mesti mempertimbangkan nilai-nilai yang dalam pedidikan dan keilmuan pondok pesantren. Bahkan relasi yang kuat (cenderung dominan) ini terjadi pada hal yang sangat krusial, seperti pemilihan kepala sekolah dan penerimaan guru honorer.  

Masih dari A. Syatori,  relasi kelembagan antara pesantren dan madrasah terlihat saat penentuan bahan pelajaran, terutama pelajaran agama yang ada di madrasah. Materi pelajaran agama yang diajarkan di madrasah mesti sesuai dan tidak berseberangan dengan materi keilmuan dari pondok pesantren[53].   

Kesimpulan

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin memiliki sejarah panjang. Pesantren ini dari hanya satu pesantren (Raudlatut Tholibin) kemudian tumbuh menjadi banyak pesantren dengan corak dan identitasnya masing.

Penelitian singkat ini, memang sengaja tidak meliput semua pesantren. Karena memang faktanya, tidak semua pesantren membentuk relasi dengan madrasah. Atau dari pengamatan peneliti tidak memiliki relasi yang unik.

Relasi pesantren dengan MHS yang kemudian menjadi MAN 2 Cirebon di Babakan Ciwaringin, membentuk dinamika relasi yang cukup unik. Secara kelembagaan, Madrasah memang sudah lepas dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.  Tapi secara moral historis, relasi sangat kuat terbangun.

Kedua-dua lembaga sejatinya sama sama untung, MAN mendapat banyak murid yang berasal dari pesantren. Pesantren punya kepentingan, karena para santrinya tidak boleh di bebaskan sebebasnya, termasuk dalam menyerap ilmu pengetahun.

F. Daftar Pustaka

A Syatori. Pendidikan Multikultural di Madrasah (Potret dari MAN Model Babakan Ciwaringin Cirebon), (Jurnal Yaqdzan, Volume 2, Nomor 1, Juni 2016).

Abuddin Nata,  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2016)

Abdul Hadi, Dinamika Pendidikan Islam Di Kota Cirebon: 1900-1945, (Cirebon: Tesis IAIN Syekh Nurjati, 2014))

B Munir. Dinamika Kelompok , Penerapan Dalam Laboratorium Ilmu Perilaku. (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011)

Bungaran Antonius dan Soedjito Sosrodiharjo Simanjuntak, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Obor, 2009)

Dede Ummul Khoriyah, Hubungan kyai dan santri di Desa Babakan Ciwaringin Cirebon: kajian antropologis di pondok pesantren Mu’allimat dan pondok pesantren Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, (Surabaya : Tesis UIN Sunan Ampel, 2017)

Dendy Sugono, dkk.,  Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).

Didin Nurul Rosidin, Syekh Nurjati: Studi Tentang Islamisasi Pra-Walisongo di Cirebon Abad 15, (Cirebon: Lembaga Penelitian (LEMLIT) IAIN Syekh Nurjati, 2013)

Ilman Nafi’a, dkk. Pondok Pesantren di Wilayah III Cirebon, (Yogyakarta: Kaubuka, 2014)).  

John M dan Hasan Shadily Echol, Kamus Bahasa Inggris, (Jakarta: Gramedia, 2010)

Jojoh Nur Endah, Metode Dakwah Ustadzah Hj.Izzah Syathori Dalam Pembinaan Akhlak Santri Di Balai Pendidikan Pondok Putri AL-Istiqomah Babakan Ciwaringin Cirebon (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008).   

Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008)

Juwairiyah, Ciri-Ciri Pendidikan Islam Tradisional: Potret Kehidupan Pesantren di Pulau Jawa (Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 1. No.2, Agustus 2003 – Januarai 2004)

Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Muhaimin A.G. The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims, (Australia: ANU E Press, 1995). 

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Islam: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994)

Moch.Tolcha, Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta, Lkis, 2015).  

Moh Roqib. Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2009)

Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1986)

Saifuddin, Arah Pengembangan Pendidikan Tinggi Di Lingkungan Pesantren (Studi Terhadap Pengelolaan Ma’had Aly di PP. Babakan Ciwaringin dan PP. Asembagus Situbondo) ,(Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H).

Wahid Zaini,  Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 1995)

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011),.

Zamzami Amin, Babad Kana, (Bandung: Putaka Aura Semesta, 2014)

Sumber Online:

https://santrigusdur.com/2018/05/pesantren-sebagai-subkultur/

https://nujabar.or.id/babakan-ciwaringin-desa-dengan-puluhan-pesantren/

https://daraltauhid.com/biografi-singkat-mbah-syathori/

http://pesantrenassalafiebabakan.blogspot.com/2018/02/profil-pondok-pesantren-assalafie.html

https://www.manciwaringin.sch.id/


[1] https://santrigusdur.com/2018/05/pesantren-sebagai-subkultur/ (esai dimuat dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS) dan Pesantren dan Pembaharuan (Depok, LP3ES: 1983)).

[2] Pendapat ini dikutip oleh Bungaran Antonius Simanjuntak dan Soedjito Sosrodiharjo dari W.S Manroe (Simanjuntak, Bungaran Antonius dan Soedjito Sosrodiharjo, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Obor, 2009), hal. 6-7).  

[3] Penelitian tentang PP Babakan Ciwaringin: Khoriyah, Dede Ummul (2017) Hubungan kyai dan santri di Desa Babakan Ciwaringin Cirebon: kajian antropologis di pondok pesantren Mu’allimat dan pondok pesantren Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon. Masters thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.

[4] Penelitian tentang PP Buntet: Muhaimin A.G. The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims, (Australia: ANU E Press, 1995). 

[5] Dosen-dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, mengumpulkan menerbitkan buku “Pondok Pesantren di Wilayah III Cirebon, yang berisi kumpulan penelitian Pondok Pesantren se-Wilayah III Cirebon. (Nafi’a, Ilman, dkk. Pondok Pesantren di Wilayah III Cirebon, (Yogyakarta: Kaubuka, 2014)).  

[6] Dalam pandangan penulis, ragam pendekatan dengan satu subjek penelitian yang sama memperlihatkan pesantren kaya akan dimensi ilmiah.  

[7] https://santrigusdur.com/2018/05/pesantren-sebagai-subkultur/

[8] Nama-nama pondok pesantren di lingkungan Babakan Ciwaringin : Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Asrama Fatimiyah Ma’hadul Ilmi/AFMI, Asrarur Rafi’ah, Miftahul Muta’allimin, As-Salafi, Al-Badar, Ma’had at-Ta’lim al-Baqiyah as-Salihah/MTBS, Ma’hadul Ilmi, Az-Ziyadah, Pesantren Putri/Bapenpori, Mu’allimin-Mu’allimat, As-Salam, Kebon Jambu, Raudlatul Banat, Al-Muntadhor, Al-Hikmah, As-Sanusi, Dahlia, As-Suhada, Bustanul Qur’an, As-Sa’adah, Ikhwanul Muslimin/PPIM, Al-Ikhlas, As-Shalihah, Al-Huda, At-Taqwa, Al-Munir, Al-Furqan, Masyarikul Anwar, Al-Mustain, Al-Faqih, dan Al-Kautsar (Mahmudah, Lc , Babakan Ciwaringin, Desa dengan Puluhan Pesantren, https://nujabar.or.id/babakan-ciwaringin-desa-dengan-puluhan-pesantren/).

[9]  Ibid.

[10] Pendekatan sejarah peneliti pilih, karena pendekatan ini yang paling memungkinkan untuk melihat perjalanan relasi antara pesantren dan madrasah. Hal ini bersandar pada pandangan John Galtung dalam Kuntowijoyo; sejarah adalah ilmu diakronis, sebab sejarah meliputi gejala gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. (Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008). hal. 5).            

[11] Echol, John M dan Hasan Shadily, Kamus Bahasa Inggris, (Jakarta: Gramedia, 2010), hal. 203.

[12] Salim, Peter, The Contemporary English Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1986), hal. 573.

[13] Munir, B. Dinamika Kelompok , Penerapan Dalam Laboratorium Ilmu Perilaku. (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011), hal. 16.

[14] Tolcha, Moch, Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta, Lkis, 2015).  

[15] Sugono, Dendy, dkk.,  Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) hal. 1190.

[16] Ibid, hal. 839

[17] Pemaknaan “lembaga pendidikan islam” di atas mengikuti gaya pemaknaan Kamus Besar Bahasa Indonesia.  

[18] Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hal. 122. 

[19] Nata, Abuddin,  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 78.

[20] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Islam: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 55.

[21] Zaini, Wahid, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 1995), hal. 86.    

[22] Juwairiyah, Ciri-Ciri Pendidikan Islam Tradisional: Potret Kehidupan Pesantren di Pulau Jawa (Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 1. No.2, Agustus 2003 – Januarai 2004) , hal. 141.

[23] Rosidin, Didin Nurul, Syekh Nurjati: Studi Tentang Islamisasi Pra-Walisongo di Cirebon Abad 15, (Cirebon: Lembaga Penelitian (LEMLIT) IAIN Syekh Nurjati, 2013), hal. 134.

[24] Abdul Hadi, “Dinamika Pendidikan Islam di Kota Cirebon: 1910-1945”. (Hadi, Abdul, Dinamika Pendidikan Islam Di Kota Cirebon: 1900-1945, (Cirebon: Tesis IAIN Syekh Nurjati, 2014)), hal. 54. 

[25] Ibid, hal. 56.

[26] Ibid, hal. 57-75.

[27] A.G,  Muhaimin, Op.Cit. hal: 292-294

[28] Amin, Zamzami, Babad Kana, (Bandung: Putaka Aura Semesta, 2014), hal. 160. Tentang Kyai Jatira Putra dari KH. Abdul Latief pun ada banyak versi, lihat dalam buku Babad Kana halaman 150 sampai dengan 153.  

[29] Ibid, hal. 146. Ini jelas membutuhkan penelitian lanjutan, karena harus ada pembuktian historis, misalnya apakah sedari awal Kyai Jatira sudah menggagas gerakan anti-kolonial dalam kurikulum pesantrennya? Atau hanya sebagai respon cepat atas situsi penjajahan saat itu. 

[30] Ibid, hal. 232-233.

[31] Ibid.

[32] Ali Mursyid dalam https://daraltauhid.com/biografi-singkat-mbah-syathori/

[33] Amin, Zamzami, Op.Cit. hal. 241. 

[34] Ibid, hal. 161. 

[35] Ibid, hal. 162.

[36] Dalam pandangan peneliti, ini adalah momen bersejarah, karena menjadi cikal bakal tumbuhnya banyak pondok pesantren di Babakan Ciwaringin hingga sekarang.

[37] http://pesantrenassalafiebabakan.blogspot.com/2018/02/profil-pondok-pesantren-assalafie.html

[38] Khoriyah, Dede Ummul, Hubungan kyai dan santri di Desa Babakan Ciwaringin Cirebon: kajian antropologis di pondok pesantren Mu’allimat dan pondok pesantren Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, (Surabaya : Tesis UIN Sunan Ampel, 2017), hal. 48.

[39] Endah, Jojoh Nur, Metode Dakwah Ustadzah Hj.Izzah Syathori Dalam Pembinaan Akhlak Santri Di Balai Pendidikan Pondok Putri AL-Istiqomah Babakan Ciwaringin Cirebon (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008).  

[40] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 87.

[41] Mastuhu, Op. Cit., hal. 61.

[42] Zamzami, Op. Cit., hal. 235.

[43] Nafi’a, Ilman, dkk. Pondok Pesantren di Wilayah III Cirebon, (Yogyakarta: Kaubuka, 2014),  hal. 55.

[44] https://www.manciwaringin.sch.id/

[45] Saifuddin, Arah Pengembangan Pendidikan Tinggi Di Lingkungan Pesantren (Studi Terhadap Pengelolaan Ma’had Aly di PP. Babakan Ciwaringin dan PP. Asembagus Situbondo) ,(Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H), hal. 114-116.

[46] https://www.manciwaringin.sch.id/read/18/profi-man-2-cirebon.

[47] Data tabel di bawah berdasar data yang dikutip oleh Maksum dalam “Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya” (Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 144-145). 

[48] Dalam keterangan Maksum, “yang disebut ke dalam MP Agama ialah mata pelajaran yang memiliki kaitan langsung dengan agama, seperti yang umumnya ada dalam madrasah klasik. Sedangkan MP Kejuruan meliputi mata pelajaran dalam Kelompok Khusus dan Ektra Kulikuler, Selebihnya dikategrikan sebagain mata pelajaran umum” (Ibid, hal. 145).    

[49] Ibid.

[50] Khoriyah, Dede Ummul, Hubungan kyai dan santri di Desa Babakan Ciwaringin Cirebon: kajian antropologis di pondok pesantren Mu’allimat dan pondok pesantren Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, (Surabaya : Tesis UIN Sunan Ampel, 2017), hal. 45.

[51] Nafi’a, Ilman, dkk. Pondok Pesantren di Wilayah III Cirebon, (Yogyakarta: Kaubuka, 2014), hal. 60. 

[52] Syatori, A. Pendidikan Multikultural di Madrasah (Potret dari MAN Model Babakan Ciwaringin Cirebon), (Jurnal Yaqdzan, Volume 2, Nomor 1, Juni 2016), hal. 75.

[53] Ibid, hal. 75.  

Related posts