Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Teologi Pembebasan | Makalah Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Teologi Pembebasan | Penelitian Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Teologi Pembebasan |
Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Teologi Pembebasan
Hassan Hanafi dengan mantap mengatakan Islam di samping sebagai agama juga sebagai suatu revolusi. Bagi Hassan Hanafi, dalam hubungan kontek dunia akhir-akhir ini dan kebutuhan-kebutuhan Muslim, maka perlu suatu perubahan atau perpindahan dari “pernyataan keyakinan/syahadat ke revolusi. Analisis imperatif untuk bergerak dari pernyataan keimanan menuju revolusi dipandang dalam kerangka kebutuhan masyarakat yang sedang berkembang di dunia modern.
Menurut Hasan Hanafi, terdapat dua jenis masyarakat dalam dunia modern, yaitu yang menganggap “tradisi” tetap sebagai sumber inspirasi yang kuat dan yang kedua adalah “masyarakat modern” di mana tradisi tidak lagi merupakan sumber nilai atau kekuasaan.13 Akan tetapi Hassan Hanafi malah melihat “tradisi” sebagai suatu basis yang memungkinkan bagi suatu revolusi modern:
“Mungkin sekali untuk menyusun model pengembangan baru dalam masyarakat tradisional. Karena tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam realita sebelum sesuatu itu terjadi dalam kesadaran, rekonstruksi kesadaran historis, yang disebut tradisi, merupakan jalan untuk perkembangan. Karena kesadaran historis tersebut, rekonstruksi tradisi merupakan suatu cara yang mungkin untuk perubahan sosial. Karena tradisi masih dipakai sebagai suatu argumen bagi kekuasaan bagi penguasa politik dalam mempertahankan elit-penguasa melawan keinginan massa, mengapa tidak menggunakan tradisi yang sama sebagai senjata balasan melawan elitpenguasa dalam membela atau memperjuangkan keinginan massa?… Sekarang ini tidak mungkin ada perkembangan tanpa mobilisasi massa untuk membela keinginan massa. Dalam hal ini suatu rekonstruksi sistemkepercayaan tradisional akan dilakukan, tidak untuk membela kekuasaan politik, tetapi untuk membela kepentingan mayoritas yang lemah.”
Hasan Hanafi menawarkan dua teori yang ia gunakan untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang bersifat teosentris yaitu:
- Analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan umat Islam terdahulu yang seolah-olah menjadi doktrin yang khas yang sudah paten dan tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah kepada yang transenden dan gaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan, yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, atau yang historis seperti nubuwah dan juga yang metafisis seperti Tuhan dan akhirat.
- Analisa realitas sosial. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau penganutya. Selanjutnya analisa realitas sosial digunakan untuk menentukan arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua tawarannya tersebut, Hanafi menggunakan tiga metode berfikir, dialektika, fenomenologi, dan hermeunetik. Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis dan selanjutnya melahirkan sintesis. Fenomenologi merupakan gagasan Husserl yang merupakan metode berfikir untuk mencari hakikat sebuah fenomena atau realitas. Hermeneutik merupakan sebuah cara penafsiran terhadap teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami kemudian dibawa pada masa sekarang.
Tujuan usaha ini adalah sebuah teologi pembebasan yang dapat menjadi suatu oposisi yang efektif. Hal ini meliputi pengamatan kembali terhadap struktur sistem kepercayaan yang diwariskan. Dalam analisis ini, Hassan Hanafi berargumentasi bahwa sejalan dengan perkembangannya, struktur teologi yang diwariskan merefleksikan struktur kekuasaan umum di dalam masyarakat Muslim dan mendukung yang kuat melawan yang lemah, elit melawan massa. “Teologi sebagai hermeneutika bukan merupakan suatu ilmu pengetahuan sakral tetapi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang dibuat oleh manusia, yang merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Setiap kelompok sosial dalam masyarakat yang beriman memiliki keinginan sendiri dan mempertahankan keinginan tersebut dalam sistem-keimanan. Inilah yang disebut teologi.
Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masingmasing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi adalah kebenaran korelasional, atau yang biasa Hassan Hanafi sebut sebagai persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal, sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu. Hassan Hanafi menegaskan, rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi terhadap hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah.
Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal, sebagai berikut: Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis ideologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara Muslim. Dan ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Menurut Hassan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, maupun kesejahteraan.
Hassan Hanafi dalam mendefinisikan revolusi yang dicita-citakannya: Tujuan konstruksi baru sistem-kepercayaan tradisional ini bukanlah untuk mencapai kehidupan abadi dengan mengetahui kebenaran, tetapi memperoleh keberhasilan di dunia ini dengan memenuhi harapan dunia Muslim akan kebebasan, kemerdekaan, keadilan, persamaan sosial, reunifikasi, identitas, kemajuan, dan mobilisasi massa. Oleh karena itu, teologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan harus memiliki nilai yang sangat penting karena merupakan analisis teoritis atas tindakan.
Beberapa Penelitian Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Teologi Pembebasan
Berikut adalah beberapa penelitian “Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Teologi Pembebasan”:
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi, oleh Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah
Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah dengan judul Pemikiran Teologi Hassan Hanafi dalam Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015
Teologi yang selama ini dipahami oleh umat Islam menurut Hanafi, tidak membawa perubahan atau semangat kemajuan dikalangan umat Islam. Konsep-konsep Teologi yang ditafsirkan oleh para ahli teolog terlalu bersifat teosentris, dan sama sekali belum menjamah aspek antroposentri. Padahal manusia membutuhkan konsep-konsep Teologi yang bersifat antroposentris yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan empirik. Teologi merupakan dasar agama Islam, semangatnyalah yang mendasari lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan dan semangat keagamaan. Maka dari itu konsep Teologi harus bisa dipahami manusia dalam kaitannya dengan perilaku kehidupan manusia, karena Teologi yang teosentris dan melangit akan tidak mempunyai arti apa-apa atau kosong bagi aktualisasi manusia di muka bumi.
Pemikiran Hanafi walaupun kontroversial, bahkan sampai menyeretnya ke dalam penjara, namun telah menginspirasi banyak umat muslim. Peemikirannya tentang al-Yasar al-Islami tidak menghilang begitu saja, walaupun jurnalnya hanya terbit satu kali. Pemikirannya Hanafi membuka persepsi banya orang, bahwa kita umat Islam bisa menandingi Barat. Peradaban Barat yang penuh dengan doktrin imperialisme, zionisme, dan kapitalisme harus dilawan dengan pemikiran-pemikiran yang progresif, salah satunya adalah rekonstruksi Teologi antroposentris. Terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau tidak, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya di hadapan Barat. Walaupun, ada anggapan miring yang menyebutkan bahwa rekonstruksi teologi yang dilakukan oleh Hanafi dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekadar materialduniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan-muatan spiritual dan transenden. Namun sangat jelas bisa ditarik kesimpulan kalau pemikiran Hanafi dalam dunia Islam patut untuk dijadikan kajian dan tidak bisa dianggap remeh. Wallahua’lam
Konsep Teologi Hasan Hanafi, oleh Syarifuddin
Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Syarifuddin dengan judul Konsep Teologi Hasan Hanafi dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 14, No 2 (2012)
Pemikiran Hassan Hanafi senantiasa mempresentasikan hubungan dialektis antara subjek diri (al-Ana, self) dan yang lain (al-Akhar, other) dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam rangka melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan dengan tuntutan kontemporer. Bagi Hassan Hanafi, sebuah risalah pemikiran bukanlah sebuah risalah pemikiran apabila tidak berkaitan dengan realitas. Artinya, orientasi pemikiran harus senantiasa ditujukan pada kesadaran atas realitas untuk melakukan perubahan yang signifikan. Historisitas, logos, dan praksis senantiasa memiliki hubungan relasional.
Hassan Hanafi berkeyakinan bahwa Islam sebagai ideologi dan sumber motivasi terbukti masih merupakan senjata ampuh bagi setiap gerakan massa. Realitas ini merupakan suatu bukti pula betapa dunia Timur (Islam) mempunyai tradisi lama yang sanggup memberikan spirit bagi suatu perubahan sosial politik. Setiap bentuk tradisi, pada akhirnya akan dipahami sebagai kesetaraan yang berhak mengakui diri sebagai bagian integral dari peradaban universal, tanpa dominasi dan penguasaan epistemologi secara sepihak dan monolitik.
Setting sosial gagasan Hassan Hanafi pada dasarnya coba diletakkan pada analisis sejarah sosial dan kekuatan-kekuatan sosial yang melahirkan sejumlah gagasan besar. Perangkat metodologis yang hendak dipakai adalah yang di dalamnya dikenal tiga konteks, yaitu konteks situasi, konteks sosial, dan konteks budaya. Konteks situasinya adalah kristalisasi konstruksi nalar Hassan Hanafi yang diperolehnya dari khazanah intelektual Islam dan ilmu-ilmu sosial Barat serta respon subjektifnya terhadap kondisi objektif yang menimpa dunia Islam.
Rekonstruksi teologi menurut Hassan Hanafi, tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama, namun untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara, menentukan pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi saat ini. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsepkonsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia Muslim terhadap kemerdekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakapan. Karena itu harus tersusun secara kemanusiaan.