Tarekat Syadziliyah : Tokoh dan Ajaran

Tarekat Syadziliyah : Tokoh dan Ajaran

Wislahcom / Referensi / : Tarekat sebagai sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah telah berkembang sangat pesat. Tarekat bukan hanya sebagai metode pembersihan hati dengan zikir, wirid, shalawat semata, namun sudah melembaga menjadi lembaga-lembaga formal sufi. Agar terhindar dari ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunah, kaum sufi mengelompokkan tarekat menjadi Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Syatariyyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Tijaniyah, dan Tarekat Samaniyah.

Nah siapa tokoh Tarekat Syadziliyah? Apa ajaran Tarekat Syadziliyah?

Simak uraian singkat tentang : Tokoh Tarekat Syaziliyah dan Ajaran Tarekat Syaziliyah.


Tokoh Tarekat Syaziliyah

Tarekat Syadziliyah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili (1197 M) yang bernama lengkap Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu al-Hasan Syadzili. Silsilahnya mempunyai hubungan dengan orang-orang keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang berarti juga keturunan Siti Fatimah anak perempuan dari Nabi Muhammad Saw.

Abu Hasan al-Syadzili dilahirkan di Ghumara di Utara Maroko pada tahun 573 H. Pendidikan agamanya dimulai dari didikan kedua orangtuanya dan kemudian berlanjut kepada guru-guru spiritual yang juga ulama besar yaitu; Abdu al-Salam bin Masysy (628 H /1228 M).

Setelah menuntut ilmu dari Syaikh ‘Abdu al-Salam bin Masysy, dan atas saran gurunya itu, Abu al-Hasan Syadzili meninggalkan Maroko untuk ber’uzlah (mengasingkan diri) dalam sebuah gua di desa Syadzilla di Tunisia Afrika. Di gua ini beliau menghabiskan hari-harinya untuk beribadah kepada Allah Swt dengan melakukan shalat, puasa, dzikir, dan tilawah. Namun, selama ber’uzlah beliau tetap berhubungan dengan lingkungan sekitar dengan secara berkala keluar untuk berceramah, mengajar dan berdiskui dengan para ulama dan sufi lainnya. Ceramah dan pengajarannya mendapat sambutan yang sangat baik dari berbagai kalangan setempat, baik dari masyarakat awam maupun dari ulama dan tokoh sufi. Mereka sering berdatangan ketempatnya hanya untuk berdiskusi.


Secara pribadi Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya Tasawuf kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa dan hizib (kumpulan ayat-ayat al-Quran, zikir dan shalawat). Namun, ajaran-ajaran, doa, pesan-pesan dan biografi beliau dihimpun oleh Syaikh Ibn Athaillah al-Sakandari (1309 M), sehingga khazanah ajaran Syadzili tetap terpelihara. Melalui karya-karya Ibn Athaillah ini tarekat Syadziliyah berkembang pesat sampai ke Maghrib sebuah negara yang menolak sang guru. Syaikh Syadzili tidak mengenal atau menganjurkan muridnya untuk melakukan ritual atau aturan yang khusus. Namun bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan tarekat di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Tarekat ini berkembang, tersebar luas dan berpengaruh besar sampai sekarang di dunia Islam seperti: Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tanzania, Sri Lanka, dan beberapa Negara bagian di Amerika Barat dan Utara, hingga Indonesia.

Di penghujung hidupnya, Syaikh Abu al-Hasan ash-Sadzili tinggal di Mesir dan menjadikan Mesir sebagai pusat penyebaran ajarannya. Di Mesir ajaran ini menjadi ajaran yang besar dan terbentuk dalam suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat Syadziliyah. Pada tahun 686 H/1197 M, Syaikh Abu al-Hasan Asy-Syadzili meninggal dunia dan dilanjutkan oleh muridnya Syaikh Ibn Athaillah al-Sakandari (1309 M).

Ajaran Tarekat Syaziliyah

  1. Ketaqwaan terhadap Allah Swt lahir dan batin yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara dan istiqamah dalam menjalankan perintah Allah Swt.
  2. Konsisten mengikuti Sunnah Rasul baik dalam ucapan maupun perbuatan yang direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
  3. Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah Swt (Tawakal).
  4. Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana-ah/tidak rakus) dan menyerah.
  5. Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Related posts