WISLAH.COM: Psikologi Humanistik merupakan salah satu aliran penting dalam psikologi, salah satu tokohnya adalah bernama Abraham H. Maslow. Artikel ini akan membahas secara ringkas Psikologi Humanistik Abraham H. Maslow: Biografi dan Pemikiran.
Biografi Abraham H. Maslow
Pada awalnya, Maslow yang anak imigran Rusia kelahiran Brooklyn ini, adalah seorang behavioris. Melalui penelitianpenelitiannya sebagai mahasiswa Ph.D. di Universitas Wisconsin, dengan menggunakan teori-teori Watson, Maslow menemukan berbagai persamaan antara kera dan manusia. Akan tetapi ada tiga pengalaman dalam hidupnya yang menyebabkan ia meninggalkan behaviorisme.
Pertama adalah kasih sayang ayahnya semasa kecil, yang dirasaikannya jauh lebih besar daripada kasih sayang ibunya. Kedua, ketika ia mengamati bayinya yang mungil sebagai hasil perkawinannya dengan Bertha, ia berkata: “orang yang sudah pernah bayi, tidak akan menjadi behavioris”. Ketiga adalah ketika Pearl Harbour dibom Jepang pada tahun 1941, ia “muak” dengan penelitian-penelitiannya tentang kera. “Dengan cara ini kita tidak akan pernah mengenal Hitler, siapa orang Jerman, Siapa Stalin dan siapa orang Rusia. Dengan cara ini kita tidak pernah mencapai perdamaian, karena kita tidak pernah mengenal orang lain dengan sesungguhnya,” demikian yang diyakini oleh Maslow.
Oleh karena itu, Maslow kemudian beralih ke psikologi humanistik. Maslow berpendapat bahwa mestilah ada pintu masuk dimana kita bisa mempelajari semua manusiai dari sudut pandang yang sama. Tentu harus ada ideologi yang tidak terkotak-kotak dalam bangsa-bangsa, kelompok-kelompok, aliran-aliran. Ideologi yang bisa diterima oleh semua orang. Ideologi itu adalah apa yang dinamakannya “meta-motivasi” atau “meta-kebutuhan” (kebutuhan yang tertinggi, yang melebihi kebutuhan-kebutuhan lain pada umumnya).
Pemikiran Abraham H. Maslow
Teori yang dibawakan oleh Maslow tentang motivasi berawal dari pra-anggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, atau setidak-tidaknya netral, bukan jahat. Seperti halnya dengan keadaan fisik, manusia mempunyai indra, merasa lapar, bertumbuh kembang, berkembang biak, dan sebagainya. Dari segi kejiwaan pun manusia mempunyai kebutuhan, cita-cita, harapan, usaha, dan sebagainya. Semua ini pada hakikatnya baik dan harus dikembangkan ke arah yang makin baik. Bukan jahat seperti yang dikatakan oleh psikoanalisis (naluri seks dan agresif), yang beranggapan bahwa dorongan-dorongan itu harus dikendalikan sehingga tidak menjadi makin jahat.
Dalam paradigma seperti ini, Maslow berpendapat bahwa manusia sehat jiwanya adalah manusia yang mengembangkan dirinya sendiri berdasarkan kekuatan- kekuatan dari dalam. Sementara orang-orang yang terganggu jiwanya, yang antisosial, yang jahat adalah orang-orang yang terhambat perkembangan dirinya, yang frustasi oleh gangguan-gangguan dari luar. Karena itu, menurut Maslow, psikoterapi atau konseling bertujuan mengembalikan seseorang ke jalur pengembangan dirinya sendiri melalui potensi-potensi yang ada dalam dirinya sendiri juga.
Salah satu teori Maslow yang sangat terkenal (dianut dan diterapkan oleh berbagai cabang psikologi terapan sampai hari ini) adalah teori hierarki kebutuhan. Dalam teori ini ia mengatakan bahwa ada lima macam kebutuhan manusia yang berjenjang ke atas, seperti spiral yang makin melebar ke atas (kebutuhan yang lebih tinggi akan timbul jika kebutuhan yang rendah terpenuhi).
Pada tingkat yang paling bawah terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman, dan sebagainya) yang ditandai oleh kekurangan (deficit) sesuatu dalam tubuh orang bersangkutan. Kebutuhan dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim (misalnya: sangat kelaparan), manusia bisa kehilangan kendali atas perilakunya sendiri (agresif, tidak malu, tidak punya petimbangan pada orang lain, dan sebagainya) karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu (menghilangkan rasa laparnya).
Sebaliknya, jika kebutuhan dasar itu relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs). Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas, perlindungan, struktur keteraturan, bebas dari rasa takut dan cemas, dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah maka manusia membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan membuat sistem asuransi, pensiun, dan sebagainya. Sama halnya dengan basic needs, kalau safety need ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak dipenuhi (seperti pada anak yang tidak diperhatikan orang tuanya, orang yang terlalu lama dalam keadaan perang, dan sebagainya), maka pandangan seseorang tentang dunianya berpengaruh dan pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang makin negatif.
Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi maka timbul kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai (belonginess and love needs). Orang ingin mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia ingin mencintai dan dicintai. Ia ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan. Ia pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri, ingin punya “akar” dalam masyarakat. Ia butuh menjadi bagian dari sebuah keluarga, sebuah kampung, suatu marga, sebuah geng, sebuah sekolah atau suatu perusahaan. Orang yang tidak mempunyai keluarga akan merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan juga tidak bekerja merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.
Di sisi lain, jika kebutuhan tingkat ketiga tersebut di atas relative sudah dipenuhi, maka timbul kebutuhan akan harga diri akan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan akan harga diri ini. Yang pertama adalah kebutuhakebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominansi, kebanggan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan harga diri ini akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada orang lain dan selalu siap berkembang terus untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yakni aktualisasi diri (self actualization).
Konsep need for self actualization adalah “payung” yang di dalamnya terkandung 17 meta-kebutuhan yang tidak tersusun secara hierarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai meta-kebutuhan tidak terpenuhi, maka akan terjadi meta-patologi seperti: apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera, dan sebagainya.