WISLAH.COM: psikologi sebagai disiplin ilmu yang lahir di Barat dan membahas terkait dengan jiwa manusia, tentu mengalami persinggungan dengan berbagai system kebudayaan, keyakinan dan ilmu di berbagai belahan dunai yang lain, termasuk Islam. Paradigma Psikologi Islam dengan demikian berarti hasil integrasi antara psikologi dan Islam.
Integrasi
Integrasi Islam dan Psikologi (yang kemudian disebut psikologi Islam) tidak semudah yang dibayangkan, sebab secara tidak disasdari integrasi itu memadukan dua karakteristik bidang keilmuan yang berbeda. Karakteristik pertama pada label Islam yang sarat akan ilmu-ilmu keislaman, teosentris-doktriner, sedangkan karakteristik kedua pada label psikologi yang sarat akan cabang-cabang kepsikologian, antroposentris-positivistik.
Pertanyaan awam yang sering mengemuka; “Siapakah yang paling berkompeten dan berwenang mengembangkan psikologi Islam, apakah alumnus Perguruan Tinggi Islam yang memiliki kompetensi ilmu-ilmu keislaman, seperti dari lulusan Tafsir-Hadis dan ilmu filsafat? Ataukah alumnus fakultas Psikologi baik dari Perguruan Tinggi Umum maupun Perguruan Tinggi Islam yang memiliki kompetensi psikologi?”. Tentu tidak mudah menentukannya, sebab masing-masing memiliki pendekatan studi dan pola pengembangan ilmu yang berbeda.
Menyadari akan pentingnya memahami mental manusia dalam perspektif Islam dan keterbatasan wawasan masing-masing alumnus, maka terdapat sekelompok peminat psikologi Islam yang menyelenggarakan symposium, diskusi dan dialog yang berskala nasional di beberapa daerah di Indonesia sejak tahun 1994, bahkan telah mendirikan organisasi Psikologi Islam.
Tujuan umumnya selain membahas masalah-masalah actual dalam psikologi Islam, juga berupaya mendialogkan dan mensinergikan dua ilmuwan yaitu ilmuwan keislaman dan kepsikologian. Melalui upaya ini diharapkan terjadi sinergi antara dua kekuatan dan kewenangan, sebab bagaimanapun psikologi merupakan wacana yang paling sarat akan nilai (Kuntowijoyo, 1991) serta psikologi merupakan wacana yang paling mudah disandingkan dengan Islam.
Pengertian Psikologi Islam
Pengertian Psikologi Islam adalah kajian atau studi tentang Islam yang dilihat dari pendekatan psikologis (Mujib, 2017). Kajian dari psikologi Islam adalah diturunkan berdasar Al-Qur’an, al-Sunnah dan pemikiran para ulama’ Islam yang dikaji, dianalisis dam diteliti melalui pendekatan psikologis. Pendekatan kajiannya tentu saja bersifat deduktif-normatif, bahwa apa yang termuat dalam AlQur’an dan al-Sunnah menjadi aksioma-psikologis yang pasti diterima, sekalipun tidak/belum ditemukan secara empiris. Aksioma itu bisa dilihat misal keberadaan al-ruh, malaikat, jin, kehidupan setelah mati serta fenomena di alam akhirat.
Pendekatan kajian sebagaimana yang dimaksud di atas adalah idealitik yakni pola yang lebih mengutamakan penggalian psikologis manusia sesuai dengan ajaran Islam sendiri. Pendekatan ini menggunakan deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari nash. Konstruksi premis mayor ini dijadikan sebagai ‘kebenaran universal’ yang menjadi kerangka acuan penggalian premis minornya.
Pendekatan Idealistik dalam Psikologi Islam
Melalui model ini, maka terciptalah apa yang disebut sebagai psikologi Islam. Paradigma pendekatan idealistik dalam Psikologi Islam dapat dipahami sebagai berikut:
- Aksioma didasarkan atas suatu kerangka pedoman mutlak dari Tuhan dan rasul-Nya.
- Empiris-metaempiris
- Rasional-intuitif
- Eksplisit mengungkapkan kemampuan spiritual
- Memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah khusus (pribadi).
- Memandang pengetahuan bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yakni menganggap pengalaman manusia sebagai masalah subjektif yang sama validitasnya dengan evolusi yang bersifat objektif.
- Memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran (imajinasi-kreatif) dengan tingkatan pengalaman subjektif (mistik-spritual).
- Tidak bertentangan dengan pandangan holistik.
Pendekatan idealistik dalam Psikologi Islam ini didasarkan atas asumsi bahwa pertama, Islam merupakan sistem ajaran yang universal dan komprehensif. Tak satu pun persoalan, termasuk persoalan psikologis, yang luput dari jangkauan ajaran Islam, meskipun hal itu belum menyentuh pada masalah-masalah Teknik operasioanal, namun disinilah posisi manusia dalam melakukan ijtihad. Kedua, psikologi Islam mesti dibangun dari pandangan dunia (world view) Islam dari kerangka pikir (mode of thought) Islam, mengingat dalam al-nash memuat sejumlah informasi mengenai persoalan-persoalan substansi psikologi misal al-fithrah, al-ruh, al-nafs, al-qalb, al-‘aql, al-dhamir, dan lain sebagainya, yang mana semua term itu tidak ditemukan di dalam psikologi Barat.
Pendekatan idealistik ini bisa dilakukan dengan menggunakan tiga metode atau cara yakni skriptualis, filosofis, dan tasawuf melalui tiga acuan yaitu wahyu, akal, dan intuisi. Skriptualis adalah pengkajian manusia yang didasarkan atas teks-teks AL-Qur’an ataupun hadis secara literal. Lafal-lafal yang terkandung di dalam Al-Qur’an maupun hadis sudah dianggap jelas dan tidak perlu lagi penjelasan di luar ayat atau hadis tersebut. Pengembang psikologi Islam yang menggunakan cara ini memiliki jargom yakni ana aqrau fa idza huwa maujud (aku membaca maka psikologi ada). Cara ini bisa dilakukan melalui tematis (maudhu’i), analisis (tahlili), komparatif (muqarin), dan global (ijmali).
Falsafi adalah pengkajian manusia yang didasarkan atas berpikir spekulatif. Ciri cara ini adalah radikal, sistemik dan universal yang ditopang oleh kekuatan akal sehat. Namun demikian, tidak berarti meninggalkan nash, melainkan tetap berpegang teguh kepada nash, hanya saja cara memahaminya dengan mengambil makna esensial yang terkandung di dalamnya. Jargon yang berfikir falsafi adalah ana ufakkir fa idza huwaw maujud (saya berfikir maka psikologi ada).
Sufistik atau tasawufi adalah pengkajian manusia yang didasarkan pada daya intuitif, ilham dan cita-rasa. Prosedur yang dimaksud dilakukan dengan cara menajamkan struktur kalbu melalu proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs). Cara ini dapat membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang antara ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, sehingga mereka memperoleh ketersingkapan dan mampu mengungkap hakikat jiwa yang sesungguhnya. Jargon kaum sufi ini adalah ana urid fa idza huwa maujud (saya berhasrat maka psikologi ada) dan man lam yadzuq lam ya’rif (barangsiapa yang tidak merasa maka ia tidak akan mengetahui).