Oleh: Jamaluddin Muhammad, Alumni UNISIA Jakarta
Saya merasa beruntung pernah menjadi murid langsung dua orang ini ketika kuliah di Pasca STAINU – Islam Nusantara (UNUSIA). Bagi saya, dua orang ini memiliki keunikan dan karakter masing-masing. Juga sama-sama mendobrak kemapanan — kemapanan sistem berpikir, pondasi dan bangunan pengetahuan, struktur sosial, dll.
Ketika diajar kedua orang ini — meminjam istilah Radhar — saya seperti “tersambar petir” seolah membangunkan saya sebagai manusia Nusantara (Radhar menyebutnya manusia Bahari).
Seingat saya, saya tak pernah absen mengikuti perkuliahan mereka. Jika Radhar memberi perkuliahan, suasana kelas seperti dalam Tater Kecil Taman Ismail Marzuki. Radhar berada di panggung sendirian sedang membaca puisi, mementaskan monolog atau membawakan pidato orasi kebudayaan dengan kata-kata yang menyihir, memukau, dan membuat suasan kelas hening, namun imajinasi kita mengembara kemana-mana.
Dalam memberi materi perkuliahan ia sering ditemani putri kecilnya, Cahaya Prima Putra Dahana. Di akhir semester kami diajak ke Bulungan Jakarta Sletan. Di sebuah warung kopi di belakang GOR Bulungan, masing-masing dari kami disebar ditugasi menggali dan mewawancarai tukang parkir, pedagang asongan, pengemis, pengamen, penjual warung, dll. Menurut Radhar, dalam diri “orang-orang kecil” inilah nilai-nilai manusia bahari masih tersisa. Kami disuruh menggali dan belajar dari mereka. Waktu itu saya menulisa pedagang buah kelililing. Sebagai tugas akhir semester (UAS) hasil riset kecil itu saya tulis dalam 12 halaman dan alhamdulillah dapat nilai A . Jika saya mau menambah perkuliahan di luar kelas, saya sowan ke rumahnya.
Berbeda dengan Radhar yang terkadang penyampaiannya berapi-api, pembawaan Agus Sunyoto lebih santai, kalem, namun tetap berbobot dan penuhi dengan sumber data-data baru. Agus Sunyoto banyak sekali menghapal naskah-naskah baik dalam bentuk babad, tembang maupun syair atau puisi. Data-data ini, menurut sejahrawan modern, bukanlah sumber sejarah otentik. Agus Sunyoto mencoba mendobrak itu.
Pandangan dan eksperimen penulisan sejarahnya , salah satunya, ia tulis dalam “Atlas Wali Songo”. Ia mencoba membandingkan pelbagai macam sumber sejarah, mendobrak pakem-pakem yang selama ini digunakan sejahrawan mainstream, menggunakan babad/tembang sebagai bagian dari sumber sejarah.
“Jika kita masih patuh menggunakan historiografi Barat yang postivistik itu, habislah sejarah kita,” kata Agus.
Melalui buku ini Agus Sunyoto ingin membuktikan bahwa Wali Songo bukanlah miotos. Wali Songo merupakan tokoh historis, bukan tokoh dongeng atau tokoh fiktif rekayasa imajinasi seperti tokoh-tokoh dalam komik marvel.
Buku ini saya jadikan sebagai salah satu referensi pembanding dalam pengajian “Ahlal Musamarah fi Hikayati Awliya al-Asyrah” Ramadhan kemarin. (link pengajian edisi 1-18 bisa dinikmati di channel ini: https://www.youtube.com/watch?v=ufDwT65suys…
Radhar dan Agus Sunyoto — meminjam istilah Kiai Ulil dalam pengajian Misykat al-Anwar — adalah manusia-manusia bercahaya yang cahayanya bisa menerangi alam jagat raya ini. Kita butuh orang-orang seperti mereka utk membangunkan tidur panjang negeri ini. Saya merasakan hidup saya semakin bermakna bersama mereka. Sampai jumpa di akhirat nanti, al-Fatihah!