WISLAH.COM : Umbu Landu Paranggi dan Daniel Dhakidae pergi dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya terbang menuju sorga bergandengan sembari berbincang tentang puisi atau isu-isu politik dan kebudayaan.
Umbu adalah ‘Robin Hood’nya penyair Indonesia. Ia mencurahkan waktu dan tenaga, serta pikiran hampir di sepanjang hidupnya untuk puisi, dan membimbing para penyair. Ia adalah guru yang altruis, yang luar biasa baik dan bersemangat mendorong para penyair muda dan tak pernah cemburu pada keberhasilan mereka. Dunia puisi di mata Umbu adalah dunia spiritual, dengan penyerahan diri yang tulus dan ikhlas.
Sementara Daniel adalah ‘Kresna’nya intelektual Indonesia. Ia mencurahkan energi dan pikirannya untuk meneliti dan menulis, serta memberikan kritik-kritik sosial. Melalui Harian Kompas dan jurnal Prisma, ia menjaring para intelektual muda. Ia bersetia pada dunia intelektual ini dan tak pernah tertarik terjun ke politik.
Mungkin lepas dari perhatian kita bahwa kedua sosok ini berasal dari NTT, salah satu provinsi di kawasan timur Indonesia. Satu dari Ngada dan satu lagi dari Sumba. Ketika saya ke Flores, saya entah mengapa langsung ingat nama Daniel Dhakidae (dan nama-nama lain seperti Ignas Kleden, Gorys Keraf yang menulis buku klasik Komposisi, dan juga sastrawan senior Gerson Poyk). Demikian juga ketika ke Sumba saya tak bisa menutup ingatan pada nama Umbu Landu Paranggi dan seorang teolog Kristen yang pernah menjadi Ketua PGI, Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe.
Kawasan NTT secara umum, adalah daerah yang penuh perbukitan dan cenderung kering. Ancaman bencana di kawasan ini adalah kekeringan di musim kemarau. Kehidupan bertumpu pada perladangan dan perternakan. Saya bertanya-tanya, tentu dengan bias saya sebagai orang yang tinggal di Jawa, bagaimana kawasan seperti ini bisa melahirkan para pemikir dan aktivis hebat seperti Daniel dan Umbu? Dari mana minat baca dan hasrat intelektual mereka semai? 50 tahunan lalu, ketika para aktivis dan pemikir Indonesia masih didominasi oleh orang-orang Jawa dan Sumatera, tentu tidak terbayangkan akan lahir orang seperti Umbu dan Daniel ini.
Umbu dan Daniel bisa dikatakan segenerasi. Umbu lahir tahun 1943 dan Daniel tahun 1945. Masa muda mereka sama-sama dilalui di Yogya, bisa jadi keduanya pernah bertemu, bahkan cukup kenal baik. Entahlah. Apalagi keduanya sama-sama bersekolah di UGM. Setelah itu: Daniel ke Jakarta dan Umbu ke Denpasar. Keduanya lalu menjadi pendekar legendaris di bidangnya masing-masing.
Jadi apa yang membuat keduanya bisa melesat dan mencurahkan pengabdian seperti itu? Dugaan saya kekristenan mempunyai peran dan andil dalam perkembangan intelektual awal mereka: Kristen-Protestan dalam hal Umbu dan Katolik dalam kasus Daniel. Kekristenanlah yang memberi inspirasi dan menanamkan semagat intelektual mereka. Kekristenan dengan vitalitas transformatif dan perubahan. Kekristenan yang emoh pada kejumudan, keterbelakangan dan kebodohan. Dalam semangat teologi seperti itulah keduanya dididik.
Dalam riwayat hidupnya yang awal, sosok Umbu tampak lebih mencerminkan seorang penyair muda Kristen. Ia misalnya dalam usia belasan menulis puisi “Nyanyian Malam Natal,” yang menunjukkan keterikatannya yang kuat dengan teologi dan tradisi kekristenan itu. Puisi yang dimuat dalam Majalah mimbar Indonesia tahun 1958 itu menggambarkan suasana saat Jesus Juru Selamat lahir ke dunia. (terima kasih kepada Odi Shalahudin yang menampilkan dokumen ini).
Nyanyian Malam Natal
malam sunyi
malam bunyi
sorga sunyi
sorga bunyi
dunia ramai
dunia damai
jauh dimalam sunyi dipadang tiada bernama
di Betelhem Efrata yang tiada berangin
telah lahir kristus dalam kandang yang hina
berbaring dalam palungan, berbedung kain lampin
–Kristus telah lahir buat seluruh dunia—
–Kristus telah lahir buat semua manusia—
panjatkan seluruh puji Kristus lahir buat seluruh dunia
nyaringkan semua suara Kristus lahir buat semua manusia
“HALELUYA”
malam sunyi
malam bunyi
sorga sunyi
sorga bunyi
dunia ramai
dunia damai
Kalau kita baca puisi itu, kita tak lain berpendapat bahwa puisi ini ditulis oleh seorang ‘true-believer’ sejati. Puisi seorang yang saleh, dan dengan puisi ini, pantaslah disematkan kepadanya sebagai ‘penyair muda Kristen’.
Ikatan dengan kekristenan yang jauh lebih kuat kita temui dalam riwayat hidup Daniel Dhakidae. Ia semasa muda bersekolah di seminari, sekolahnya para calon pastur. Warna filosofis dalam pemikiran sosialnya tampak dari warisan belajarnya di sekolah yang di periode awal itu amat menekankan pengajaran filsafat. Daniel, seperti Umbu di tataran lain, akan menjadi pemikir Katolik.
Tapi ternyata tidak. Umbu memang jadi penyair dan penggerak dunia perpuisian, tapi tak ada lagi di sana predikat Kristennya. Demikian juga Daniel, ia menjadi intelektual dan pemikir, tapi bukan seorang romo, atau pemikir Katolik. Kekristenan atau agama secara formal menjadi wadah yang sempit bagi mereka.
Keduanya pada awalnya saya kira digerakkan dan dipengaruhi oleh kekristenan. Kekristenan yang progresif dan bergerak maju. Tapi sekaligus dengan itu, kekristenan itu markanya mereka lampaui. Dalam hal Daniel, belokan itu terjadi mungkin ketika ia dikeluarkan dari seminari karena menggelar seminar yang ingin mereformasi pendidikan imam katolik (terima kasih Made Tony atas esai biografisnya).
Sebenarnya keduanya punya peluang dan kesempatan besar menjadi elit di masyarakatnya. Keluar dari UGM di tahun ketika sarjana masih langka, lebih-lebih di NTT, jelas merupakan karpet merah untuk naik kelas. Lebih-lebih keduanya sudah merupakan elit agama dan elit adat sebelumnya (ingat utk kasus Umbu, nama depan ini sudah menunjukkan ia seorang bangsawan). Menjadi sarjana dengan demikian menjadi elit modern baru. Tetapi keduanya lebih memilik jalan yang sunyi. dunia yang tidak hingar bingar dengan keriuhan ekonomi-politik.
Saya yakin bahwa agama (apa pun agamanya) dengan vitalitas pada kemajuan dan keterbukaan menjadi katup penggerak dan pendorong seseorang (atau sekelompok masyarakat). Tetapi agama memiliki batas-batas terjauhnya terutama ketika ia demikian terlembaga dan menjadi kemapanan tersendiri. Jika marka ini tidak bisa dilewati maka agama adalah lambang kebekuan. Ia menjadi kurungan yang membuat orang tak bisa bergerak dan merasa terhukum di dalamnya.
Demikian saya kira dengan dua orang legenda dari wilayah NTT. Mereka dipengaruhi dan digerakkan oleh agama, tetapi mereka berdua sekaligus melampauinya. Dengan mengatakan melampauinya, bukan berarti mereka anti-agama, mereka tetap orang yang beragama, orang yang relijius, yang tidak lagi pakai bendera, embel-embel, dan predikat.
Mereka mengindonesia, tanpa perlu menggunakan slogan harga mati!