Biografi Seyyed Hossein Nasr | Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr | Profil Seyyed Hossein Nasr | Pendidikan | Karya | Pemikiran | Baca Biografi Tokoh Lainnya di Wislah.com |
Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran
Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 17 April 1933 di Teheran, Iran, dari keluarga ahli bait yang terpelajar, ibunya terdidik dalam keluarga ulama, sedangkan ayahnya, Seyyed waliyullah Nasr, adalah seorang dokter dan pendidik pada dinasti Qajar yang diangkat sebagai pejabat yang setingkat menteri pada masa Reza Pahlevi.
Nasr dapat dikatakan sebagai sosok agak tipikal cendikiawan muslim yang dibesarkan dalam dua tradisi: Islam “tradisional” dan Barat “modern”. Seperti diakuinya sendiri bahwa ia hidup dalam tension (ketegangan) yang berkelanjutan. Ia berasal dari keluarga ulama dan dibesarkan dalam tradisi Syi’ah tradisional.
Pandidikan dasarnya di samping diperoleh secara informal dalam keluarga, ayahnya juga mengirim Nasr untuk belajar kepada sejumlah ulama di Qum (kota suci umat Syi’ah) antara lain kepada Thabathaba’i (penulis tafsir Mizan) untuk mendalami filsafat, ilmu kalam dan tasawuf. Ia juga mendapat pelajaran menghafal Al-Qur’an dan sya’ir-sya’ir persia Klasik, yang pada masa berikutnya sangat membekas didalam jiwanya. Ia belajar kepada Allamah Muhammad Husain Thabathaba’I selama 20 tahun. Di samping itu ia juga memperoleh pendidikan Barat modern melalui dua lembaga pendidikan tinggi yang termasuk terkemuka di Amerika Serikat; Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University.
Pada awal pendidikan Nasr di Iran, telah diwarnai oleh ketegangan antara pemikiran Barat dan Timur. Peradaban Barat yang sekuler telah mempengaruhi negeri-negeri muslim. Itulah sebabnya mengapa ayahnya sangat keras dalam mendidik Nasr untuk membekalinya dengan doktrin-doktrin Islam secara kental sejak kecil.
Dalam pandangan ayahnya, untuk melawan peradaban barat sekuler, seorang harus belajar ke sarangnya. Hal ini barangkali yang menjadi faktor pendorong mengapa pada usia relatif masih anak-anak (13 tahun) ayahnya mengirim Nasr untuk belajar pada sekolah menengah di Amerika. Tetapi baru beberapa bulan Nasr berada di Amerika ayahnya meninggal dunia.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Nasr mendaftarkan diri pada Massachussetts Institute of Technology (MIT). Di MIT, Nasr menekuni bidang fisika dan matematika teoritis dibawah bimbingan Bertrand Russel (w. 1970 M). dari situ ia banyak mengetahui pemikiran tokoh modern.
Pada masa studinya di MIT, secara otodidak Nasr menekuni Ilmu-ilmu tradisional agama-agama Timur seperti tradisi Hindu, Budha dan khususnya tradisi pemikiran Islam. Di bawah bimbingan George de Santillana, Nasr diberi informasi bahwa di Barat sedang terjadi perjuangan batin untuk mempertemukan titik pandang antara sains, filsafat dan agama. Juga diperkenalkan pada pemikiran-pemikiran tradisi Timur melalui tulisan-tulisan Rene Guenon, F. Schoun dan T. Burckhardt. Disinilah ia dapat berkenalan dengan pemikiran metafisika dan ajaran Timur yang banyak mempengaruhi intelektualnya.
Pada tahun 1954 Nasr berhasil mendapatkan gelar diploma B. S dalam bidang fisika dan metematika, lalu mengambil jurusan Geologi dan meraih gelar M.A. ia melanjutkan kuliah ke Harvard University untuk menekuni studi filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan, dengan kajian utama dalam bidang Islamic Science and Philoshiphia di perguruan tinggi ini Nasr belajar sejarah dan pemikiran Islam kepada HAR. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan kepada George Sarton dan belajar sejarah teologi serta filsafat kepada Hary Wolfson.
Nasr berhasil meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang sejarah, sains dan filsafat Islam dari Harvard University pada tahun 1958, dengan desertasinya berjudul: An Introduction to Islamic Cosmological, dan diterbitkan dengan judul yang sama pada tahun 1964.
Setelah mengantongi gelar Ph.D., Nasr kembali ke Iran dan mengajar di Universitas Teheran. Ia memberi kuliah mata pelajaran Sejarah Sains dan Filsafat Islam. Pada tahun berikutnya, ia diangkat menjadi guru besar bidang sains dan filsafat Islam. Ia juga sempat menjadi dekan Fakultas Sastra Islam selama 4 tahun (1968-1972). Pada tahun 1962-1965 ia diangkat menjadi profesor tamu pada Harvard University. Ia juga sarjana yang menduduki pimpinan Aga Khan Chair of Islamic Studies yang baru dibentuk di American University ot Beirut (1964- 1965).
Setelah kembali dari Harvard University ia kembali mengajar di Universitas Teheran. Selanjutnya ia dipercaya memangku jabatan pembantu Rektor Universitas Teheran tahun 1970-1971. Kemudian, ia diangkat menjadi konselor Aryamehr University of Technologi, Teheran, sampai meninggalkan Iran menjelang meletusnya Revolusi Islam Iran (1979).
Saat terjadi Revolusi Iran pada 1979 yang berakhir dengan tersingkirnya Reza Pahlevi, Nasr masih menjabat sebagai direktur Imperial Iranian, Academy of Philosophy, suatu jabatan bergengsi yang mengantarkannya untuk menerima gelar kebangsawanan dari Sang Raja, rezim penguasa yang secara terus terang didukungnya. Namun akibat kedekatannya dengan pihak penguasa ini, Nasr masuk dalam daftar hitam (black list) para aktivis gerakan yang menentang Syah, termasuk Ali Syari’ati. Karena itu, meski pada awalnya bergabung deangan Ali Syari’ati di Husainiyah al-Irsyad, Nasr akhirnya keluar dari lembaga tersebut, di samping karena adanya perbedaan “ideologi”.
Menjelang revolusi Iran meletus pada tahun 1979, Nasr kembali ke Amerika dan memutuskan untuk tidak kembali ke Iran. Di Amerika ia diterima mengajar di Temple University sebagai profesor bidang pemikiran Islam. Pada tahun 1985 ia mengahiri tugasnya sebagai profesor di Temple University, selanjutnya pindah ke George Washington University juga dalam bidang kajian pemikiran Islam, dan tahun 1987 terbit bukunya dengan judul: Tradisionalis Islam in the World.
Nasr banyak menulis untuk jurnal-jurnal internasional, ia juga sering diundang untuk memberikan ceramah atau kuliah di universitas di berbagai Negara, seperti AS, Eropa, Negara-negara Timur Tengah, India, Jepang dan Australia. Nasr bahkan menjadi muslim dan Timur pertama yang mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato dalam Gifford Lecture, sebuah forum sangat bergengsi bagi kalangan teolog, filsuf, dan saintis Amerika dan Eropa sejak didirikan pada 1981 ini digunakan untuk menyajikan beberapa aspek kebenaran yang terletak di jantung tradisi Timur dan di jantung semua tradisi. Hasil ceramahnya itu dipublikasikan dengan judul Knowledge and the Sacred.
Relasi Dengan Tokoh-tokoh Sejamannya
Pada akhir 1965 Nasr bersama dengan Murtadha Muthahhari dan Ali Syriati serta beberapa tokoh lainnya mendirikan lembaga Hussainiyah Irsyad, yang bertujuan mengembangkan ideologi Islam untuk generasi muda berdasarkan persepektif Syi’ah, tetapi kemudian ia bersama dengan Murtadha keluar dari lembaga tersebut karena berbeda pendapat dengan Ali Syariati yang semula mengkritik ulama tradisional serta menggunakan lembaga ini untuk kepentingan politiknya. Pada tahun 1973 lembaga ini di tutup oleh Shah Reza Pahlevi. Nasr sangat mengecam Ali Syariati ysng dipandangnya keliru menampilkan Islam sebagai agama revolusioner dengan menghilangkan aspek spiritualitas.
Bagi Nasr, Syari’ati adalah seorang modernis muslim pertama yang menciptakan semacam “liberation theologi” di dunia Islam, karena pengaruh westernisasi dan marxisme. Dengan cara ini Syari’ati menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Bagi syari’ati, “Shi’ism was religion for protest”. Dalam penilaian Nasr gagasan Syari’ati sangat berbahaya.
Antara Nasr dengan kelompok Syari’ati terdapat perbedaan pendekatan dalam upaya memperbaiki nasib Iran untuk masa depan. Nasr mendekatinya dari sudut perkembangan rohaniah, karena pengaruh tasawuf, sehingga tokoh yang betapapun briliannya ini, tidak pernah terlibat dalam aksi kekerasan atau melibatkan dari dalam gerakan massa untuk melakukan perubahan historis dengan gagasannya secara revolusioner. Sementara Syari’ati dan kelompok revolusioner lainnya seperti Ayatullah Khomeini melihatnya dari kaca mata analisis sosiologis, sehingga mereka cendrung memilih jalur politik dan melibatkan diri secara aktif dan bahkan memimpin dalam sikap setiap aksi yang muncul. Gerakan revolusi yang diarsiteki oleh Khomeini dan Syari’ati ini, pada akhirnya berhasil menumbangkan rezim Shah, dan mendirikan Republik Islam Iran (RII) tahun 1979, hingga sekarang.
Maka menjelang revolusi meletus tahun 1979, Nasr hijrah ke Amerika Serikat. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Iran, dan menetap di Amerika. Ketika Fazlur Rahman dan Islamil Faruqi masih hidup, Nasr dan kedua tokoh itu disebut disebut sebagai tiga intelektual muslim terkemuka di Amerika Serikat sejak dekade 70-an. Harvard Seminary Foundation pernah mengadakan konfrensi tahun 1988 untuk membahas tentang kaum muslim di AS. Untuk aspek intelektualnya, ketiga tokoh ini yang dibahas. Selain mengajar Nasr juga aktif memberikan ceramah dan kuliah di berbagai Negara, di samping menulis buku dan artikel.
Pemikiran dan Karya Seyyed Hossein Nasr
Tokoh pemikir yang berpengaruh pada pemikiran Nasr, misalnya Allamah Thabathaba’i, Massignon, Henry Corbin, Titus Burckhardt dan F. Schoun. Salah satu gagasan penting mereka adalah apa yang disebut filsafat perenial, yaitu pemikiran kefilsafatan yang menyangkut metafisika universal. Perenialisme nantinya juga dikembangkan oleh Nasr dan bahkan menjadi landasan metodologi berpikirnya, terutama dalam bidang studi agama-agama.
Thabathaba’i adalah sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang dihormati masyarakat syi’ah karena menjadi mujtahid yang mendapat gelar unik al-alammah (yang sangat pandai). Menurut Nasr di antara ulama-ulama tradisional Syi’ah, Thabathaba’i adalah orang yang memenuhi syarat menulis buku yang berjudul Shi’a (edisi Indonesia: Islam Syi’ah) Ia telah mencetak puluhan ulama dan pemikir yang memberikan konstribusi besar dalam pengembangan studi filsafat, politik, irfan, tafsir dan lainnya.
Massignon adalah seorang pemikir yang menaruh simpati pada Islam dan mempunyai pengetahuan universal tentang Islam, terutama sufisme. Ia pernah menulis desertasinya tentang tasawuf al-hallaj. Disamping menaruh perhatian pada sufisme, ia juga sarjana kristen pertama yang merintis dialog antar agama, terutama titik temu antara Islam dan Katolik. Kontaknya dengan Massignon terjadi sejak Nasr menjadi mahasiswa dan berlangsung terus hingga beberapa bulan sebelum kematian Massignon di awal 1962.
Corbin adalah seorang sarjana protestan, yang juga mengabiskan tahuntahunnya untuk menguasai disiplin-disiplin yang berkenaan dengan esoterisme setiap agama, terutama Islam (Syi’isme) dan kajian-kajian Islam. Corbin juga sarjana yang mempunyai kepedulian besar untuk menghidupkan kembali spiritualitas di lingkungan manusia dan akademisi barat kontemporer yang hancur akibat skularisme. Perjumpaan Nasr dengan Corbin berawal dari pertemuannya ketika Nasr pulang dari Amerika ke Iran tahun 1958. Kontak ini terjalin secara akrab selama 20 tahun lewat aktivitas kerjasama untuk mengajarkan dan menghasilkan berbagai macam karya tentang pemikiran Islam.
Burckhardt adalah seorang pemikir yang menaruh minat besar tentang pemikiran Islam. Ia disamping menguasai sains-sains eksoterik Islam, juga menguasai sains eksoterik (sufisme) dengan baik, ia secara intens memperkenalkan doktrin metafisika sufi Ibn ‘arobi kelingkungan akademisi barat. Perjumpaan Nasr dengan Burckhardt terjadi sejak mahasiswa. Seperti diakuinya, Nasr sangat terpengaruh pemikiran Burckhardt lewat karya-karyanya maupun kehadiran kudusnya, serta oleh kecemerlangan pemikirannya.
Sedangkan Schuon adalah seorang pemikir yang banyak menghabiskan waktunya untuk menulis tentang dimensi esoterisme Islam. Karya-karya Schuon terutama munomentalnya yang berjudul Understanding Islam, sangat mempengaruhi Nasr. Hal ini menyebabkan ia harus menyisihkan waktunya untuk mengomentari karya-karya Schuon dengan judul The Essensial Writing of Frithjof Schuon, terbit 1986. Nasr baisa menyebut Schuon sebagai My Master.
Perkembangan pemikiran Nasr sejak awal dasawarsa 1960-an hingga dasawarsa 1990-an ini masih menunjukkan konsistensi. Artinya, pemikirannya sejak ia pertama kali mulai berkarir dan berkiprah dalam pergumulan intelektual, topik-topik yang dikembangkannya belum mengalami perubahan, justru yang dilakukan ialah mempertajam dan memperluas tema-tema pemikiran awalnya.
Intuk melacak perkembangan pemikiran Nasr, dengan cara meneliti hasil karya-karyanya yang berupa buku maupun artikel. Untuk memotret perkembangan pemikirannya perlu di kalsifikasikan menjadi empat periode. Pertama, periode 60-an, 70-an, 80-an, 90-an. Analisa pembagian periode ini, tidak berarti terjadi lompatan atau peralihan dalam pemikiran Nasr, tetapi untuk menganalisis penekanan (strassing) tema utama yang dikembangkan dalam masing-masing periode tersebut.
Periode 60-an ditandai dengan dua tema pokok. Pertama, tentang rekonstruksi tradisi sains Islam dan Khasanah serta sumber pemikiran Isalm. Kedua, tentang krisis dunia modern. Yang pertama, karya perdananya dalam bidang sejarah sains dan sains Islam an Intruction to Islamic Cosmological Doctrines (1964). Buku ini berisi tentang kajian kosmologi Islam dalam persepektif tradisional paling komprehensif, karena dikaji dari para tokoh filosof dan ilmuan. Selanjutnya, Three Muslim Sages (1964), memperkenalkan tiga pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibnu Arabi. Buku ini berisi tentang filsafat Islam yang meliputi tiga aliran penting yakni: Peripetik (masy-syaiya) oleh Ibn Sina, Illuminasi (Isyraqiyah) oleh Suhrawardi, Irfan (Gnosis, ma’rifat) oleh Ibn Arabi. Karya selanjutnya, Ideals and Realities of Islam (1966) berisi uraian tentang kerakteristik Islam dan upaya menjadikan wahyu sebagai sumber inspirasi ilmu pengetahuan, dan juga tentang tasawuf yang berangkat dari AlQur’an dan Hadis Nabi. Sedang science an Civilization in Islam (1968) berisi tentang isi dan spirit sejarah sians Islam dalam persepektif tradisional, dan juga tentang konsep-konsep agama, dan filsafat dalam Islam. Mengomentari pemikiran tersebut, Bousfiled mengatakan: Nasr merupakan pemikir Islam kontemporer yang mulai membicarakan metafisika dalam keilmuan modern. Selanjutnya, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968) berisi tentang krisis spiritual menusia modern, bagaimana manusia memandang atau memperlakukan alam. Pemikiran Nasr yang dicetuskan pada 1960-an, tidak saja mempunyai relevansi bagi masyarakat Barat, tapi juga negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia, yang waktu itu sedang mengambil ancang-ancang untuk mencopot pembangunannya.
Periode 70-an, nampaknya tema pemikiran Nasr masih merupakan kelanjutan dekade 60-an. Namun, ada perkembangan baru yang menarik yaitu ia mulai bicara tentang sufisme dan filsafat Islam. Tentang sufisme ia menulis Sufi Essays (1972) berisi tentang tasawuf dan akar sejarahnya, alternatif bagaimana sufisme harus dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan modern sekarang.
Adapun buku Islam and the Plight of Modern Man (1976), merupakan penjelasan lebih mendalam dari Man and Nature. Namun dalam buku ini, Nasr lebih mempertajam kritiknya terhadap peradaban modern, serta masalah-masalah yang dihadapi pemikiran modernis muslim. Ia juga menguraikan teorinya tentang Centre atau axis, dan peripheri atau Rim. Sedang tentang sains Islam ada dua; Islamic Science; An Illustrated Study (1976), dan Annoted Bibliography of Science, ditulis sebagai tiga volume. Vol. I (1975), vol. II (1978), dan vol. III (1991). Secara umum buku ini melancarkan penokalan tuduhan bahwa Islam hanya mewarisi ilmu dan budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya tanpa memiliki orginalitas.
Sedangkan tentang filsafat, Nasr menulis Sadr Al-Din Shirazi and His Transendent Theosophy (1978), dalam buku ini sekalipun sifatnya studi tokoh, namun ia mampu memperlihatkan karakteristik filsafat yang dikembangkan oleh filosof muslim yang selalu bersumber pada wahyu. Ia mengenalkan filasafat Mulla Sadra, yang dalam pandangan Nasr, dianggap sebagai tokoh penyambung filsafat Islam sepeninggal Ibn Rusd. Buku ini sekaligus sebagai jawaban atas tuduhan bahwa filsafat Islam telah berakhir sepeninggalan Ibn Rusd.
Periode 80-an, ada tiga tema menarik yang dikembangkan Nasr. Pertama, tentang pemikiran Islam, Kedua, penjelasan terperinci tentang istilah “Islam Tradisional”, dan ketiga, tentang peradaban.
Pertama, ia menulis Islamic Life and Thought (1981) buku ini berisi tentang pendekatan sejarah (historical approach) dalam membahas konfrontasi Islam dengan Barat, kritikan dengan pemikir modernis Islam yang kebaratbaratan seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Amir Ali. Dalam pandangannya, tokoh-tokoh ini penyebar weternisasi dan sekularisme di dunia muslim. Dan pada bagian lain berisi tentang analisa sebab-sebab kemunduran Islam karena penghancuran tasawuf dan tarekat sufi oleh gerakangerakan rasionalisme puritan, seperti gerakan Wahabi di Arabia dan Ahli hadist di India.
Penjelasan secara rinci tentang “Islam Tradisional” dan konfrontasinya dengan dunia modern, Nasr menulis dalam dua buku: Knowladge and Secret (1981), dan Tradisional Islam in the Modern Wolrd (1987), dalam buku ini berisi tentang apa itu Islam tradisional, dan bagaiman pertentangan dengan dunia modern.
Adapun tentang seni Islam, Nasr menulis dua buku: Philoshophy, Literature and Fine Art (1987); dan Islamic art and Spirituality (1987), dalam buku ini berisi tentang seni dalam Islam berdasarkan gagasan tauhid, yang menjadi inti dari wahyu Islam. Bahwa seni merupakan “teologi yang diam”, yang mencerminkan ke dalam kesadaran keagamaan seseorang, dan karenanya bersifat abstrak.
Periode terakhir (90-an), karya terpenting adalah usaha untuk mengadakan titik temu agama-agama. Ia menulis buku, Religion and Religions: The Challenge of Living in a Multireligious World (1991), dan The Young Muslim’s Guide to the Modern World (1994) buku ini berisi tentang warisan pemikiran klsik Islam dan karakteristik dunia Modern.
Dari seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Nasr secara garis besar berkisar pada bidang sains Islam, filsafat, sufisme, pemikiran Islam dan krisis-krisis yang dialami dunia modern.