Hasil Riset: Tingkat Toleransi Santri Sangat Tinggi

WISLAHCOM: Hasil riset dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Ali (STAIMA) Cirebon, Hilyatul Auliya dan Syarif Abubakar, yang berjudul Pesantren and Tolerance: Looking at the Faces of Santri Tolerance in Babakan Ciwaringin Cirebon berkesimpulan bahwa tingkat toleransi di kalangan santri sangat tinggi.

Riset yang dilakukan pada tahun 2019 silam ini, dilakukan di lingkungan pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, sebuah desa yang memiliki pesantren sebanyak 64 pondok pesantren baik putra maupun putri. Jumlah populasi yang terdata dalam penelitian ini sebanyak 4108, angka tersebut hanya menghitung santri yang bersekolah di sekolah formal negeri; SMPN 1 Babakan Ciwaringin, MTSN 2 Cirebon, dan MAN 2 Cirebon. Sedangkan jumlah sampel yang diambil sebanyak 843 alias sekitar 20% dari populasi.

Riset ini menggunakan pendekatan kuantitatif. 30 pertanyaan terkait toleransi tersebut disusun berdasarkan indikator yang sebelumnya telah disusun dari teori-teori yang sudah ada dan diajukan ke sampel untuk dijawab. Sedangkan teknik analisis data riset ini menggunakan statistik deskriptif. Hasil perhitungan uji reliabilitas instrumen menggunakan program SPSS 23.0 for Windows.


Islam sebagai agama mayoritas yang dianut masyarakat Indonesia, tentu memiliki andil dan kontribusi yang sangat besar bahkan menentukan terkait isu toleransi. Pemahaman atas realitas berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat yang majemuk harus terus dikampanyekan kepada segenap lapisan masyarakat sehingga kesadaran sebagai bagian dari masyarakat yang beragam latar belakang etnis, ras, bahasa, dan agamanya dapat terbangun dan terus hidup. Terlebih, dalam ajaran Islam sendiri sikap toleransi bukan merupakan hal yang tabu dan baru.

Toleransi dalam Bahasa Arab tasamuh yang mempunyai arti bermurah hati, kata lain dari tasamuh adalah tasahul yang memiliki arti bermudah-mudahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata toleransi adalah suatu sikap menghargai pendirian orang lain (seperti pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian diri sendiri.


Isu toleransi di kalangan santri diangkat karena sangat menarik karena sebelumnya, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai toleransi di mata Generasi Z dengan melibatkan sampel total sebanyak 2.181 orang, yang terdiri dari 1.522 siswa dan 337 mahasiswa serta 264 guru dan 58 dosen pendidikan Agama Islam, hasilnya sungguh mencengangkan. Akses internet yang terbuka lebar, alih-alih menjadikan manusia toleran justru malah berpotensi menjadi intoleran dan radikal. Sedangkan pendidikan agama Islam yang diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi tidak membuka wawasan keislaman yang komprehensif, malah menumpulkan kebhinekaan.

Riset PPIM tersebut dilakukan di berbagai kota besar dengan tingkat pemahaman keagamaan yang tentu relatif berbeda dengan kaum santri yang tinggal di pesantren, baik karena akses bacaan, maupun lingkungan. Terlebih, sebagaimana dikatakan Abdurrahman Wahid, pondok pesantren merupakan latar belakang pendidikan yang mampu membentuk pola pikir dan perilaku santrinya (Marzuki Wahid, 1999).

Keberadaan sosok kiai sebagai role model bagi kaum santri, yang tinggal dan berinteraksi bersama dalam lingkungan pesantren, sangat berperan dalam pembentukan karakter dan pola pikir santri. Sikap dan perilaku santri, meski tidak selalu, akan dianggap sebagai representasi dari institusi pendidikannya (pesantren) dan kiai yang menjadi gurunya.

Riset yang di publikasikan di Jurnal Penelitian IAIN Pekalongan ini, memberi napas segar serta asa besar bagi kita semua yang mendambakan tegaknya toleransi di Tanah Air, bahwa masa depan Indonesia akan lebih toleran di tangan kaum santri.    

Related posts