Wislahcom | Referensi | : Perkembangan ajaran-ajaran tasawuf di Indonesia tidak lepas dari jasa para sufi yang telah menyebarkannya. Berbagai tantangan yang mereka hadapi, mulai dari tantangan sosial yang tak jarang dikucilkan dari masyarakat, tantangan ekonomi, hingga tantangan keselamatan diri. Tak jarang kita dapati informasi sejarah para sufi yang dibunuh karena perbedaan pandangan dan kepentingan kekuasaan. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk terus menebarkan ajaran-ajaran yang pada umumnya bertujuan membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Di antara para sufi tersebut adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdul Somad al-Falimbani, Abdul Rauf as-Sinkili, Abdul Muhyi Pamijahan, Syaikh Yusuf al-Makasari, Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari.
Perjalanan kehidupan dan ilmu para sufi perlu dipelajari sebagai referensi dan hikmah teladan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat.
Pada kesempatan kali ini akan membahas tentang Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari.
Simak penjelasan singkat tentang : Sosok Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari dan Keteladanan Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari.
Sosok Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari
Pada masa kecilnya, Syaikh Muhammad Nafis belajar ilmu agama dari para ulama di daerah Banjar sebelum berangkat ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Untuk ilmu tasawuf, beliau belajar kepada beberapa ulama di daratan Arabiyah, diantaranya: Syaikh Abdullah bi Hijaz al-Syarqawi al-Misry, seorang Syaikh al-Azhar Kairo ditahun 1794 M. Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Saman al-Madani, Syaikh Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi dan Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Jauhari.
Di akhir pengembaraannya belajar tasawuf, para gurunya memberikan gelar kehormatan Syaikh Mursyid, yaitu seseorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasawuf. Gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain.
Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman, Syaikh Muhammad Nafis tidak banyak menulis buku, yang sampai saat ini terlacak hanya tiga buah kitab yakni: al-Durr al-Nafis, Majmu’ al-Asrar li ahl Allah al-Atyar berisi tentang ajaran tasawuf dan Kanz al-Sa’adah fi Bayan Istilahat al-Sufiyyah.
Salah satu karya Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari yang kontroversial adalah ad-Durun. Kepopuleran kitab ini berbanding terbalik dengan makamnya. Makamnya yang kini menjadi tempat wisata religi sempat tak diketahui keberadaannya kecuali setelah dikunjungi oleh beberapa ulama untuk berziarah, satu diantaranya adalah KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani di tahun 90-an. Melihat ada ulama yang berziarah kesana, maka berdatanganlah orang-orang untuk berziarah. Hingga tahu 2000 pemerintah bersama dengan para ulama memperingati haul Syaikh Muhammad Nafis setiap tahunnya.
Keteladanan Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari
Syaikh Mauhammad Nafis seorang yang gigih dalam mempelajari ilmu agama khususnya ilmu tasawuf. Beliau tergabung dalam berbagai aliran tarekat mu’tabaroh seperti; Tarekat Qadiriyyah, Tarekat Syattaiyyah, Tarekat Samaniyyah, Tarekat Naqsabandiyyah dan Tarekat Khalwatiyyah. Adapun ulama-ulama sufi tempat beliau belajar yaitu: Syaikh Abdullah bi Hijaz al-Syarqawi al-Misri, seorang Syaikh al-Azhar Kairo ditahun 1794 M. Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Saman al-Madani, Syaikh Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi dan Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Jauhari. Di akhir pengembaraannya belajar tasawuf, para gurunya memberikan gelar kehormatan Syaikh Mursyid, yaitu seseorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasawuf. Gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain.
Dalam berdakwah, Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari adalah ulama dan sufi yang gigih menyebarluaskan syiar Islam dan tegas dalam melawan kebatilan. Beliau juga merupakan sosok ulama yang terbuka. Meski di Banjar pada saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syaikh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni mendamaikan tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafī.