Oleh: Fārïz Alnizär, Penulis, Alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Saya masih ingat, sekali waktu selama seharian penuh, kepala ini saya masukkan lemari pakaian yang terbuat dari kayu mahoni ukuran 50cmx50cm. Saya tidak kuat membendung rasa ingin pulang dan bila perlu tak usah kembali lagi ke Pesantren. Padahal, usia kedatangan saya ke Pesantren ini baru itungan hari.
Gemuruh dada saya semakin riuh. Satu persatu bayangan enak dan riangnya bermain di pematang sawah, belajar menjadi sindikat pencuri tebu amatir, serunya main karambol, dan segala macam aktivitas permainan yang memacu adrenalin lainnya, tiba-tiba membuat saya semakin merasa menjadi pesakitan di Pesantren ini.
Setelah mengumpulkan niat, membulatkan tekad dan memompa nyali, pada pertengahan Ramadhan saya putuskan untuk mbladas—istilah yang digunakan untuk menyebut pulang tanpa izin—.
Sekira pukul dua siang saya bersijingkat menuju embong miring. Di depan Bakso Mama yang melegenda itu, saya mencegat bus Puspa Indah Primus jurusan Malang-Tuban.
Adagan ini sungguh membuat nyali mengkerut. Saya harus membagi konsentrasi antara mencegat bus sekaligus celingak-celinguk melihat keadaan sekitar: apakah aman tidak ada Pengurus yang tahu keberadaan saya.
Setelah menunggu hampir tiga puluh empat menit, saya akhirnya berhasil nangkring di bus yang membawa saya ke Lamongan. Saya bereskan adminstrasi. Karcis dengan coretan spidol snowman merah Jombang-Kalen saya kantongi. Bus melaju dengan kecepatan yang sangat pelan. Hanya suaranya saja yang bergemuruh menggedor-gedor daun telinga.
Setiba di pertigaan Kalen, saya menyewa ojeg. Dengan membonceng lelaki sepuh berkulit sawo terbakar, saya berhasil meginjakkan kaki di depan rumah sekira tiga puluh satu menit kemudian.
Adagan jahanam justru bermula dari sini: ketika saya turun dari motor tukang ojeg, Bapak dan Ibu sudah memanaskan mesin Colt T-120 pick up legendaris milik keluarga. Dengan pakaian rapi, tatapan keduanya nanar pada saya yang baru turun dari motor ojeg.
“Lhadalah, kok malah muleh, Cung?”
Saya hanya terdiam. Mungkin nangis. Tapi saya lupa. Ibu memeluk erat. Sangat erat.
Segera saya diajak naik mobil. Pedal gas diinjak. Tanpa banyak bicara Bapak dan Ibu mengambalikan saya ke Pesantren.
Misi saya untuk negosiasi ingin boyong dari Pesantren gagal. Bapak dan Ibu memilih menutup akses diskusi. Belakangan saya tahu, bukan perkara mudah berjuang seolah-oleh dengan penuh rasa tega melepas buah hatinya yang baru lulus Madrasah Ibtidaiyah bergulat sendiri di tanah peraduan.
Kelak saya juga menjadi tahu, tanpa adagan heroik itu, saya tidak akan pernah bisa menamatkan nyantri di Denanyar Jombang.