Purabaya, Tebuireng, Risalatul Muawanah

Purabaya,, Tebuireng, Risalatu Muawanah

Oleh: KH. M. Faizi, Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayyah, Guluk-Guluk Sumenenp

Hari ini hari bersejarah bagi saya. Untuk pertama kalinya, saya mulang Risalatul Muawanah untuk pondok ramadan alias ‘posonan’ yang artinya kurang lebih ngaji kitab—biasanya sampai khatam—di bulan puasa. Persis 30 tahun yang lalu, saya ngaji kitab tersebut kepada Kiai Anwar Manshur (PP Pacul Gowang) di Pondok Pesantren Tebureing. Saya membeli kitab itu seharga 500 rupiah di Cukir, tertanggal 1 Ramadan 1411 H (bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1991 M) dan mulai ngaji pada esok harinya.

Ketika itu, saya berangkat dari rumah, seorang diri, ke pondok Tebuireng. Saya ingat, hari itu adalah hari Kamis, 14 Maret 1991. Sampai di Purabaya, saya kebingungan karena tidak mendapatkan bis tujuan Trenggalek (yang akan saya turuti untuk turun di Jombang dan/atau Tebuireng jika bisnya Hasti/Jaya Raya yang notabene lewat Pare). Rupanya, kata orang, terminal tersebut baru dibuka. Itulah Terminal Purabaya yang terletak di Desa Bungurasih, Sidoarjo.


Akhirnya, berdasarkan kesepakatan dengan penumpang-penumpang lain yang sama-sama keleleran, saya naik angkot abal-abal ke Jombang, tentu saja dengan ongkos yang jauh lebih mahal (pada hari Kamis yang lalu, 8 April 2021, saya dapatkan klipingan koran Surabaya Post dari Alfian Akmal yang bertandang ke rumah. Dari situ, saya mendapatkan kecocokan tanggal, bahwa ketika saya keleleran di terminal terbesar di Asia Tenggara itu rupanya memang bertepatan dengan masa ujicoba terminal, yang dibuka pada tanggal 12 Maret 1991, dua hari sebelum saya lewat).


Saya tidak nyantri di Tebuireng, melainkan di Madrasatul Quran, itupun tapi tidak lama. Saya nyantri kepada Kiai Yusuf Masyhar, menantu cucu Hadratus Syaikh dan sekaligus pendiri pondok. Ketika itu, saya masih nutut sama Kiai Adlan Ali. Yang mengampu kepengasuhan Tebuireng kala itu adalah Kiai Yusuf Hasyim, putra Hadratus Syaikh).

Meskipun saya tinggal di Madrasutul Quran, namun hampir tiap hari saya main ke Tebuireng yang hanya terpisah oleh jalan raya. Sampai-sampai, suatu waktu, saya dipanggil oleh pengurus (kalau tidak salah Ustad Chamim Kohari), ditanyain yang kira-kira begini redaksinya: ‘kamu ini santri pondok mana, sih?’ (Belakangan, saya malah seirng bertemu dengan Kiai Chamim Kohari untuk kegiatan sastra, eh, nyambung juga akhirnya).

Pada tanggal 18 Mei 2011, saya sowan ke Tebuireng. Saya dipersilakan masuk ke ndalem beliau. Kesempatan! Saya pun matur kepada Gus Solah (Kiai Shalahuddin Wahid)—yang ketika itu menjadi pengasuh pondok—agar beliau sudi dan menerima kesantrian saya meskipun saya tidak secara resmi terdaftar sebagai santri Tebuireng. Tak terduga, Gus Solah berkenan menjadi pembedah untuk acara diskusi buku saya yang diselenggarakan di perpustakaan pondok, ketika itu.

Jadi, jika ada yang bertanya, mengapa saya sering lewat Terminal Purabaya, sering ke Tebuireng, dan tetap membaca kitab Risalatul Muawanah? Cerita di atas telah menjawab.

Related posts