Pemikiran Aristoteles Tentang Manusia dan Penelitian Tentangnya

Pemikiran Aristoteles

Pemikiran Aristoteles Tentang Manusia | Makalah Pemikiran Aristoteles Tentang Manusia | Penelitian Pemikiran Aristoteles Tentang Manusia  |

Pemikiran Aristoteles Tentang Manusia

Aristoteles memakai pendekatan biologis untuk menganalisa manusia. Menurutnya, manusia adalah seekor binatang dengan unsur tertentu yang khas. Tidak seperti binatang pada umumnya yang diatur oleh kebiasaan, manusia dapat dengan sadar mengendalikan dorongan-dorongan non-rasionalnya. Memiliki nafsu yang bermacam-macam, salah satu nafsu dari manusia adalah bersosialisasi, baik berupa sekedar bersahabat atau urusan seksual.

Namun permasalahannya, pengejaran nafsu yang dapat diartikan kenikmatan, kebanggaan, prestasi, tujuan atau kekuasaan sering tidak terkontrol yang dikarenakan faktor keserakahan manusia juga. Menurut Aristoteles manusia pada awalnya selalu baik, namun dikarenakan faktor-faktor lingkungan dapat merubah sikap seorang manusia.


Secara umumnya, pandangan Aristoteles tentang konsep manusia masih bersifat fisik. Ilmu tentang manusia oleh Aristoteles dimasukkan ke dalam disiplin ilmu fisika. Jadi, psikologi (istilah kita sekarang) dalam pemikiran Aristoteles dahulu masuk dalam bidang ilmu fisika, yang kajiannya mencakup hal-hal fisis dan alamiyah. Sehingga, manusia diselidiki dalam ruang lingkup hal-hal fisik; yakni makhluk hidup yang mempunyai psyche (jiwa). Hal ini disebabkan, tipe pandangan pemikiran Aristoteles yang cenderung kepada penyelidikan empiris.

Aristoteles memandang, bahwa manusia hidup memiliki tujuan. Yaitu nilai kebahagiaan (eudaimonia). Menurutnya, jika manusia telah mencapai kebahagiaan, maka tidak ada yang diinginkan selebihnya. Kebahagiaan yang dimaksud adalah bila manusia melaksanakan moral (etika), maka manusia menjadi makhluk yang berbahagia. Disinilah korelasi etika dan kebahagiaan dijelaskan oleh Aristoteles.

Sebuah makhluk mendapat kesempurnaannya bukan karena potensinya, melainkan potensinya sudah mencapai aktualisasinya. Maka, kebahagiaan perlu terdiri dari aktivitas-aktivitas yang sifatnya manusiawi. Kebahagiaan bukan bersumber dari aktivitas makhluk non-manusia. Kebahagiaan manusia apabila telah mencapai pada taraf kesempurnaan. Yaitu jika telah menjalankan aktivitas spesifik manusia, yaitu pemikiran. Manusia bahagia itu bila ia memandang kebenaran. Aktivitas level tinggi yang bisa membawa kepada kebahagiaan itu harus dilakukan dengan baik. Apabila dilakukan tidak benar, maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Aristoteles merumuskan, supaya manusia itu bahagia maka ia harus menjalankan aktivitasnya menurut ajaran “keutamaan”. Hanya pemikiran yang disertai arête itu membuat manusia menjadi bahagia. Dalam hal ini Aristoteles membagi “keutamaan” menjadi dua; keutamaan intelektual dan keutamaan moral.

Keutamaan intelektual yang dimaksud Aristoteles adalah keutamaan yang menyempurnakan rasio. Rasio dapat memberi petunjuk supaya orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu. Keutamaan yang menyempurnakan rasio dibagi dua. Pertama, kebijaksanaan teoritis. Kedua, kebijaksanaan praktis. Aristoteles memilih kata shopia untuk menunjukkan kebijaksanaan teoritis atau kearifan. Sebagaimana halnya dengan tiap-tiap keutamaan, kebijaksanaan teoritis pun merupakan suatu sikap tetap. Sekali-kali saja mengenal kebenaran belum boleh dianggap sebagai keutamaan. Sudah nyata bahwa hanya sedikit orang dapat memiliki kebijaksanaan teoritis, yaitu orang-orang terpelajar. Jalan yang menuju kepada kebijaksanaan teoritis ini adalah suatu jalan panjang yang meliputi seluruh pendidikan ilmiah.

Kebijaksanaan praktis (phronesis atau prudence) adalah sikap jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengatakan yang mana dari barang-barang konkret boleh dianggap baik untuk hidupnya. Kebijaksanaan praktis ini tidak lepas dari keutamaan moral. Tiap-tiap orang yang hidup menurut keutamaan, mesti memiliki kebijaksanaan praktis juga.

Menurut Aristoteles Jiwa dan badan dianggap sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi saja. Dua aspek ini mempunyai hubungan satu sama lain sebagai “materi” dan “bentuk”. Sebagaimana semua makhluk fisik terdiri dari materi dan bentuk, demikian pun makhluk fisik yang mempunyai psyche terdiri dari materi dan bentuk.

Badan adalah materi dan jiwa adalah bentuknya. Karena materi dan bentuk masing-masing mempunyai peranan sebagai potensi dan aktus, dapat dikatakan juga bahwa badan manusia adalah potensi, sedangkan jiwa berfungsi sebagai aktus. Maka, jiwa menurut Aristoteles adalah aktus (intelekheia) pertama dari suatu badan organis. Ia mengatakan, jiwa adalah “aktus pertama” karena jiwa adalah aktus yang paling fundamental. Aktus ini mengakibatkan badan menjadi badan yang hidup. Semua aktus yang lain merupakan “aktus yang kedua”, yang berdasarkan aktus pertama tadi. Aktus pertama merupakan identitas asli. Sedangkan aktus kedua merupakan hanya salah satu aktualisasi yang bisa berbentuk perbuatan, sifat dan warna. Dengan anggapan bahwa jiwa terkait dengan materi, maka selanjutnya Aristoteles meninggalkan pemikiran Plato tentang keabadian jiwa. Aristoteles dalam kesimpulan akhirnya mengatakan bahwa jiwa seperti materi akan musnah. Sebagaimana akan musnahnya jiwa tumbuh-tumbuhan dan hewan.


Manusia menurut Aristoteles adalah makhluk sosial. Tetapi, rumusan ini dikaitkan dengan politik. Menurutnya manusia itu secara kodratnya hewan yang berpolitik. Yaitu hewan yang membangun masyarakat di atas kelompok-kelompok. Manusia adalah hewan yang hidup dalam polis. Maka, makhluk hidup apa saja yang tidak memiliki kodrat politicon, maka makhluk hidup tersebut bukan manusia tetapi binatang atau seorang dewa.

Piolis adalah istilah Aristoteles untuk mengartikan komunitas sipilyang ia yakini sebagai latar sosial kodrati dari manusia. Adapula kelompok sosial koininia yang meliputi segala macam komunitas yang di mana pada taraf tertentu terjadi interaksi. Sedangkan Oikos adalah jenis komunitas paling dasar dan terbatas untuk pekembangan kodrat manusia atau disbut juga rumah tangga. Kemudian Polis menurutnya juga merupakan kebutuhan untuk mengatasi serangan dari luar dan dibentuk untuk kesejahteraan bersama. Menurutnya Polis yang ideal adalah sebuah komuitas orang-orang yang sama kedudukannya yang mengarah pada kebaikan yang sebaik mungkin.

Menurut Aristoteles, manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan sendirian. Tetapi memerlukan orang lain, yaitu sahabat. Manusia perlu sahabat, perlu kebersamaan dan perlu komunikasi untuk menjadi diri sendiri. Ingin “bebas seratus persen” dan arena itu tidak terikat dalam cinta berarti menggagalkan keinginan paling dalam diri kita sendiri untuk bahagia.

Menurut Aristoteles, manusia yang baik adalah ketika manusia itu dikuasai oleh akal budi, sedangkan ia menjadi manusia buruk pada saat dikuasai oleh nafsunya. Karena, selama manusia dikuasai oleh nafsunya maka ia dikuasai oleh sesuatu yang menjadikan tidak teratur, ditarik tidak tentu arah. Terjadi kekacauan dalam dirinya. Sedangkan, ketika manusia itu baik, maka jiwanya mengarah kepada yang transenden. Semakin gerak jiwa manusia mengarah kepada yang bersifat transenden maka semakin manusia akan merasakan ketenangan jiwa dan kebahagiannya, sedangkan jiwa manusia yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi maka manusia akan semakin menjauhi sumber ketenangan dan kebahagiaan.

Beberapa Penelitian Pemikiran Aristoteles Tentang Manusia

Berikut adalah beberapa penelitian “Pemikiran Aristoteles Tentang Manusia” :

Aristoteles: Biografi dan Pemikiran, oleh Dini Anggraeni Saputri

Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Dini Anggraeni Saputri dengan judul Aristoteles: Biografi dan Pemikiran dalam jurnal.

Filsafat Aristoteles bersifat naturalistis karena sifat empirisnya. Pengertian naturalistis selanjutnya adalah ia percaya bahwa alam semesta terdiri dari sebuah herarki, masing-masing dengan sebuah kodart atau hakikat. Pendangan naturalistisnya mengenai alam semesta tidak tergantung pada kepercayaan-kepercayaan theologis.

Logika Aristoteles adalah suatu sistem berfikir deduktif, yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya obseevasi, experimen dan berfikir induktif .

Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal. Banyak teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut slah total karena asumsi yang keliru. Sebagai contoh ketika Aristoteles menyetujui adanya perbudakan karena menurutnya hal ini sejalan dengan hukum alam dimana yang lemah akan kalah oleh yang kuat.

Manusia dan Kebahagiaan: Pandangan Filsafat Yunani dan Respon Syed Muhammad Naquib al-Attas, oleh Kholili Hasib

Berikut adalah kesimpulan dari penelitian yang ditulis oleh Kholili Hasib dengan judulManusia dan Kebahagiaan: Pandangan Filsafat Yunani dan Respon Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Jurnal Pemikiran Islam.

Dari satu sisi, pandangan Barat modern tentang manusia dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Akan tetapi, pandangan Barat modern lebih cenderung materialistis daripada para filosof Yunani. Konsep-konsep Aristoteles tentang manusia masih cenderung mengkaji dalam “ruang” metafisika. Hal ini disebabkan perkembangan worldview Barat modern yang menuju kepada pandangan materialisme. Pandangan alam Barat yang sekularmaterialistik itu menjadikan mereka memiliki perhatian sedikit tentang jiwa (yang metafisik itu). Ilmu psikologi modern yang menjadi referensi dalam kajian kejiwaan saat ini, secara umum belum mengurai secara jelas hakikat dari diri manusia dari aspek substansi metafisik. Kajiannya hanya mampu mengurai prinsipprinsip umum dan gejala dari jiwa manusia yang teraktualisasikan secara materi. Umumnya masih berupa kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya hipotesis dari pengalaman seorang ilmuan atau peneliti.

Dalam tradisi keilmuan Islam, kajian jiwa justru mendapat perhatian penting. Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Karena dimensi jiwa dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik karena jiwa merupakan bagian metafisika. Ia sebagai penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia. Meskipun saling membutuhkan antara jiwa dan jasad tanpa harus dipisahkan, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad.

Related posts