Mbah Mus, Mbah Sya’roni dan Logika Orang Awam

Mbah Mus, Mbah Sya'roni dan Logika Orang Awam

Oleh : Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Jember

Ketika saya sowan KH. A. Mustofa Bisri, Mei 2014 silam, beliau bercerita tentang duo kiai gila bola. Yang pertama, Gus Dur, tentu saja. Yang kedua, KH. Sya’roni Ahmadi, Kudus. Penghafal Al-Qur’an, pengkaji tafsir yang alim, sekaligus pribadi yang tawadlu’. Keduanya, kata Mbah Mus, jika sudah bertemu maka bahasan yang dibicarakan adalah soal bal-balan. Klub ini-itu, pemain A, B, C, strategi lapangan hijau dan sebagainya. Kalaupun keduanya berjumpa dalam forum pertemuan para kiai, maka beliau berdua fokus berbincang soal sepakbola terlebih dulu, sehingga kiai-kiai lain dicueki. Baru jika topik itu habis, keduanya kembali berbaur obrolan dengan para ulama lain.

Jika KH. A. Mustofa Bisri mengajikan Tafsir al-Ibriz karya ayahnya, KH. Bisri Mustofa, maka Mbah Sya’roni membalagh Tafsir Jalalain. Saya biasa mendengarkan pengajian beliau berdua saat nyetir mondar-mandir Surabaya-Jember. Biasanya via YouTube, kadang via grup FB “Ngaji Bareng KH. Sya’roni Ahmadi”. Terasa adeeeem di hati.


Di antara kesamaan beliau berdua, jika membahas Sirah Nabawiyah di tengah-tengah pengajian, atau menjelaskan hadits, maka keseharian Rasulullah dan para sahabat tampak “nJawani”, membumi, dekat dengan keseharian kita, tidak melangit dan mengawang-awang.

Apalagi ketika beliau-beliau menyebut Rasulullah dengan sebutan Kanjeng Nabi atau Kanjeng Rasul. Para istri nabi diberi sebutan Siti (Sayyidati), atau Dewi, atau Bu, tampaklah upaya membumikan manusia-manusia langit ini. Mbah Sya’roni, misalnya, dalam salah satu pengajian tafsirnya, ketika menjelaskan kecemburuan Sayyidah Aisyah terhadap Sayyidah Khadijah al-Kubra, uraiannya enak, sangat logis, dan sedikit jenaka tanpa merendahkan martabat kedua istri Rasulullah tersebut. Apalagi Mbah Sya’roni menyebut kedua perempuan mulia itu dengan sebutan “Bu”. Terdengar grapyak. Akrab.


Keduanya menjadi komunikator yang handal. Pendengar tidak merasa berjarak dengan kehidupan Rasulullah dan para sahabat puluhan abad silam. Keduanya bisa membumikan bahasan pelik dengan logika sederhana dan bahasa yang membumi. Tidak pernah kita jumpai beliau berdua menggunakan bahasa elit dan intelek. Bahkan, ketika mendengarkan uraian Tafsir Jalalain yang diampu oleh Mbah Sya’roni, beliau bukan saja pembaca yang baik, melainkan juga penafsir yang mumpuni. Level beliau, bagi saya, sudah mufassir, yang kadangkala menggunakan referensi kitab tafsir lain untuk dipadukan dengan penjelasan di Tafsir Jalalain. Singkatnya, basis keilmuan al-Qur’an yang beliau miliki sudah “klik” dengan retorika dan logika orang awam. Mudah dicerna!

Kesamaan lain antara–dan ini juga yang kita cermati dari gaya kiai-kiai kita– adalah kemampuan beliau berdua dalam meledek diri sendiri. Ini kemampuan khusus, tidak semua orang mampu menertawakan diri sendiri, atau melihat fenomena keseharian dengan kocak. Kadangkala menertawakan kualitas persaudaraan umat Islam yang merosot, meledek ihwal ibadah yang masih compang-camping, atau menertawakan keseharian yang jauh dari kata ideal. Asyiknya, beliau berdua menggunakan diksi “kita” (awak dewe) saat menjitaki diri sendiri. Dan, biasanya juga disambut dengan ledakan tawa atau senyum kecut para hadirin, atau minimal pendengar hanya bisa cengar cengir.

Kita beruntung berguru pada beliau-beliau. Meski tidak pernah berjumpa secara fisik, misalnya, tapi setidaknya kita membuka YouTube, mencari pengajian tafsir yang diampu beliau berdua, lantas menyimak dengan khidmat. Eman-eman, sayang jika ilmu yang beliau gerojokkan tidak kita wadahi. Dan, dalam hal ini tentu saja kita harus berterimakasih kepada admin yang meng-upload pengajian beliau berdua.

Hari ini, Kiai Sya’roni berpulang. Meninggalkan warisan ilmu dan keteladanan. Sedangkan Mbah Mus, kita senantiasa berdoa agar beliau senantiasa panjang umur dan tidak lelah mendidik umat dengan ilmu dan keteladanan pula.

Wallahu A’lam Bishshawab

Related posts