Kapitayan: Antara Teks dan Konteks Sosial

Kapitayan

Oleh: Sakdillah, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Penulis

Dalam “Ensiklopedi Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa”, Kapitayan adalah sebuah organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang tumbuh berkembang sangat pesat di wilayah Jawa Timur, antara lain di Situbondo, Banyuwangi, Bondowoso, Kediri, Nganjuk, Probolinggo, Tuban dan Surabaya.

Organisasi ini didirikan oleh R. Soekandar Sastroatmodjo pada tanggal 17 Desember 1979. Yang menjadi tujuan organisasi Kapitayan adalah terwujudnya bentuk kultur Kapitayan yang nasional serta terwujudnya kebudayaan Pancasila yang nasional.


Istilah Kapitayan ini kemudian diangkat oleh K.H. R. Ng. Agus Sunyoto untuk meng-counter attack pandangan sarjana-sarjana sebelumnya yang menyebutkan agama di Nusantara bersifat Animisme dan Dinamisme. Penyembah batu, kayu, dan tempat-tempat yang dianggap keramat.

Bagi Sunyoto, Kapitayan merupakan sebuah agama yang mengajarkan kepada para pengikutnya untuk berpegang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Taya.

Sang Hyang Taya memiliki daya kesaktian sebagai hukum abadi (angger-angger langgeng). Perwujudan ibadah dari penganut kepercayaan Kapitayan ini berupa penghormatan – sembah sungkem, semadi, dan pelayanan sembah bekti kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang waktu pelaksanaannya pada saat sebelum matahari terbit, sebelum senja, dan sesudah matahari terbenam.

Memang, di dalam Prasasti Lumajang, ada disinggung tentang keberadaan agama lokal yang telah dianut oleh masyarakat selain Syiwa, Buddha, Wisnu, dan lain-lain, tersebut. Dengan kata lain, agama lokal tersebut secara teologis menganut Tuhan yang Tunggal.

Namun demikian, kelemahan-kelemahan teori tentu ada. Pertama, dari aspek bahasa (Logos), manakala sumber pengetahuan yang didapat adalah dari teks-teks berbahasa Kawi. Sebagaimana Kawi, merupakan asimilasi yang terbentuk antara bahasa Jawa dan Sansekerta. Dari segi bahasa telah terjadi proses budaya yang berkelindan. Sehingga unsur-unsur pembentuknya pun dapat dilihat.


Kenyataan sosial yang masih meraba-raba. Pola dan sistem sosial masyarakat Jawa yang terus mengalami proses akulturasi dan asimilasi dari masa ke masa. Hal ini tak dapat dihindari. Kondisi sosial masyarakat Jawa lebih sering digambarkan sebagai sebuah sistem yang terstruktur. Misal ke dalam kasta. Sunyoto, di lain tempat ceramahnya yang tersiar melalui YouTube, menyebutkan ada tujuh sistem kelas di dalam tata urut kasta masyarakat Jawa. Secara langsung, saya pernah bertanya: apa benar sistem kasta itu di dalam struktur sosial masyarakat Jawa? Sunyoto menjawab, “Ada. Lihat saja sistem keraton Yogya dan Solo,” katanya.

Bentuk model simplikasi demikian sedikit agak janggal. Pertama, dilihat dari struktur bahasa yang merepresentasikan sistem sosial dan budaya, justeru terdapat tiga kasta (Ngoko, Madyo, dan Hinggil) di keraton Yogya maupun Solo. Itupun merujuk pada sistem sosial dan budaya yang cenderung dalam pemahaman kekinian. Sementara, bila dilihat pada kondisi sosial yang lebih tua, misalnya pada prasasti Danahadingan di Kediri, kasta itu justeru tidak ada. Kondisi sosial budaya yang bersifat komunal (koloni) dengan merepresentasi keluarga (Kula Warga) dalam sistem sosial budaya masyarakat Jawa, hal demikian justeru tidak relevan. Belum lagi, apabila merujuk pada sistem sosial budaya masyarakat Sunda yang cenderung egaliter melalui sistem pakuwon (per+kuwu-an).

Cara berpikir strukturalis memang menjadi kecenderungan pengkaji-pengkaji sejarah secara tekstual. Hal demikian memang cenderung pula mengabaikan fakta kehadiran di era peristiwa demikian berlangsung. Hingga sekarang model demikian pun berlaku pada penerapan sistem sosial budaya yang dikembangkan oleh kerasulan Muhammad Saw. Bagi kelompok Wahabi, Kanjeng Nabi Saw telah membuat sebuah sistem bernegara dengan sistem imperium untuk menandingi kekuasan imperial Persia dan Romawi pada masa itu (lihat saja ceramah Felix Siauw). Sementara kelompok Syiah memiliki anggapan lain: Nabi Muhammad Saw telah menciptakan sistem monarki yang mewariskan kekuasaan secara turun temurun. Padahal, upaya demikian merupakan penangkal terhadap sentimen anti Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan demikian, meletakkan porsi yang tepat dalam sebuah kajian sejarah perlu kehati-hatian agar tak terjebak pada ide kekinian ke dalam ide kehadiran manakala peristiwa tersebut sedang berlangsung pada masanya yang tentu berbeda dengan kekinian.

Related posts