Wislahcom | Referensi | : Patih Sostroningrat atau Raden Mas Sukarya adalah putera Susuhunan Pakubuwana II yang menggantikan Patih Mangkupraja sebagai patih di Kasunanan Surakarta. Dengan demikian ia adalah adik dari sang raja, yakni Pakubuwana III. Selama menjabat sebagai patih Surakarta, Sostroningrat disebutkan sebagai merupakan penghubung yang baik antara Pakubuwana III dengan kompeni.
Sostroningrat telah menjadi Patih Surakarta sejak 1770, menggantikan Mangkupraja yang tidak kompeten. Van den Burg menilai Sostroningrat sebagai seorang sederhana yang berharga, setia kepada kompeni seperti rajanya, agak terlalu lemah, penurut dan lamban untuk jabatan yang dimilikinya.
Menurut Vincent Houben dalam “Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870”, Sostroningrat bersama Danuredja (Patih Yogyakarta) dikenal sebagai orang yang memiliki peranan penting dalam mengesahkan Angger-Ageng (1771) yang mengatur stabilitas pembagian Yogyakarta dan Surakarta, sehingga menghilangkan peluang mediasi yang biasa dilakukan VOC. Angger Ageng menetapkan prosedur-prosedur legal untuk menyelesaikan masalah kejahatan atau perselisihan yang terjadi antara wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
Selain keberhasilannya menyusun Angger-Ageng, tidak diketahui jejak perjalanan sejarah Patih Sostroningrat, hingga ia kemudian dibuang ke Batavia. Pembuangan Sostroningrat ke Batavia, didasarkan karena hubungan kedekatannya dengan Abdul Kamil, seorang “ulama” yang memiliki kekuatan ghaib.
MC Ricklefs dalam monografnya yang berjudul “Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi 1749-1793” menuliskan bahwa pada 1871, salah seorang menantu kesayangan Sunan Pakubuwana wafat secara mendadak. Pakubuwana mempercayai bahwa kematian menantunya disebabkan kekuatan ghaib yang dilakukan oleh Abdul Kamil bersama dengan Sostroningrat. Abdul Kamil sendiri mengakui bahwa ia memiliki hubungan dengan Patih Sostroningrat, tapi hanya sekedar mengajarinya ilmu ghaib serta memberikannya jimat untuk kekayaan serta pelindungan dari bala bencana.
Susuhunan kemudian memutuskan bahwa Abdul Kamil dijatuhi hukuman mati dan Sostroningrat dipecat dari jabatannya sebagai patih, yang untuk itu memerlukan pesetujuan belanda. Pemerintahan Kolonial tidak melihat keberadaan bukti seperti yang dituduhkan Susuhunan. Sebaliknya, pihak kompeni meminta Susuhunan untuk mengirim Abdul Kamil ke Semarang untuk diperiksa dan bersabar dengan Sostroningrat. Abdul Kamil segera dikirim ke Batavia, tapi ia tidak diperiksa karena tidak ada kebutuhan pihak kompeni untuk menyingkirkannya. Gubernur colonial di Semarang, Siberg, mencurigai konspirasi kematian menantu sunan ini merupakan gagasan aneh yang dibisikkan kepada Susuhunan untuk menyingkirkan Sostroningrat. Dua orang yang dicurigai Siberg adalah kakak tiri sunan yaitu Pangeran Purbaya dan Mangkunegara.
Susuhunan yang ingin memecat patihnya tersebut, kemudian menambahkan alasan pemecatan Sostroningrat, yakni Sostroningrat menghalangi terlaksananya perintah-perintah raja, terlalu lemah, bertindak sembunyi-sembunyi yang dua kali membuat marah Mangkunegara, dan berhubungan dengan Abdul kamil dan tukang-tukang santet lainnya. Intinya, Susuhunan benar-benar bersikeras memecat Sostroningrat, hingga kehadiran Siberg pada 1781 untuk mendamaikan masalah tersebut juga tidak bisa mengubah pendiriannya.
Kompeni khawatir jika pemecatan dilakukan, hanya akan membuat elite jawa berfikir bahwa menjadi teman sejati kompeni tidak ada untungnya, karena kompeni tidak mampu melindungi mereka. Sekalipun jabatan tersebut adalah patih, sebuah jabatan yang berdasarkan perjanjian merupakan penunjukan bersama antara belanda dengan Susuhunan. Sikap Susuhunan yang keras akhirnya membuat kompeni luluh dan menyetujui pemecatan Sostroningrat. Akhirnya pada tahun 1782, Sostroningrat ia dibuang ke Batavia dan Susuhunan berkewajiban menyiapkan biaya untuk hidup Sostroningrat hingga wafatnya ditahun 1789.
Kisah wafatnya Sostroningrat juga dibumbui oleh spekulasi pembunuhan. Tradisi lisan menyebutkan bahwa Sostroningrat wafat karena diracun oleh kompeni, karena Sostroningrat dianggap bertanggungjawab atas pembatalan penyerahan Mataram oleh Pakubuwana II kepada Kompeni ditahun 1749 serta Angger-Ageng yang dianggap merugikan kepentingan VOC untuk masuk ikut mencampuri urusan keraton pewaris Mataram. Berita wafatnya Sostroningrat disembunyikan pihak kompeni. Khabarnya sebelum wafat, ia sempat berkirim surat kepada susuhunan di Surakarta, walaupun tidak diketahui bagaimana isi dari surat tersebut.
Jika anda ingin mengunjungi Sostroningrat, mampirlah ke Masjid Jami Jayakarta, Jl. Pangeran Jayakarta RW 07. Apabila kita berada di kawasan mangga dua, maka dapat mengambil jalan menuju ke arah stasiun kota. Setelah melewati bawah jembatan kereta, sekitar 150 meter belok ke arah kiri, sebelum flyover Asemka. Adapun letak Masjid Jayakarta sekitar 500 meter di sebelah kiri belokan tersebut.