Imam Syafi’i : Biografi dan Keteladanan

Imam Syafi’i : Biografi dan Keteladanan

Wislahcom | Referensi | : Mayoritas masyarakat muslim di Indonesia merupakan muslim yang bermaẓhab Syafi’i. Akan tetapi tidak jarang muslim yang tidak mengikuti Maẓhab Imam Syafi’i. Hal tersebut merupakan pilihan masing-masing dan kita harus bersikap saling menghargai atas perbedaan tersebut. Contohnya adalah qunut pada waktu shubuh yang berhukum sunnah untuk Maẓhab Imam Syafi’i. Bagi imam lainnya qunut tidaklah perlu dilakukan.

Dalam menanggapi perbedaan di atas, beberapa imam maẓhab telah memberikan contoh kepada kita. Seperti sikap menghargai dari Imam Malik meskipun muridnya Imam Syafi’i memiliki perbedaan pandangan terhadapnya. Adapun bab ini akan menjelaskam empat tokoh imam maẓhab yang terkenal yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Simak penjelasan singkat tentang : Biografi Imam Syafi’i dan Keteladanan Imam Syafi’i.


Biografi Imam Syafi’i

Abu ʿAbdullah Muhammad bin Idris al-Syafiʿi atau Muhammad bin Idris asySyafi`i atau Imam Syafi’i adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina, pada tahun yang sama wafat Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar Sunni Islam dan beliau wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H atau tahun 809 M pada usia 52 tahun.

Beliau dinamai ayahnya, Idris bin Abbas ketika mengetahui bahwa istrinya, Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung. Idris bin Abbas berkata, “Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan aku namakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib”.

Ayah Imam Syafi’i meninggal setelah dua tahun kelahirannya, lalu ibunya membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyang. Sejak kecil beliau cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai al-Ashma’i berkata, “Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris, ia adalah imam bahasa Arab”.

Perjalanan pendidikan di Makkah, beliau berguru kepada Muslim bin Khalid Az Zanji, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al Ayyad dan beberapa ulama lainnya pada bidang fikih.

Saat usia 20 tahun, beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas pada bidang fikih. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Beliau sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Hal itu terlihat ketika menjadi Imam, beliau pernah menyatakan, “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”


Selain kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada beberapa ulama besar lainnya di Madinah seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi.

Setelah belajar di Madinah, beliau melanjutkan perjalanan ke Yaman dan belajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Kemudian beliau melanjutkan belajarnya kepada Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih, Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi di negeri Irak.

Setelah itu beliau bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Darinya, beliau menimba ilmu fikihnya, ushul maẓhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis perkataan lamanya (Qaul Qadim) dan di Mesir pada tahun 200 H beliau menuliskan perkataan baru (Qaul Jadid).

Keteladanan Imam Syafi’i

  • Tidak sewenang-wenang meskipun kepada murid

Suatu hari Imam Syafi’i yang saat itu berada di Mesir memanggil seorang muridnya yang bernama Rabi’ bin Sulaiman. Imam Syafi’i berkata, “Wahai Rabi’, Ini Surahku. Pergilah dan sampaikan Surah ini kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal). Sesampai di sana kamu tunggu jawabannya dan sampaikan padaku”.

Setelah Rabi’ menyampaikannya kemudian Imam Ahmad mencopot salah satu baju gamis yang menempel di tubuhnya dan memberikannya kepada Rabi’. Rabi’ pun kembali ke Mesir dan segera menemui Imam Syafi’i dan memberikan Surah balasan dari Imam Ahmad.

Setelah itu Imam Syafi’i bertanya, “Apa yang diberikannya padamu?” Rabi’ menjawab, “Ia memberikan baju gamisnya.” Kemudian Imam Syafi’i berkata, “Aku bukan hendak menyusahkanmu dengan memintamu memberikan baju itu padaku. Namun basuhlah baju itu kemudian berikan air basuhannya padaku agar aku bisa bertabarruk dengannya.”

Imam Rabi’ menjelaskan bila Imam Syafi’i menyimpan air tersebut dan menggunakannya untuk cuci muka setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan guru dan murid ini tak menghalangi untuk bertabarruk sebagai bentuk pengakuan akan kesalehan dan keilmuan seseorang.

  • Mendamaikan perselisihan

Suatu ketika Ar-Rabi’ sebagai murid memberikan informasi kepada gurunya, Imam Syafi’i bahwa kondisi di Mesir saat itu terbagi menjadi dua kelompok yang kukuh pada pendapatnya yaitu kelompok penganut Maẓhab Maliki dan kelompok penganut Maẓhab Hanafi. Imam al-Syafi’i pun memiliki niat untuk mendamaikan dua kelompok tersebut.

Perselisihan kedua kelompok itu terjadi karena cara pandang dalam menggali hukum yang berbeda. Kelompok Maẓhab Maliki berpendapat bahwa jika suatu persoalan hukum tidak ditemukan dalam al-Quran maka selanjutnya adalah mencari pada hadis Rasulullah Saw baik mutawatir atau pun ahad. Sedangkan kelompok Maẓhab Hanafi berpendapat bahwa setelah al-Qur`an, hadis mutawatir saja yang dapat dijadikan landasan, bila tidak ditemukan maka selanjutnya dengan melakukan ijtihad dengan akal.

Related posts