Pengertian Ijma’ | Ijma’ Adalah Sumber Hukum Islam | Contoh Ijma’ | Rukun Ijma’ | Dasar-Dasar Ijma’ | Implementasi Ijma’ Pada Masa Kontemporer |
Mujtahid adalah orang-orang pilihan di antara kaum muslimin. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang cukup berat dapat dikatakan mujtahid. Keberadaan mereka bagaikan pelita yang menerangi kaum muslimin lainnya (orang awam) dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan hidup yang perlu ditetapkan status hukumnya. Pendapat mujtahid secara individu tentang hukum suatu persoalan disebut dengan fatwa yang boleh diikuti dan juga boleh tidak diikuti. Akan tetapi kesepakatan mereka tentang hukum suatu persoalan sangat penting artinya bagi kaum muslimin karena hal itu wajib diikuti dan merupakan dalil qaṭ’i. Itulah yang dalam ushul fikih disebut dengan ijma’.
Simak penjelasan tentang: Pengertian Ijma’, Rukun Ijma’, Dasar-Dasar Kehujjahan Ijma’, Kemungkinan Terjadi Ijma’ Masa Sekarang, dan Implementasi Ijma’ Pada Masa Kontemporer
Pengertian Ijma’
Secara etimologi kata ijma’ berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan. Ijma’ dalam pengertian etimologi juga menganduang arti kesepakatan atau konsensus.
Sedangkan menurut pengertian terminologi dalam ilmu ushul fikih, ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat atas hukum syara’ dalam suatu persoalan”.
Rukun Ijma’
Dari pengertian ijma’ di atas dapat kalian pahami bahwa tidak dapat dikatakan sebagai ijma’ kecuali terpenuhinya empat rukun sebagai berikut:
- Adanya sejumlah mujtahid pada saat terjadinya peristiwa yang menjadi objek ijma’. ijma’ sebagai sebuah kesepakatan tidak dapat digambarkan kecuali terdapat beberapa pendapat yang saling menyetujui antara satu pendapat dengan pendapat yang lain. Seandainya tidak ada mujtahid sama sekali atau hanya ada satu orang mujtahid, maka secara syara’ tidak dapat dilakukan ijma’. Karena itu tidak ada ijma’ pada jaman Rasulullah Saw karena beliaulah satu-satunya mujtahid.
- Adanya kesepakatan oleh semua mujtahid yang ada atas hukum syara’ dalam suatu peristiwa. Kesepakatan itu dilakukan oleh seluruh mujtahid tanpa melihat asal negara, jenis kelamin, atau kelompok mereka. Karenanya, ketika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh mujtahid dari daerah atau negara tertentu saja misalnya Indonesia, atau hanya disepakati oleh mujtahid Sunni saja tanpa melibatkan mujtahid Syi’ah, maka hal itu tidak dapat dikatakan sebagai ijma’.
- Hendaknya kesepakatan tersebut ditandai dengan penyampaian pendapat secara jelas oleh mujtahid baik dengan lisan ataupun perbuatan yang menunjukkan kalau dia sepakat.
- Hendaknya kesepakatan tersebut berasal dari semua mujtahid, bukan kesepakatan oleh mayoritas mujtahid walaupun yang berbeda hanya sedikit mujtahid. Hal ini penting karena selama ada pendapat yang berbeda walau hanya dari seorang mujtahid, maka masih mengandung kemungkinan benar di satu sisi dan salah di sisi yang lain. Karena itu, kesepakatan mayoritas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah syara’ yang qaṭ’i.
Dasar-Dasar Kehujjahan Ijma’
Adapun yang menjadi dasar kehujjahan ijma’ adalah sebagai berikut.
- Al-Qur’an Surah An-Nisa’ (4): 59.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. Al-Nisa’ (4): 59).
Lafaz al-amri yang terdapat pada ayat di atas bermakna keadaan atau urusan yang berbentuk lafaz ám atau bersifat umum meliputi urusan agama dan juga urusan dunia. Ulil amri dalam urusan dunia adalah para raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama adalah para mujtahid. Berdasarkan naṣṣ atau ayat al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa ketika ulil amri (para mujtahid) telah sepakat dalam masalah hukum suatu peristiwa tertentu, maka wajib diikuti dan dilaksanakan oleh kaum muslimin.
- Hadis
Ada beberapa hadis yang dapat menjadi dasar kehujjahan ijma’ sebagai sumber hukum Islam, yaitu:
- Hadis yang menyatakan bahwa umat Islam tidak akan melakukan kesepakatan akan kesalahan. “Dari Anas bin Malik RA berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan”. (HR. Ibn Majah).
- Hadis yang menegaskan bahwa Allah Swt tidak akan mengumpulkan umat Islam atas kesesatan. “Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan.”
- Hadis yang menegaskan bahwa pandangan kaum muslimin atas suatu kebaikan itu juga dianggap baik di sisi Allah.
Dari ketiga hadis tersebut dapat dipahami bahwa kaum muslimin tidak mungkin bersepakat atas kesesatan atau kesalahan. Karena itu ketika para mujtahid telah melakukan ijma’ dalam menentukan hukum syara’ dari suatu permasalahan hukum, maka keputusan ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin bersepakat atas suatu kesesatan. Bahkan Rasulullah Saw menjamin bahwa apa yang telah disepakati sebagai suatu kebaikan, hal itu juga dianggap baik di sisi Allah.
- Logika
Ijma’ yang dilakukan oleh para mujtahid atas hukum syara’ dapat dipastikan bahwa hal itu didasarkan kepada ketentuan-ketentuan syara’. Karena setiap mujtahid dalam berijtihad memiliki batasan-batasan yang tidak mungkin dilanggarnya. Ketika seorang mujtahid berijtihad dan dalam ijtihadnya itu ia menggunakan naṣṣ, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari naṣṣ itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satupun naṣṣ yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan naṣṣ, seperti qiyas, istihsan, istishab dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan kesepakatan atas satu hukum dalam suatu peristiwa, maka hal itu menunjukkan adanya penggunaan dasar-dasar syara’ yang qaṭ’i. Para mujtahid dalam melakukan kesepakatan (ijma’) tidak mungkin bersandar kepada dalil ẓanni. Karena dalil ẓanni tersebut merupakan tempat munculnya perbedaan pemikiran atau akal.
Kemungkinan Terjadi Ijma Masa Sekarang
Jumhur ulama menyatakan tidak sulit melakukan ijma’, bahkan dengan tegas mengatakan kalau ijma’ telah ada, mereka memberikan contoh hukum-hukum yang telah disepakati seperti tentang pembagian waris nenek sebesar seperenam dari harta warisan, kesepakatan melakukan upaya jam’u al-Qur’an (pengumpulan al-Qur’an) pada masa khalifah Abu Bakar dan tadwin al-Qur’an (pembukuan al-Qur’an) pada masa khalifah Utsman.
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena masih dimungkinkan adanya mujtahid yang tidak setuju. Karena itu, menurutnya sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’. Demikian juga Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah menyatakan bahwa mereka menerima ijma’ yang dilakukan hanya pada masa para sahabat.
Sejalan dengan pandangan ulama klasik, menurut ulama ushul fikih modern, seperti Imam Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Khudori Bek, Abdul Wahhab Khallaf, Fathi al-Duraini, dan Wahbah az-Zuhaili, ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah pada masa sahabat. Kemungkinan terjadinya ijma’ tersebut karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, tidak mungkin terjadi ijma’, seiring dengan luasnya wilayah atau daerah Islam dan karena itu tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat yang sama. Belum lagi kesulitan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai mujtahid atau bukan, apalagi untuk mengetahui setuju atau tidak setujunya mereka atas hukum suatu peristiwa tertentu.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ijma’ dengan pengertian dan rukun-rukunnya sebagaimana di atas, tidak mungkin terjadi kalau diserahkan langsung kepada umat Islam tanpa campur tangan pemerintah. Sebaliknya, ijma’ dimungkinkan terjadi apabila masalah ijma’ ini diserahkan kepada pemerintah. Hal itu karena pemerintah sebagai ulil amri dapat mengetahui orang-orang yang menjadi mujtahid. Pemerintah dapat mengetahui dan menentukan mujtahid suatu bangsa dan disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia Islam.
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy ijma’ diartikan sama dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas perintah atau undangan kepala Negara.
Implementasi Ijma’ Pada Masa Kontemporer
Kalau kalian memperhatikan substansi dari pengertian ijma’ tersebut, dan didukung oleh pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Hasbi ash-Shidieqy, ada kemungkinan bahwa keputusan MPR RI, DPR RI dan keputusan Kepala Daerah dapat dianggap sebagai ijma’, setidaknya dianggap sebagai ijma’ lokal.
Dengan berkembangnya teknologi informasi yang semakin canggih, untuk menghimpun pendapat para ulama atau mujtahid lokal maupun pendapat mujtahid seluruh dunia, dapat dilakukan melalui teknologi informasi berbasis internet seperti facebook, WA atau aplikasi lainnya. Penggunaan internet sebagai media untuk mempertemukan semua mujtahid di dunia maya tentu masih ada kelemahan. Misalnya tidak semua mujtahid familier dan terbiasa dengan teknologi berbasis internet, masih dimungkinkannya terjadinya orang yang belum tingkatan mujtahid memberikan tanggapan yang tidak diharapkan, dan kelemahan lainnya.
Walaupun terdapat kelemahan, setidaknya media internet dapat dicoba untuk mendekatkan dan mengumpulkan para mujtahid di dunia maya. Berkumpulnya mereka di dunia maya lebih mudah dan lebih murah daripada bertemu dan berkumpul secara fisik. Tentu campur tangan pemerintah terkait hal ini sangat dibutuhkan untuk meminimalisir berbagai kendala atau kelemahan yang muncul. Keberadaan para mujtahid dan kesepakatan mereka semua senantiasa ditunggu umat dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang muncul.
Sumber: Buku Ushul Fiqih Kelas X MAPK