Oleh: Triwibowo Budi Santoso (eMbah Nyutz), Penulis dan Editor, Tinggal di Yogyakarta
BUDAK CINTA milenial kadang agak ajaib kelakuannya. Pada suatu waktu di masa lalu, Ia datang suatu malam, meminta opini tentang seseorang yang, rupanya, telah membuat hatinya kasmaran. “Ia agak misterius, tetapi kurasa ia dewasa. Kadang menulis sajak juga dan itupun bagus,” katanya. Lalu ia menceritakan bagaimana setiap dia berkomentar di tulisan pujaan hatinya yang dia unggah di media sosial, dirinya selalu mendapat respon manis, ramah dan menyenangkan.
Lalu hubungan berlanjut dengan percakapan-percakapan onlen yang manis dan penuh perhatian dan bahkan bertukar puisi-puisi cinta via jalur pribadi: inbox atau direct message. Curhat-curhat mengalir sebab pujaan hatinya memberi tanggapan yang menurutnya “dewasa banget” dan “keren.” Itu telah berlangsung selama sekira dua atau tiga bulan. Dia merasa tak salah meletakkan harapan cintanya, dan dia pun merasa pujaan hatinya itu juga mulai mencintainya. Kini dia ragu, apakah cinta via online ini mungkin terjadi dan bisa lanjut dengan aman?
“Tak ada yang mustahil jika Tuhan menghendaki,” kataku supaya kelihatan bijak. Lalu kutanyakan kepadanya, pernahkah bertemu di luar jaringan? Dia menggeleng. Aku mulai merasa agak khawatir, lalu dengan hati-hati aku bertanya, “Kalau boleh tahu, siapa namanya?” Dia menyebut nama, si A.
Aku terdiam. Dan, kau tahu, hal paling sulit dalam situasi ini adalah ketika engkau harus mengingatkannya untuk hati-hati tetapi tidak boleh memutus harapan, karena tentu apa yang kuketahui tak pernah bisa lengkap. Aku hanya menyarankan, “temuilah dulu di luar jaringan.”
Kita tahu bahwa teks, foto, emoticon, hanya representasi dari sesuatu, dan dalam jejaring sosial, representasi semacam itu terkadang hanya menjadi topeng untuk menutupi sesuatu yang lain. Yang berbahaya adalah jika yang ditutupi itu berkaitan dengan hawa-nafsu yang selama ini ditekan di dunia nyata karena ada rasa malu, atau karena batasan-batasan yang sulit mereka langgar. Tetapi di dunia cyber, batasan itu bisa diterabas, karena ada fasilitas yang memungkinkan untuk itu, seperti chat di jalur privat dengan orang di kota yang jauh yang tak mengenal identitas kita melalui tatap-muka langsung.
Setiap orang punya banyak sisi. Sebagian dari sisi diri kita tak mudah diwujudkan dalam dunia nyata. Internet, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberi kita cara untuk mewujudkan banyak hasrat yang selama ini hanya berupa potensi. Bayangkan seperti ini. Engkau adalah pendiam. Tetapi tak pernah ada orang yang benar-benar pendiam secara absolut. Mungkin kau ingin bicara, tetapi ada rasa malu atau kurang percaya diri ketika harus berkumpul dan dilihat banyak orang. Dan tiba-tiba ada facebook, twitter. Dan kau pun punya saluran untuk mengoceh apa saja tanpa perlu merasa malu — yang kau butuhkan adalah pribadi-cyber yang benar-benar berbeda dari pribadimu di dunia nyata.
Kepada kawan muda itu kukatakan bahwa meski cinta itu baik, tetapi jangan lupa rasionalitasnya dijaga. Setidaknya jangan lekas percaya pada apa-apa yang terpampang di media sosial. Tetapi, seperti kata pepatah, “salah satu pekerjaan paling sia-sia di muka bumi adalah menasihati orang yang sedang jatuh cinta.” Dia tetap yakin mereka sebenarnya sudah saling cinta. Dia ingin kelak ketika ketemu, sudah tinggal mengikrarkan relasi, entah dalam pertunangan atau lamaran.
Dalam soal yang menyangkut keyakinan semacam ini, kadang cara yang agak dramatis bisa digunakan. Aku lalu ingat suatu pernyataan, yang kusampaikan kepadanya:
“Ya ga apa-apa kalau maumu begitu. Hidup itu pilihan. Yang penting siap risikonya. Tetapi mungkin coba dipikir begini, idolamu punya penggemar, dan boleh jadi dia banyak opsi lain untuk mengusir rasa bosannya. Never assume that someone likes you by their sweetness. Sometimes, you are just an option when they are bored.”
Dia tampak kaget. Tetapi hanya sejenak, dan mengeluarkan berbagai macam jusifikasi atas keyakinannya bahwa mereka sudah saling cinta, dan bahwa orang harus tetap menjaga harapan. Katanya, “Hidup itu harus punya harapan, dan positive thinking.”
Aku hanya tersenyum, ya sudahlah. Kadang orang curhat itu bukan minta opini, namun ingin apa yang diyakininya disetujui, bukan?
Lalu entah beberapa bulan kemudian, dia datang dan curhat lagi. Mengisahkan ternyata pujaan hatinya begini dan begitu, dan dia merasa dikhianati. Aku tak membantah pemikirannya, meski aku merasa bahwa dia ditipu oleh ekspektasinya sendiri yang muncul dari nafsu dan egonya yang menyusup dalam rasa cinta yang terbit di hatinya.
Dalam hidup, “nafs”, demi memuaskan hasratnya, sering mengelabui hati banyak orang dengan cara menyelubungi keinginannya dengan kata ‘cinta’ demi menyenangkan diri nafsu itu sendiri – lalu ketika nafs jemu dan ingin yang baru (karena salah satu ciri nafsu adalah tak kenal puas), ditanggalkanlah selubung ‘cinta’ semu itu, dikeluarkanlah berbagai macam dalih pembenaran untuk saling menjauh dan bahkan untuk saling tak bertegur sapa
-— dan keduanya pun tak lagi saling bertukar puisi. Tombol blokir telah diketuk.