Diskusi Internasional tentang “Kabar Dunia Islam Hari Ini”

Mukti Ali Qusyairi

WislahNews: Kamis, 10 Juni 2021, Diskusi Internasional tentang “Kabar Dunia Islam Hari Ini” digelar secara daring. Pembicaranya Dr. Moerdechai Kedar, Timur Tengah, bersama kalangan kiyai muda Indonesia, yaitu KH. Mukti Ali Qusyairi, KH. Asnawi Ridwan, KH. Zainal Maarif, Kiyai Saepullah, dan Kiyai Achmat Hilmi. Dimoderatori oleh Leo Yowono, dan penerjemah Abigail Wiriatmadja. Acara dibuka oleh Elisheva Stross selaku penitia diskusi.

Dalam sambutannya Elisheva Stross mengenalkan para pembicara, terutama pembicara internasional, yaitu Dr. Mordechai Kedar. Elisheva menyatakan bahwa Dr. Mordechai Kedar bekerja selama 25 tahun sebagai intelijen militer Israel Defence Force (IDF), yang tugasnya spesialis masyarakat Islam dan dunia Arab. Setelah pensiun, Dr. Kedar menjadi dosen studi dunia Arab di Bar-Ilan University, Ramat Gan-Tel Aviv. Selain mengajar, Dr. Kedar menjadi pengamat politik yang banyak diwawancarai media dengan berbagai bahasa, yaitu Inggris, Ibrani dan Arab, tentang kondisi politik Timur Tengah, khususnya oleh Al-Jazeera.

Dr. Kedar menyatakan bahwa ia adalah seorang Yahudi-Israel yang menghabiskan lebih dari 50 tahun belajar Islam dan dunia Arab Timur Tengah. Menurutnya, sayangnya ia tidak banyak belajar tentang Indonesia. Sehingga Dr. Kedar lebih banyak menjelaskan keadaan umat Islam di Timur Tengah pada hari ini.


Menurut pengamatan langsung, Dr. Kedar melihat bahwa dunia Islam Timur Tengah saat ini mengalami banyak konflik dan perang. Perang ini ada dua motif. Pertama, motif agama dan sektarianisme. Hal ini bisa dilihat di banyak tempat, di Turki, Iran, Saudi Arabia, Yemen, Irak, Suriyah, Libiya, Sudan, Afghanistan, dan Sinai-Mesir.

“Di Sudan ada pertumpahan darah. Di bagian selatan Thailand ada masalah antara pemerintah pusat dengan provinsi yang dihuni umat muslim. Di dalam Iran pun antara rejim Iran dan Arab. Serta bisa dilihat di antara Muslim di Maroko dan di Sahara. Belum lagi Daesh/ISIS yang ada di Irak dan Syria. Dan kita bisa lihat juga teror di Sinai Mesir, yang sejauh ini telah membunuh ratusan orang Mesir. Kita bisa lihat yang terjadi antara Yemen dan Arab Saudi. Kita tidak dapat mengacuhkan bahwa dalam 50 tahun terakhir di sebagian besar pertikaian melibatkan Muslim. Tentu banyak yang bilang bahwa Islam ini damai, dan nama Islam dikaitkan dengan Salam (damai). Tapi kita tidak dapat mengacuhkan bahwa kekerasan di dunia ini seringkali antara Muslim dan Muslim atau antara Muslim dengan orang lain, seperti orang Yahudi atau Kristen”, tutur Dr. Kedar.

Para Narasumber dalam DIskusi

Kasus Timur Tengah, menurutnya, lebih banyak peperangan dan konflik antar muslim sendiri. Ketegangan dan saling mengancam antara Iran dan Saudi Arabia, perang Saudi Arabiah dan Yemen, perang Afghanistan, Sudan, Suriyah, Irak, Lebanon, Libiya, Mesir adalah konflik, terror dan peperangan antar umat muslim sendiri. Sampai hari ini, terjadi pertikaian antara Muslim dengan Muslim lain yang disebabkan perbedaan madzhab, seperti Syiah dan Sunni, dan yang lainnya.

Menurut Dr. Kedar, peperangan Timur Tengah yang menjadi korban 95% dari kalangan muslim dari kekerasan yang dilakukan muslim yang lain. Sisanya perang atau konflik muslim dengan Yahudi atau Kristen.

Kedua, motif etnis kesukuan atau kekabilahan. Contohnya Arab dan Kurdi di Irak, Turki dan Kurdi di Turki, Pashtun dan lainnya di Afghanistan, Arab dan Afrika di Sudan, terutama Darfur. Dan ini adalah permasalahan etnis, bukan keagamaan maupun sektarian. Ini adalah permasalahan antar budaya. Akan tetapi, meski berbeda suku, mereka adalah sama-masa muslim. Sehingga, ini pun peperangan antar umat muslim sendiri.

Hanya sedikit peperangan muslim dan non-muslim, dengan Israel. “Lihat yang terjadi di Gaza, lebih dari 2 juta orang dimanfaatkan oleh organisasi jihad bernama Hamas sebagai perisai manusia, untuk menyerang Israel. Apa yang mereka pikirkan? Mereka pikir Israel akan pergi dari tempat mereka? Saya pernah katakan pada media, ‘kami tidak mau perang. Kasihanilah anak-anak kalian sendiri’. Permasalahannya adalah Hamas termotivasi gagasan jihad untuk menghancurkan Israel sama sekali. Siapa yang bayar harganya? Masyarakat Gaza. Mereka yang menderita. Mereka yang menderita akibat pemikiran jihad ini”, tutur Dr. Kedar.


Peperangan demi peperangan terjadi itu dilandasi pandangan jihad yang diidentikan dengan peperangan, yang menurut Dr. Kedar perlu direvisi. Karena hal ini menempatkan dunia Islam dalam sebuah masalah melawan sisa dunia ini. Ini yang akhirnya menimbulkan Islamophobia (ketakutan terhadap Islam).

Selain itu, menurut Dr. Kedar, ada konsep ahlu al-dimmah, yaitu non-muslim di bawah kekuasaan pemerintah muslim, yang berpotensi intoleran dan menomorduakan non-muslim, mengkafirkan bukan hanya kepada non-muslim akan tetapi juga kepada muslim yang berbeda madzhab/akidah, dan terdapat hadits yang menyatakan bahwa ‘perang adalah tipudaya’ yang digunakan oleh para politisi muslim Timur Tengah dalam berbagai hal, di antaranya menghalalkan manipulasi sejarah, peta dan berita tentang Israel dan Palestina.

“Saya percaya sebagian besar orang Muslim tidak berpikir seperti itu. Dan itulah kenapa Indonesia adalah negara yang baik. Islam membutuhkan ulama pemikir, yang akan membentuk ulang dan mereformasi gagasan mendasar yang membawa begitu banyak penderitaan, pertumpahan darah, perang, dan begitu banyak orang yang mati dan terluka akibat jihad. Dan menurut pendapat saya, ini adalah masalah di mana ulama adalah lebih baik daripada politisi. Karena Ulama lebih memahami masalah, dan tahu cara menangani maslaah agama. Politisi tidak bisa melakukannya. Ini adalah tanggungjawab ulama untuk membuat Islam menjadi baik bagi diri sendiri maupun orang lain”, tutur Dr. Kedar.

Pembicara kedua KH. Mukti Ali Qusyairi menyatakan bahwa, umat muslim di Indonesia saat ini sedang terus berupaya membendung gerakan jihadis destruktif Timur Tengah tersebut agar tidak menjalar ke Indonesia. Umat muslim di Indonesia gencar melakukan counter narasi kepada nasari-narasi ekstrimisme yang menghalalkan kekerasan atasnama agama. Di antaranya dengan menerbitkan buku Moderasi Paham Keagamaan, Tim LBM PWNU DKI Jakarta, yang berisi nilai-nilai toleransi, demokrasi, nasionalisme, persaudaraan, dan counter narsi radikalisme berbasis pandangan keagamaan. Sedangkan yang mengarah pada terorisme dan aksi kekerasan ditangani oleh aparat keamanan pemerintah yang berwenang.

“Para ulama NU (Nahdlatul Ulama) memutuskan bahwa umat muslim tidak boleh memanggil non-muslim dengan sebutan “kafir” dalam pergaulan social, berbangsa dan bernegara. Tipologi kafir dhimmiy, harbiy, dan mu’ahad adalah tipologi politik yang tidak relevan dan tidak tepat diberlakukan kembali. Semua komponen anak bangsa dari berbagai suku dan agama berkontribusi dalam mempertahankan dan mendirikan Indonesia. Sehingga para ulama NU dalam konteks berbangsa dan bernegara baik muslim dan non-muslim adalah muwathhin (warganegara) yang sama dan setara”, tutur Kiyai Mukti.

Lanjut Kiyai Mukti, bahwa Al-Quran menyebut kaum Yahudi dan Nasrani dengan kata Ahli Kitab, yang artinya komunitas umat beragama yang memiliki kitab suci yang diturunkan dari Allah SWT. Selain itu, Nabi Muhammad SAW memberikan contoh hidup rukun dengan non-Muslim. Kiyai Mukti memberi dua contoh, yaitu di akhir hayat Nabi Muhammad SAW menggadekan baju besinya ke orang Yahudi dan Nabi Muhammad SAW melakukan perjanjian hidup damai dan rukun bersama komunitas Yahudi di Madinah dan bersama-sama membangun satu negara bangsa yang tertulis dalam al-Mitsaq al-Madinah (Perjanjian Madinah). Inilah yang mengafirmasi umat muslim Indonesia kepada ideologi bangsanya yaitu Pancasila dan memperkuat prinsip Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tapi Tetap Satu).

 KH. Zainul Maarif sebagai pembicara ketiga mempertegas bahwa selain pebedaan suhu dan georgrafis, di mana Timur Tengah memiliki suhu udara yang ekstrim sedangkan Indonesia memiliki suhu udara yang tidak ekstrim alias moderat tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin sehingga sedikit banyak mempengaruhi kecenderungan dalam beragama. Juga NU sebagai mayoritas memilih madzhab yang moderat, yaitu; al-Asy’ari moderat dalam berakidah, al-Syafi’iyah moderat dalam befikih, dan al-Ghazali moderat dalam bertasawuf.[]

Related posts