Biografi Singkat Syaikh Yusuf Al-Makasari : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Syaikh Yusuf Al-Makasari : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Syaikh Yusuf Al-Makasari | Profil Syaikh Yusuf Al-Makasari | Pendidikan Syaikh Yusuf Al-Makasari | Karya Syaikh Yusuf Al-Makasari | Pemikiran Syaikh Yusuf Al-Makasari | Wislahcom | Referensi |

Profil Syaikh Yusuf  Al-Makasari

Syaikh Yusuf Al-Makasari adalah seorang ulama, mufti, pendiri tarekat, pejuang, dan penulis yang berasal dari Makassar. Ia lahir di Moncong Loe, Goa, Sulawesi Selatan tahun 1626 M, dua puluh tahun sebelum Islam diterima sebagai agama resmi di Kerajaan Goa. Nama aslinya Muhammad Yusuf. Ia dibesarkan di istana karena ia diangkat oleh raja sebagai anak angkat.

Al-Makasari belajar di berbagai tempat, seperti di Banten, Aceh, Yaman, dan Arab Saudi. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam yang meiliki peranan yang cukup besar dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan yang dirintis sebelumnya oleh tiga mubaligh dari Minangkabau, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang bergelar Datuk Ri Bandang, Sulaiman Khatib Sulung yang bergelar Datuk Ri Patimang, dan Abdul Jawad Khatib Bungsu yang bergelar Datuk Ri Tiro. Di samping itu, ia juga berjasa dalam menyebarluaskan Islam di Banten, Srilanka, dan Afrika Selatan.


Al-Makasari adalah pejuang yang gigih. Sewaktu di Makassar, ia bersama Sultan Hasanuddin ikut berperang melawan Belanda. Setelah ditangkap oleh Belanda, ia diasingkan ke Banten. Di sana ia berdakwah bersama Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Dua ulama yang memiliki keramahan tinggi ini sering bertemu. Al-Makasari juga berjuang bersama Sultan Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. AlMakasari dikenal dengan karya tulisannya tentang berbagai aspek agama yang jumlahnya kurang lebih sekitar 22 judul dan menyebar di kalangan masyarakat. Karya-karyanya dicetak dalam bahasa Arab dan Melayu.

Pendidikan Syaikh Yusuf  Al-Makasari

Syaikh Yusuf merupakan seorang ulama, sufi, intelektual dan seorang pejuang yang patut untuk dicontoh dan dijadikan sebagai teladan bagi kita semua. Ia dengan ilmunya yang sangat tinggi tetap tidak membuatnya sombong. Ia tetap memiliki sifat tawudlu’. Syaikh Yusuf tidak pernah lelah dalam perjalanannya untuk mencari ilmu, meskipun Syaikh Yusuf telah diasingkan ke negara lain, namun tidak mematahkan semangat Syaikh Yusuf dalam mengembangkan Islam.

Syaikh Yusuf sejak kecil sudah hidup dilingkungan agamis. Dengan demikian, ia pun mulai belajar tentang Islam. Syaikh Yusuf dalam perjalanan mencari ilmu tidak hanya di satu tempat. Akan tetapi, ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Adapun perjalanan Syaikh Yusuf dalam mencari ilmu sebagai berikut :

  • Sulawesi Selatan

Pendidikan awal yang dilakukan Syaikh Yusuf adalah ditempat kelahirannya di Sulawesi Selatan. Dengan belajar Al-Quran kepada guru (Daeng ri Tasammang). Kedua, ia belajar tentang fiqih, tauhid, tasawuf kepada Sayyid be Alwi bin Abdullah al-Allamah al-Thahir. Ketiga Syaikh Yusuf belum puas dengan ilmu yang didapaatnya ia melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke tempat lain yaitu Cikoang Takalar, Makassar kepada Jalal al-Din al-Aydid.

  • Banten

Selanjutnya ia melanjutkan perjalanan lagi untuk mencari ilmu ke Banten. Di sana, selain belajar agama ia juga menjalin persahabatan dengan sulan Ageng Tirtayasa/pangeran Surya/’Abd Al-Fatah. Pada saat Syaikh Yusuf ke Banten, waktu waktu itu Banten dipimpin oleh ‘Abu Al-Mafakhir ‘Abd Al-Qadir (ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa). Banten dikala itu, merupakan pusat Islam yang sangat penting di Jawa. Pada masanya, Banten mencapai puncak kejayaan. Selain itu, pelabuhan Banten menjadi pusat perdagangan internasional.

  • Aceh

Masih saja belum puas dengan ilmu yang dimiliki Syaikh Yusuf lalu mencari ilmu ke Aceh dan berguru kepada Syaikh Nur al-Din al-Raniri. Namun, tidak tidak ada kejelasan bahwa Syaikh Yusuf bertemu dengan al-Raniri karena al-Raniri telah pulang kampung ke Randir, Gujarat India. Pada tahun 1644. Sumber-sumber menyebutkan bahwasanya Syaikh Yusuf memang belajar ke al-Raniri meskipun Syaikh Yusuf tidak bertemu di Aceh, akan tetapi kemungkinan Syaikh Yusuf menemui al-Raniri di Randir.

  • Timur Tengah

Perjalanan mencari ilmu selanjutnya Syaikh Yusuf adalah ke Timur Tengah yaitu: 1) Yaman kepada Muhammad bin Abd al-Baqi al-Mizjaji al Naqsabandi (mendapatkan ijazah tarekat Naqsabandiyah). 2) Zabin (mendapat ijazah tarekat Ba’lawiyah). 3) Haramayn, Mekah Madinah (mendapat ijazah tarekat Syattariyah). 4) Damaskus kepada Syaikh Abu al-Barakat Ayyub ibn Ahmad al-Khalwati al-Quraisyi (mendapat ijazah tarekat Khalwatiyah). “Khalwatiyah” jamaknya “Khalawat” artinya tempat yang sunyi, tersembunyi.

Karya Syaikh Yusuf  Al-Makasari

Tudjimah menyebutkan ada 21 karangan Syekh Yusuf di antaranya Al Barakat al-Saylaniyyah, Bidayat al-Mubtadi, Sura, Kaifiyat al-Munghi, Hashiya 12 dalam Kitab al-Anbah dan lain-lain.

Adapun dalam buku Nabilah Lubus, berjudul Syekh Yusuf Yusuf al-Magassari Menyingkap Intisari Segala Rahasia beberapa karangan Syekh Yusuf al-Maqassari diantaranya sebagai berikut :

  • Al-Barakat al-Saylaniyyah

Dalam karya ini menjelaskan tentang macam-macam zikir Lā Ilāha Illä Allah (zikir lidah atau zikir orang awam), Allah-Allah (zikir hati atau zikir al-Khawas), zikir Hu-Hu (zikir rahasia atau zikir akhas al-Khawas).

  • Bidayat al-Mubtadi (awal perjalanan seorang sufi)

Dalam karya ini menjelaskan tentang puji-pujian Nabi Muhammad SAW dan sifat-sifat Tuhan. Selain itu, juga menerangkan sifat-sifat wali seperti mulia, halus, tawakal, rela kepada gada dan qadar, sabar terhadap bencana dan lain-lain.

  • Fath Kaifiyyat al-dzikir (cara berzikir)

Dalam karya ini menjelaskan adab zikir ada dua puluh yaitu lima macam adab sebelum mulai zikir, dua belas macam ketika berzikir dan tiga macam setelah zikir.

  • Al-Fawaih al-Yussufiyyah fi Bayan Tahqiq al-Sufiyyah (kata-kata Syekh Yusuf tentang Hakikat Tasawuf)

Dalam karya ini menjelaskan tentang hakikat tasawuf.

  • Qurrat al-‘Ain

Dalam karya ini menjelaskan wali-wali dan orang-orang yang terkenal dalam makrifat kepada Allah, pentingnya mengamalkan syariat bagi orang arif, menjelaskan tafsir surah al-ikhlas sebagai dasar tauhid, menjelaskan kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan semua Nabi-nabi

  • Sir al-Asrar (Rahasia dari segala rahasia)

Dalam karya ini menjelaskan hal-hal yang harus diketahui oleh para sufi. Salah satunya, seorang sufi harus mengetahui bahwa Allah itu bersamanya di manapun ia berada.

  • Taj Al-Asrar Fi Tahqiq Masyärib Al-‘Arifin (Mahkota Rahasia-Rahasia Dalam Hakikat yang Dicari orang ‘arif)

Dalam karya ini menjelaskan tentang al-ihatah (peliputan) dan al ma’iyyah (kebersamaan). Kebersamaan Allah dengan hambanyasebagaimana kebersamaan ruh dengan jasad seperti pekerjaan dengan yang mengerjakan.

  • Tuhfat al-Abrar Li Ahl al-Asrr (Hadiah orang-orang yang berbakti kepada Ahli Rahasia-rahasia)

Dalam karya ini menjelaskan tentang zikir dan akhlak yang terpuji. Para sufi mengatakan bahwa tasawuf adalah akhlak yang mulia Tasawuf berawal dari menuju kepada Allah dan akhirnya berakhlak dengan akhlak Allah. Juga menjelaskan tiga macam kiblat yaitu kiblat amal (kiblat awam), kiblat ilmu (kiblat al-Khawas/orang khusus), kiblat al-sirr (kiblat akhas al-Khawas/yang paling khusus atau ahli makrifat)

  • Matalib al-Slikin (Yang dicari Oleh Salik)

Dalam kitab ini menjelaskan ada tiga hal yang harus diketahui yaitu tauhid, makrifat dan ibadah Tiga hal tersebut merupakan pokok pelajaran dari syekh dan guru al-Sayyid al-Syarif Abd al-Karim al Naqsabandi. Tauhid itu diibaratkan seperti pohon, makrifat seperti daun dan ranting sedangkan ibadah diibaratkan seperti buah. Dalam kitab ini juga menjelaskan tentang kata “Allah” terdiri dari tiga huruf yaitu alif. lam, ha. Alif menunjukkan Ahadiyah. Lam menunjukkan Kamaliyah. Hu menunjukkan Hiwiyya.

  • Safinat al-Najar (Bahtera Keselamatan)

Dalam kitab ini menjelaskan ada sekitar tujuh belas tarekat sufi yang ijazahnya diambil dari guru-guru yang terkenal. Yaitu tarekat Khalwatiyah, Naqsabandiyah, Syatariyah, Dasukiyah, Syaziliah, Jistiyah, Rifa’iyah, Aidrusiyah, Ahmadyaniyah, Suhrawardiyah, Kabrutiyah, Ba’lawiyah, Maduriyah, Mahmudiyah, Madyaniyah, Kawabiyah dan Qadiriyah. Dalam kitab ini juga menyebutkan silsilah-silsilah guru-guru tarekat tersebut yang dimulai dari Nabi Muhammad SAW.

  • Al-Wasiyyat al-Munjiyat ‘an Madarat al-Hijab (wasiat rahasia dari kemelaratan yang tersembunyi.

Dalam kitab ini menjelaskan wasiat untuk para murid di atas jalan kesufian. Yaitu pentingnya zikir, salawat, serta doa Selain itu, juga menjelaskan syarat untuk menjadi wali dan sifat-sifat tentang Allah.

  • An-Nafahtu as-Sailaniyyah Dalam kitab ini juga menjelaskan tentang magam yang terbagi tiga macam yaitu maqam ahli bidayah, maqam ahli tawasuth dan magam nihayah.

Pemikiran Syaikh Yusuf  Al-Makasari

Pemikiran Syaikh Yusuf dalam etika religius :

Syariat

Syariat adalah jalan terang dan jalan baik yang diikuti oleh setiap orang. Syaikh Yusuf memberikan makna filosofis dalam karyanya, al-Nafhat al-Sailaniyya, bahwa syariat adalah kata-kata atau pemahaman Islam (teaching of Islam).

Makna yang mendasar syariat adalah etika dan moralitas yang bisa ditemukan pada semua agama. Syariat menyediakan tuntunan untuk hidup dengan sebaik-baiknya di dunia ini.

Tanpa mengikuti syariat, ibarat membangun rumah tanpa fondasi. Karena kehidupan dibangun oleh prinsip-prinsip moral dan etika, maka mistisme tidak dapat berkembang Syariat adalah tahapan dimana gagasan tentang Tuhan berkesan pada manusia sebagai wibawa yang merajuk pada rasa tunduk kepada Tuhan.

Ini adalah laku kesadaran, bukan wujud ketakutan sebagaimana yang sering diperkirakan orang. Misalnya seseorang berdoa, menyembah, dan memikirkan Tuhan, serta memilih untuk membangun hubungannya dengan-Nya, sehingga di saat tidak berdaya maka ia akan kembali kepada Tuhan. Dalam hal syariat Syaikh Yusuf mencontohkan tentang dzikir, dzikir yang menjadi bagian dari tarekat, berfungsi untuk menjaga hubungan antara manusia dengan Tuhan serta menegakan tujuan dalam diri.

Dzikir dalam diri merupakan sarana berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam konteks ini jiwa esensial akan terhubung dengan pengulangan dzikir dan pengakuan atas kualitas-kualitas dzikir. Artinya jiwa yang esensial akan dapat merasakan pengaruh dalam hubungan yang dilakukan seseorang dengan dzikir yang ikhlas dan benar.

Berkenaan dengan dzikir yang berdasarkan syariat, yaitu menjaga tauhid dari unsur-unsur syirik, Syaikh Yusuf menjelaskan tiga macam dzikir dalam karyanya, al-Barakat al-Saylaniyyah, sebagai berikut :

a) Dzikir al nafy wa al-itshbat, yang berupa La ilaaha illa Allah

b) Dzikir mujarrad wal jalalah, yang berupa Allah Allah

c) Dzikir al Isyhara wal Anfas, yang berupa Hu, Hu.

Syaikh Yusuf juga membagi tingkatan dan tahapan orang-orang yang melakukan dzikir kedalam tiga bagian : tingkat dasar, tingkat menengah, dan tingkat tinggi. Selanjutnya orang yang berdzikir dengan kalimat La ilaaha illa Allah ada empat macam: pertama, mengucapkan dengan lisan dan hati, tetapi tidak percaya, maka disebut munafik. Kedua, mengucapkan dengan lisan dan hati, disebut mukmin yang umum. Ketiga, mengucapkan dengan hati saja, disebut orang khusus. Keempat, mengucapkan dengan kesunguhan hati dan ia fana dari segala sesuatu selain Allah dan hanya melihat Allah, disebut khas al-khas.

Dzikir dengan membaca al-Asma alHusna diyakini berfungsi sebagai obat bagi penyakit qalbu, sekaligus sarana bagi salik untuk mendekatkan diri depada Allah. Jelasnya, etika Syaikh Yusuf menekankan tiga hal: (1) etika yang berkaitan dengan pencarian kebahagiaan. (2) etika yang berhubungan dengan rasionalitas dan ilmu. (3) etika sebagai pengobatan rohani.

Sementara itu, etika dalam melaksanakan syariat untuk mencapai makrifat adalah: (1) menjalin persahabatan dengan orang-orang fakir melalui sikap tawadlu. (2) memiliki sikap yang baik. (3) dermawan. (4) mampu mengendalikan hawa nafsu, karena makhluk yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang memiliki akhlak, dan sebaik-baik perbuatan adalah menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain Allah.

Tarekat

Dalam al-Nafhat al-Sailaniyyah, Syaikh Yusuf memaknai tarekat sebagai hal atau kondisi diri untuk menghampiri Allah (the way to God). Tarekat mengacu pada praktek atau pada laku sufisme, jalan ini tidak terlalu terang seperti halnya jalan raya, dan juga bukan jalan yang dilihat dengan kasat mata.


Dalam konteks ini, syariat hanya mengacu kepada lahiriyah, sedangkan tarekat pada laku batiniah/sufisme. pemandu yang dibutuhkan adalah seorang Syaikh atau guru sufi yang dapat menunjukkan jalan untuk mencapai Tuhan.

Syariat membuat kehidupan menjadi menarik, sedangkan hakekat dirancang untuk membentuk kehidupan batin menjadi bersih dan murni. Dalam hal ini syariat dan hakekat bersifat saling melengkapi. Menurut Syaikh Yusuf, jalan menuju kepada Allah itu banyak, sama banyaknya dengan jiwa makhluk, jalan yang paling dekat ada tiga yaitu:

(1) jalan al akhyar, yaitu memperbanyak sembahyang, puasa, membaca al-Quran, hadis dan jihad. Salik yang sampai kepada Allah dengan jalan ini sangatlah sedikit.

(2) jalan ashab al-Mujahadat al-shaqa, yaitu mensucikan diri. Salik yang sampai pada jalan ini lebih banyak dari salik dijalan yang pertama. Jalan pertama hanya melihat amal lahir tanpa amal batin, sedangkan jalan yang kedua memperhatikan batin daripada lahir.

(3) jalan ahli dzikir, yaitu mencintai Tuhan lahir-batin. Mereka adalah salik yang sampai dengan ahli bidayah dan memperhatikan amal lahir dan batin.

Namun, Syiakh Yusuf menyatakan bahwa jalan menuju Tuhan terdiri dari sepuluh macam, yaitu: diawali dengan taubat kepada Allah, zuhud di dunia, tawakal kepada Allah, mensyukuri apa yang telah diberikan Allah, menjauhkan diri dari seluruh aktivitas duniawi, tawajjuh (menghadapkan diri) kepada Allah, sabar menghadapi malapetaka, rela pada qada dan qadar, menyerahkan urusan kepada Tuhan, berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah.

Seperti yang dinyatakan dalam hadits: Sembahlah Allah seperti engkau melihat Dia. Jika engkau tidak melihat Dia, sesungguhnya Dia melihat engkau. Ketahuilah semua itu. (H.R. Muslim no. 10).

Berkenaan dengan etika di dalam tahapan tarekat, Syaikh Yusuf menganjurkan sikap-sikap sebagaimana yang dijelaskan oleh Jailani, yakni beberapa cara yang dianjurka oleh guru-guru sufi: saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, bersahabat dengan orang fakir, dan melayani waliyullah, ketergantungan seorang hamba kepada orang yang berada di atasnya adalah kesombongan, ketergantungannya kepada yang setara adalah akhlak yang buruk. Oleh karena itu, kefakiran dan tasawuf itu berat, sehingga disarankan untuk tidak mencampuradukkan sedikitpun di antara keduanya.

Syaikh Yusuf al-Makassari dipandang orang pertama yang mengembangkan tarekat khalwatiah di Nusantara. Gelar kehormatan “al-Taj al-Khalwati”, “mahkota tarekat khalwatiyah”, dimungkinkan bahwa dialah orang pertama yang memperkenalkan tarekat ini di Indonesia.

Setelah kepulangannya ke Nusantara. Walaupun demikian, ada indikasi bahwa tarekat yang diajarkan oleh al-Maqassari merupakan gabungan dari berbagai tarekat yang pernah dia pelajari, tetapi tarekat khaltawiyah menjadi yang dominan. Tarekat khaltawiyah yang diajarkan oleh alMaqassari ini lebih dikenal dengan tarekat Khaltawiyah Yusufiah. Dengan demikian tarekat khaltawiyah Yusufiah ini boleh dikatakan merupakan perpaduan dari berbagai teknik spiritual khaltawiyah dengan berbagai teknik yang diseleksi dari tarekat-tarekat lainnya.

Corak “aristokratik” tarekat khaltawiyah Yusufiyah ini dapat dilihat dari hubungan al-Makassari dengan pihak kerajaan Gowa yang sangat kuat. Hubungan ini sangat berpengaruh dikalangan rakyat Makassar, sehingga mereka mengikuti tarekat ini. Salah seorang penyebar tarekat khaltawiyah ini adalah Muhammad Djalal, yang juga dikenal dengan Muhammad kabir, salah seorang putra Syaikh Yusuf al-Makassari dari istri pertama.

Seorang keturunan yang bernama Haji Daeng Tompo, mantan qadli Takalar, masih mengajarkan tarekat khaltawiyah Yusufiyah. Dari suku Bugis, diantara guru tarekat khlatawyah Yusufiyah yang berpengaruh adalah Paung Lallo dari Garassi di Maros dan Paung Ngamba dari Tomajennang Tonasa di Pangkajene bagian kepulawan.

Hakikat

Menurut Syaikh Yusuf, hakikat adalah hati, batin atau gnosisi (my heat). Hakekat mengacu kepada makna yang paling terdalam dalam praktek dan bimbingan yang dibangun dalam syariat dan tarekat. Hakekat adalah pengalaman langsung dalam kondidi mistis dalam sufisme dan pengalaman langsung dari kehadiran Tuhan dalam diri. Tanpa pengalaman ini, para murid hanya mengikuti secara buta, berusaha meniru orang yang telah mencapai tingkatan (maqam) hakikat. Pencapaian hakekat memperkuat dan memperkokoh laku pada dua tingkatan, yaitu sebelum sampai pada hakikat, seluruhnya adalah peniruan. Tanpa pemahaman batin yang mendalam dan lahir dari pengalaman, maka orang hanya mengikuti ajaran dan laku orang lain secara mekanistis.

Dalam Daf’u al-Bala’, Syaikh Yusuf mengatakan: “tiap-tiap wali dari waliyullah yang arif mempunyai kesibukan dan kebiasaan. Kesibukan yang tertinggi adalah shul-al-ashghal, karena firman Allah: Wa kanallahu bi kulli syai’in muhith. Maksudnya, kiblat (orientasi batin) ada tiga: pertama, kiblat al-amal atau kiblat awam. Firman Allah: “Hadapkanlah wajahmu ke masjid Haram”.

Shalat tidak akan sah kecuali menghadap kiblat ini pada lahirnya. Kiblat dapat jauh atau dekat dari orang yang shalat. Kedua, kiblat al-alim atau kiblat khawas. Firman Allah: “Kemana engkau hadapkan wajahmu, maka sempurnakanlah wajah Allah”. Hanya orang yang khawas yang mengerti bahasa ini. Ketiga, kiblat sirr, yaitu Allah itu sendiri, yaitu Dia yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin. Firman Allah: “Aku lebih dekat daripada kamu sekalian, sedang kamu tidak melihat”. “Aku lebih dekat daripada urat nadi kalian semua”.

Dalam risalah Ghayat al-Ikhtisar wa Nihayat al-Intizar, Syaikh Yusuf menerangkan tentang hakekat. Pertama, talib (yang menuju Allah) yang disebut a’yanu at-tsabitah. Kedua, ilmu Ilahiyah itu qadim, karena zat-Nya itu qadim. Ketiga, hakekat dalam bahasa itu bukan benda itu sendiri: ia itu ia. Keempat, wujud alam, termasuk manusia, itu wajib, sedangkan yang diketahui mesti maujud.

Syaikh Yusuf juga menerangkan bahwa prinsip akidah yang paling pokok adalah mempercayai bahwa Tuhan adalah Zat yang maujud, qadim, dan azali, bersifat mandiri dan menjadi tumpuan utama segala sesuatu, bersifat unik (laysa kamitslihi syai’un). Kesempurnaan Tuhan merupakan hakekat (a’yanu) kemutlakan-Nya. Sebagai kesimpulan, al-a’yanu tsabitah itu mempunyai dua sudut: wujudiyah dan wujud adamiyah. Dari sudut wujudiyah, Allah berfirman, dan kun dari sudut adamiyyah. Maka benar jika dikatakan bahwa hak Ta’ala membuat barang-barang.

Dari ada pada wujud atau dari wujud dalam ilmu Ilahiyah. Jika dikatakan mengapa alam itu disebut bayangan Allah, bayangan itu bentuknya seperti yang Empunya: sedang Allah itu laysa kamitslihi syai’un. Maka dikatakan bahwa perkara itu tidak dipahami, ia disebut begitu karena mempunyai tiga hal: pertama, bahwa bayangan itu tidak berdiri sendiri, tetapi berdiri dengan Empunya bayangan. Begitu pula alam, tidak berdiri sendiri, tetapi berdiri karena Allah Yang Maha Kuasa. Kedua, bahwa bayangan itu tidak bergerak, kecuali yang Empunya itu bergerak. Begitu pula alam, tidak berbuat atau berkehendak sesuatu, kecuali dengan kehendak Allah dan kodrat-Nya. Ketiga, bayangan itu bertambah banyak karena banyaknya yang melihat, sedang yang Empunya bayangan tidak bertambah banyak, karena banyaknya yang melihat. Inilah persamaan dari sudut itu, bukan dari yang lain.

Konsep-konsep kosmologi dan antropologi Syaikh Yusuf tampaknya terpengaruh oleh pandangan Ibn Arabi, meskipun tidak ditemukan tulisan Syaikh Yusuf secara komprehensif mengenai hal ini. Menurut Syaikh Yusuf, alam secara keseluruhan diciptakan oleh Tuhan dengan perintah kun. Objek perintah itu ditunjukan pada al-a’yanu al-tsabitah (hakikat alam sebelum berwujud secara nyata), yang tampak dengan dua wajah: pertama, adalah segi keberadaannya (wujudiyahtuha) dan kedua, adalah segi ketiadaannya (‘adamiyahtuha). Dari segi pertama itulah perintah kun ditunjukkan, sedangkan dari segi yang kedua, ia menerima perwujudan dari Tuhan. Oleh karena itu, wujud alam ini bisa dikatakan wajib berada (wajib al-wujud) dan bisa juga dikatakan mungkin berada (mumkin alwujud). Dikatakan wajib karena dilihat dari sudut perintah dengan kata kun, alam pasti dan harus berwujud. Disebut mungkin, dilihat dari keadaannya sebelum menerima perintah perwujudan dari Tuhan.

Makrifat

Dalam al-Nafhat al-Sailaniyya, Syaikh Yusuf memaknai kata makrifat sebagai rahasia atau hakikat (gnosis). Makrifat adalah kearifan puncak atau pengetahuan tentang kebenaran spiritual. Makrifat adalah level yang paling dalam dan tinggi dari pengetahuan batin dan melampaui hakikat. Makrifat lebih dari sekedar pengalaman spiritual sesaat, dan makrifat merujuk pada kondisi-kondisi keselarasan dengan Tuhan dan kebenaran.

Makrifat adalah pengetahuan tentang realitas yang dapat dicapai oleh hanya sedikit orang. Makrifat merupakan tingkatan para nabi, rasul, waliyullah, dan para bijak. Tahapan makrifat memungkinkan seseorang yang telah sampai kepada-Nya, menyebut Tuhan dengan sepenuh hati. Seseorang akan menemukan cahaya Ilahiyah, yaitu jalan kebenaran dalam kehidupannya. Makrifat merupakan jalan mengenali zat dan sifat-Nya secara benar, karena mengenal Allah merupakan suatu pengetahuan yang paling sulit.

Hal ini karena tidak ada sesuatu pun yang menyamai  eksistensi Allah. Allah memuji hambah yang mengenali-Nya. Sebaliknya, Dia mencela hambah yang tidak mengenali-Nya dan mengingkari-Nya. Makrifat Allah itu ada dua macam, bersifat umum dan bersifat khusus.

Makrifat yang pertama wajib dimiliki setiap mukallaf, yakni mengakui eksistensi-Nya serta mengakui segala sifat yang telah ditetapkan untuk diri-Nya. Makrifat yang kedua adalah kondisi menyaksikan Allah. Tidak ada yang dapat mengetahui hakikat wujud Allah kecuali Allah sendiri. Puncak pengetahuan hamba akan sampai pada suatu kesadaran bahwa akan sangat mustahil untuk mencapai makrifat yang hakiki. Secara sempurna hal itu disadari oleh para nabi dan orang-orang yang shiddiq (benar). Nabi misalnya pernah bersabda: “aku tidak pernah dapat memberikan pujian yang cukup kepada-Mu. Engkau seperti pujian yang Engkau berikan untuk diri-Mu”. Abu Bakar pernah berkata: “Adapun kemampuan untuk mengenal-Mu adalah pengetahuan itu sendiri”. Jadi, makrifat merupakan istilah yang digunakan oleh para sufi, yang berarti pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui hati sanubari.

Untuk mencapai tingkat makrifat, Syaikh Yusuf menyatakan dalam Tahsil al-Inayat wal Hidayat: Seorang hamba yang berakal jika ingin menjadi waliyullah, maka ia harus banyak berzikir kepada Allah. Seorang hamba yang banyak berzikir harus tahu dan percaya pada ayat: Laysa kamitslihi syai, dan pada surah al-ikhlas, karena semua kepercayaan kepada Allah kembali kepada ayat dan surah tersebut. Jika ingin berzikir kepada Allah, pilihlah dzikir yang termulia, yaitu: La ilaaha illa Allah. Dzikir itu sesungguhnya imam itu sendiri. Kemudian ia harus menjalani lahirnya dan batinnya syariat yang suci dengan memegang teguh hakikat yang suci. Ia juga harus memberatkan akherat daripada dunia dan mencintai dengan cinta yang benar dan ikhlas.

Secara etimologis, makrifat adalah pengetahuan tanpa keraguan sedikit pun. Dalam terminologi kaum sufi, makrifat disebut pengetahuan yang tidak disertai keraguan di dalamnya ketika pengetahuan itu berkaitan dengan zat Allah dan sifatsifatnya. Tingkatan makrifat itu berbeda-beda, tingkat penyaksian seseorang juga berbeda, bergantung pada kualitas penempatan diri dan penempatan mulia (tahalli).

Orang yang ingin menyalakan lentera, tentunya ia membutuhkan tujuh sarana untuk melakukannya, seperti batang kayu, batu pembakaran, korek, tiang, sumbu, dan minyak. Bila seseorang ingin lentera makrifat kepada Allah: Pertama, ia harus memiliki semangat perjuangan yang tinggi. Karena dengan semangat itu, dan juga karena Allah, jalan keluar dari permasalahan akan ditunjukkan oleh Allah. “orang-orang yang berusaha mencari ridha Kami, akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami”. (QS. al-Ankabut: 69).

Kedua, seseorang haruslah memiliki kerendahan hati dihadapan Allah. Seperti penegasan al-Quran: “berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut” (QS. al-‘Araf: 55). Ketiga, iyalah api yang dibutuhkan berarti terbakarnya hawa nafsu. Al-Quran menyatakan: “dan orang-orang yang menahan diri dari hawa nafsunya” (QS. an-Naziat: 40). Keempat, kembali kepada Allah dalam setiap urusan. “kembalilah kalian kepada Tuhan kalian” (QS. az-Zumar: 54).

Kelima, tiang kesabaran. Seseorang harus memiliki tiang kesabaran dalam menghadapi hidup. “… sesunguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. al-Anfal: 46). Keenam, bumbu kesyukuran. Seseorang hamba selalu bersyukur kepada Allah dalam berbagai keadaan. “bersyukurlah kamu sekalian terhadap nikmat Allah” (QS. an-Nahl: 114). Ketujuh, seseorang hamba yang memerlukan minyak keridhaan, yaitu perasaan ridha terhadap ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan takdir yang diterima. Jika takdir jatuh kepadanya, maka perintah kesabaran berkaitan erat dengan takdir yang telah ditentukan. “keharusan bersabar terhadap ketentuan Tuhan” (QS. at-Thur: 48).

Related posts