Biografi Singkat Syaikh Nurruddin Ar-Raniri : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Syaikh Nurruddin Ar-Raniri : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Syaikh Nurruddin Ar-Raniri | Profil Syaikh Nurruddin Ar-Raniri | Pendidikan Syaikh Nurruddin Ar-Raniri | Karya Syaikh Nurruddin Ar-Raniri | Pemikiran Syaikh Nurruddin Ar-Raniri | Wislahcom | Referensi |

Profil Syaikh Nurruddin Ar-Raniri

Nuruddin Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid Asy Syafi’I Ar-Raniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang abad XVI. Ibunya keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dar keluarga imigran Hadramaut. Ar-Raniri merupakan syaikh tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i.

Ar-Raniri pun juga memiliki tarekat Al-Aydrusiyyah dan tarekat Qadiriyyah. Ia merantau di Aceh pada tahun 1637 M. Ia memilih Aceh karena wilayah itu berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik, dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai Portugis.


Ar-Raniri menjadi seorang mufti Kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani. Ar-Raniri pun dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki cakrawala keilmuan yang amat luas, dan memiliki pengaruh besar dalam pengembangan Islam di wilayah Nusantara, dan merupakan ulama penulis yang produktif.

Pendidikan Syaikh Nurruddin Ar-Raniri

Dalam bidang pendidikan Nuruddin mengikuti langkah keluarganya. Nuruddin sendiri adalah seorang sarjana India. Mula-mula ia belajar ilmu agama di kota Ranir (kota kelahirannya), lalu ia melanjutkan pendidikannya ke wilayah Hadramaut. Kemudian ia pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1582 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah. Setelah itu, ia kembali pulang ke India.

Ar-Raniri mengikuti jejak langkah pamannya dan banyak ulama Hadhrami lainnya. Lebih jauh lagi, orang Hadrami biasanya mengirimkan anak-anak dan pemuda mereka ke tanah leluhur mereka dan Haramayn, untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan. Setelah menyelesaikan pelajaran, kebanyakan mereka kembali ke tempat kelahirannya atau mengadakan perjalanan ke tempat-tempat lain di dunia islam. Setelah membekali diri dengan pengalaman pamannya, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri mengikuti jejaknya untuk merantau ke Aceh dan tiba dikawasan ini pada tanggal 6 Muharram 1047 H (31 Mei 1637 M) semasa Sultan Iskandar Tsani.

Nuruddin pernah menginjakkan kakinya di Aceh sebelum tahun 1637. Hanya saja karena tidak ada penerimaan dan sambutan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda, maka ia melanjutkan perjalanannya ke Semenanjung Melayu dan ada kemungkinan ia memilih Pahang sebagai tempat menetapnya.  Ia menetap di Aceh selama 1637-1644 tahun dan menjadi tokoh yang sangat berpengaruh secara politik sebagai penasehat raja. Keluarganya nampaknya sudah pernah berhubungan dengan orang-orang Aceh.

Pamannya, Muhammad Jilani Ar-Raniri, sebelumnya juga menjadi guru di Aceh. Nuruddin Ar-Raniri juga seorang Syeikh dalam tarekat Rifa‟iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai yang meninggal pada tahun 578 H/1183 M. Ia diterima masuk dalam tarekat ini melalui seorang guru tarekat, keturunan Arab Hadramaut kelahiran India, yaitu Syeikh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban Al-Tarimi Al-Hadrami (w. 1066/1656) dari Tarim, yang juga dikenal di wilayah Gujarat sebagai Syayid Umar Al-Aydarus. Ba Syaiban itulah yang menginisiasikan Nuruddin ke dalam tarekat Rifa‟iyyah. Dia menunjuk Ar-Raniri sebagai Khalifah dalam tarekat Rifa‟iyyah, karena ia bertanggung jawab untuk menyebarkannya ke wilayah Melayuindonesia. Nuruddin tidak hanya menyebarkan Rifa‟iyyah saja melainkan juga mempunyai silsilah insiasi dari tarekat Alydarusiyyah dan tarekat Qadariyyah.

Ba Syaiban adalah guru Nuruddin Ar-Raniri yang paling terkenal di India. Setelah beberapa tahun mengajar agama dan diangkat sebagai seorang Syeikh Tariqat Rifa‟iyyah di India, ia mulai merantau ke Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Datangnya Nuruddin ke Aceh Untuk menentang paham yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-sumatrani.

Nuruddin menetap di Aceh hanya selama tujuh tahun, dari masa kesultanan Iskandar Tsani sampai masa kesultanan Safiyyat Al-Din, setelah itu Nuruddin kembali ke kota kelahirannya. Kembalinya Ar-Raniri ke kota kelahirannya itu, dikarenakan beberapa faktor, diantaranya, dalam buku hasil penelitian Ahmad Daudy dikatakan bahwa Nuruddin Ar-Raniri pergi dengan mendadak ada hubunganya dengan ketidak sukaannya terhadap kebijaksanaan Sultanah Safiatuddin, permaisuri dan pengganti Iskandar Tsani, yang mana ia berencana akan menghukum mati orang-orang yang menolak dipertintah wanita. Berdasarkan tradisi setempat dan hukum Islam, tidaklah layak bagi wanita untuk menjadi penguasa.

Dalam buku Azra juga dikatakan bahwa Nuruddin kembali ke kota kelahirannya itu dikarenakan sebelumnya Nuruddin Ar-Raniri melakukan perdebatan dengan Sayf Al-Rijal. Terjadinya perdebatan dianatar keduanya itu disebabkan oleh Ar-Raniri mencap doktrin-doktrin yang dibawa oleh Sayf Al-Rijal itu “sesat”. Perdebatan itu menempatkan Sultanah dalam situasi yang tidak enak atau sulit.

Sebelumnya ia mengikuti pandangan-pandangan Nuruddin Ar-raniri, akan tetapi kini ajaran Sayf Al-Rijal dengan segera mendapatkan momentum. Perdebatan antar kedua ulama ini menjadi masalah politik yang menimbulkan perpecahan.

Dewan penasehat kesultanan dan para bentara (menteri) harus mengadakan pertemuan berkali-kali untuk menyelesaikan perdebatan ini, tetapi mereka gagal. Satu-satunya yang dapat mereka lakukan adalah menyarankan agar kasus itu diputuskan oleh Sultanah Safiatuddin, tetapi Sultanah menolak karena ia mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui banyak pengetahuan tentang masalah-masalah keagamaan.

Maka ia menyerahkan kasus ini kepada hulubalang (para pemangku adat). Dengan penolakan Sultanah menggunakan wewenangnya guna mengakhiri perbedaan pendapat yang tajam antara kedua ulama itu, semacam kekacauan politik dan keagamaan yang menyebar dikalangan penduduk. Akhirnya Sayf Al-Rijal meraih kemenangan, ia dipanggil ke Istana oleh Sultanah sendiri, dan dalam kesempatan itu dia menerima perlakuan sebagai tokoh terhormat. Dengan kejadian ini, tertutuplah pintu bagi Ar-Raniri dan sebagai akibatnya dia terpaksa meninggalkan kerajaan.

Karya Syaikh Nurruddin Ar-Raniri

Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara lain sebagai berikut :

  • Lathâif al-Asrar (Kehalusan Rahasia), sebuah kitab berbahasa Melayu yang membahas ilmu tasawuf.
  • Nubdzah fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih, yang berisi soal-jawab mengenai kesesatan ajaran Wujudiyyah.
  • Asrâr al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân (Rahasia Manusia dalam Mengetahui Roh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa Melayu dan Arab yang membahas manusia, terutama roh, sifat, hakikatnya, serta hubungan manusia dengan Tuhan.
  • Hill azh-Zhill (Menguraikan perkataan “Zhill”), sebuah kitab berbahasa Melayu yang bersifat polemik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah.
  • Mâ’al-Hayât li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan Bagi Orang-orang yamg Mati), sebuah kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
  • Fath al-Mubîn ‘ala al-mulhidin  
  • Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib. Kitab hadits ini berisi 831 Hadits dalam bahasa Arab dan Melayu dan ditulis pada tahun 1045 H (1635 M). dua kitab ini (No.2 dan 3), ditulis di Semenanjung Tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani.
  • Jawahir al-‘ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
  • Aina al-A’lam qalb an Yukhlaq.
  • Kaifiyat al-Salat.

Ada sekitar 30 judul buku hasil karya Nuruddin Ar-Raniry yang sudah ditemukan hingga kini, yaitu: ash-Shirath al-Mustaqim; Durrah al-Faraidh fi Syarh al-‘Aqaid; Hidayah al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib fi al-Hadis;Bustan as-Salathin fi Zikir al- Awwalin wa al-Akhirin; Nubzah fi Da’wah az-Zil; Latha’if al-Asrar; Asrar al-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh wa al-Bayan; at-Thibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah; Hill az-Zil; Ma al-Hayah li Ahl al-Mayyit; Jawahir al- Ulum fi Kasyf al-Ma’lum; Ainaal-Alam Qabl an Yukhlaq; Syifa’al-Qulub an at-Tasawwuf; Hujjah ash-Shiddiq fi Daf’I az-Zindiq; al-Fath al-Mubin a’la al-Mulhidin; Al-Lam’an fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an; Shawarim ash-Shiddiq fi Qath’i az-Zhindiq; Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariq ash-Shufiyyah, ba’du Khalq as-Samawat wa al-Ardh; Hidayah al-Imam bi Fadhl al-Mannan; Ilaqah Allah al-Alam; Aqaid ash-Shufiyyah al- Muwahhidin; Kayfiyyah ash-Shalah; al-Fath al-Wadud fi Bayan Wahdah al-Wujud; Ya Jawwad Jud; Audah as-Sabil Laysa li Abathil al-Muhidin Ta’wil; Syazarat al-Murid; Umdah al-I’tiqad.


Karya Ar-Raniry tersebut di atas, sebagian besar berhubungan dengan masalah Tasawuf. Di antaranya berkaitan dengan penolakannya terhadap paham panteisme yang di nilainya sesat dan uraian lengakap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada mereka. Nubzah fi Da’wah az-Zil, misalnya memuat topik pemaparan tentang tasawuf dan merupakan penegasan aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme sesat. At-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, berisi uraian lengkap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada mereka.

Kehadiran Nuruddin Ar-Raniry harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran Wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. Pemikirannya yang konfrontatif, mengingatkan kita kepada tokoh al-Ghazali yang begitu concern mengkritik kaum filosof, dengan kitab Tahâfut al-Falâsifah-nya. Seperti halnya al-Ghazali, Nuruddin Ar-Raniry juga ketika dia menyerang penganut Wujudiyyah adalah setelah dia memahami paham aliran itu.

Pemikiran  Syaikh Nurruddin Ar-Raniri

Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri adalah seorang ulama yang memiliki segudang keahlian. Dia adalah seorang sufi, teolog, faqih (pengacara), dan bahkan seorang politikus. Keberadaan Al-Raniri seperti ini seringkali menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika ia dianggap sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktik-praktik mistik, sedangkan di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki ketertarikan pada praktik-praktik syariah. Oleh karena itu, untuk memahaminya dengan benar, perlu memahami semua aspek pemikiran, kepribadian, dan aktivitas.

Keberagaman keahlian Al-Raniri terlihat dalam perjalanannya selama ini. di Aceh. Meski hanya menetap dalam waktu yang relatif singkat, peran Al-Raniri dalam pembangunan Islam Nusantara tidak bisa diabaikan. Ia berperan membawa tradisi besar Islam sekaligus menghilangkan masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang pertama kali menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.

Faktanya, Al-Raniri adalah ulama pertama yang membedakan antara interpretasi yang salah dan benar dari doktrin dan praktik sufi. Upaya tersebut telah dilakukan oleh ulama sebelumnya, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam tafsir yang sistematis dan sederhana, melainkan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus mengklarifikasinya. Upaya lebih lanjut tampaknya telah dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dan alam dan makhluk ciptaan-Nya (Azra: 1994).

Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, khususnya di Nusantara, adalah aqidah. Pengertian imanensi antara Tuhan dan makhluk-Nya yang dikembangkan oleh paham eksistensi merupakan praktik sufi yang berlebihan.Mengutip doktrin Asy’ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam semesta ada perbedaan (mukhalkfah), sedangkan antara manusia dan Tuhan ada hubungan yang transenden.

Selain Al-Raniri yang umumnya dikenal sebagai Syekh Rifaiyyah, ia juga memiliki hubungan dengan sekte Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari aliran Aydarusiyyah ini, Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang dengan kokoh merentangkan akar tradisi Arab, bahkan simbol fisik tertentu dari budayanya, di hadapan lokal. Tak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan keselarasan antara praktik mistik dan syariat merupakan bagian dari ajaran aliran Aydarusiyyah.

Dari uraian di atas, secara sepintas belum banyak reformasi yang dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali untuk menekankan pemahaman Asy’ariyyah, memperjelas praktik syariah, dan menyanggah pemahaman wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkan ketekunan untuk melihat Al-Raniri secara utuh, baik pemikiran, pemikiran maupun karyanya (Azra: 1994). Padahal, dari catatan keberatan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyah dapat ditemukan sejumlah inovasi, terutama dari segi metodologi.

penulisan ilmiah, di mana ia selalu menyertakan argumen berikut untuk referensi. Dari metode ini, dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama baru yang belum pernah diungkapkan oleh penulis lain sebelumnya, mengikuti pemikiran-pemikiran baru.

Meskipun Al-Raniri memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan Islam di Nusantara, namun hingga saat ini santri-santrinya belum ditemukan secara langsung, kecuali Syekh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam bukunya Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah sekte Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah seorang guru sekaligus syekh. Hanya saia, bukti ini belum dianggap sah, karena belum diketahui kapan dan di mana mereka bertemu. 

Kesulitan lain juga akan muncul ketika mencari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan ulama lain yang menyebarkan Islam di Nusantara, atau ulama asli nusantara yang melakukan perjalanan ke Timur Tengah. Satu-satunya kemungkinan adalah Al-Raniri bertemu dengan para peziarah dan pendatang dari nusantara yang kebetulan sedang menuntut ilmu di tanah terlarang, tepatnya ketika Al-Raniri menetap di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan ini diduga memiliki komunikasi langsung dengan santri-santrinya yang berasal dari nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.

Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keinginan untuk mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di Nusantara. Pasalnya, selain tidak ada literatur yang menunjukkan hal tersebut, naskah-naskah yang berkaitan dengan pesantren juga tidak menunjukkan hubungan tersebut. Namun, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki hubungan yang sama dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari beserta jamaah haji dan santrinya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan koneksi tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.

Beberapa berpendapat bahwa dia meninggal di India. Pendapat lain menyatakan bahwa ia meninggal di Aceh. Ahmad Daudi, menulis: “Kemudian tiba-tiba dan tanpa sebab yang diketahui, Syekh Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, berlayar kembali ke negeri pertumpahan darah kesayangannya, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M). ” Bahwa beliau wafat pada tanggal 22 Muharram 1069 H / 21 September 1658 M.

Namun Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Menemukan Tuhan Dengan Kacamata Barat meyakini hal lain, itu berarti hingga tahun 1644 M Syekh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya, ada diskusi yang terlalu tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di satu sisi dan beberapa hulubalang dan seorang sarjana dari Sumatera Barat di sisi lain. Partai anti-ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri buru-buru kembali ke Gujarat. Tulisan Karel mungkin benar, karena secara tidak langsung Syekh Nuruddin mengaku kalah debat dengan Saiful Rijal, pendukung ideologi Syekh Hamzah al-Fansuri dan Syekh Syamsuddin as-Sumatera-i, ini yang diriwayatkannya dalam kitab Fath al-Mubin.

Ada juga tempat meninggalnya, HM Zainuddin, berbeda pendapat dengan Ahmad Daudi di atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara jilid 1, bahwa terjadi perselisihan di keraton, dalam perebutan tersebut tewas seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Sementara itu Syekh Nuruddin diculik dan jasadnya ditemukan di Aceh. Menurut HM Zainuddin juga, bahwa makam tempat suci Syekh Nuruddin yang dikenal dengan nama Tengku Syiahdin (Syekh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Aceh.

Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, pemerintah Aceh maju, ajaran sufi tidak menghalangi kemajuan berdasarkan Islam. Sebaliknya pemerintahan Iskandar Thani, yang ajaran sufinya dianggap sesat, justru kerajaan Aceh mulai merosot. Penolakan terhadap keyakinan yang berkembang di dunia Islam perlu disikapi dengan bijak. Siapa pun yang memegang urusan Islam tidak boleh salah menilai, sering terjadi yang benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.

Related posts