Biografi Singkat Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani | Profil Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani | Pendidikan Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani | Karya Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani | Pemikiran Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani | Wislahcom | Referensi |

Profil Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani

Abdus Shamad Al-Falimbani berasal dari keturunan Arab Yaman. Ia menerima pelajaran agama pertama kali di negeri kelahirannya kemudian melanjutkan ke Masjid Al-Haram, Mekah Al-Mukarramah. Al-Falimbani menghabiskan hampir seluruh umurnya di Mekah dan Madinah untuk menuntut ilmu dan menulis. Gurunya antara lain, Syaikh Muhammad As-Saman Al-Madani, pendiri tarekat Sammaniyyah-Khalwatiyyah. Ia memperoleh ijazah dari syaikh ini untuk pertama kali memperkenalkan dan mengajarkan tarekat ini di Palembang.

Karya-karyanya cukup menjadi saksi bagi orientasi sufistiknya. Apabila Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah dan tasawuf Sunni berhasil memantapkan kedudukan dan pengaruhnya di Indonesia, tokoh yang menjadi faktor penentu dalam keberhasilan tersebut adalah Abdush Shamad. Hal ini disebabkan tasawuf falsafi yang dimotori oleh Hamzah Al-Fansuri berhembus sedemikian pula.


Namun demikian tetap tidak ada kejelasan mengenai corak pemikiran tasawufnya, apakah cenderung Falsafi atau Sunni. Terlepas apakah ia pengikut tasawuf Sunni Al-Ghazali atau wahdah al-wujud Ibnu Arabi., nyatanya kitab-kitab yang pernah dterjemahkannya digemari oleh muslim Muangthai, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Terlebih lagi kitab-kitab tersebut sampai sekarang masih dijadikan pegangan dalam pengajaran agama.

Pendidikan Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani

Al-falimbani merupakan ulama sufi yang mempunyai kecerdasan intelektual yang sangat tinggi. Melalui ilmunya yang sangat tinggi ia berhasil menciptakan beberapa karya yang memberi manfaat bagi perkembangan Islam di wilayah Nusantara pada saat itu.

Al-falimbani untuk pertama kali mengenal dasar-dasar Islam dari ayahnya yang tak lain adalah seorang guru agama yang cukup dikenal di Palembang. Selain dari ayahnya ia juga mendapatkan dasar agama Islam dari Ibunya yang terus membimbingnya setelah ayahnya kembali bertugas menjadi mufti di negeri Keddah. Walaupun setelah itu ia belajar ke Keddah dan Patani. Ia mewarisi sifat kedua orang tuanya yang sangat taat dalam menjalankan ibadah agama Islam. Ia telah dididik dalam tatanan keluarga Islam yang sangat kuat. Sayanganya tidak ada sumber yang kuat mengenai dimana Al-Falimbani menempuh pendidikan formalnya dan usianya berapa pada saat itu. Meski demikian, bukan berati Al-falimbani besar karena kebesaran ayahnya dan kakaknya.

Kesungguhannya dalam menuntut ilmu dan menuangkan hasil pemikirannya dalam karya-karyanya yang menjadikannya ia disegani. Sebagaimana anak-anak lainnya, Al-Falimbani mendapatkan pendidikan awalanya di tempat dia dibesarkan, yaitu Keddah dan Patani. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri Patani. Zaman itu memang di Patanilah tempat menimba ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang lebih mendalam lagi. Mungkin Al-Falimbani dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal.

Di antara pondok-pondoknya adalah Pondok Bendang Gucil, di Kerisik, dan Pondok Kuala Berkah atau pondok Semala. Sistem pondok ini, terkenal dengan hafalan matan-matan ilmu ʿArabiyah yang terkenal dengan, Ilmu Alat Dua Belas‟, dalam bidang syari‟at islam diajarkan kitab matan-matan fiqh dalam madzhab Syafiʿi dan tawḥīd dengan menghafal kitab matan dalam mazhab al-Asyʿarī dan al-Maturidi. Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu, serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Şamad bin Qunbul al-Fathani yang ada.

Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syeikh ‘Abd Al-Şamad Al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimana pun mengenai Syeikh ‘Abd Al-Şamad Al-Falimbani belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri. Orang tua Al-Falimbani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab yaitu Makkah, dan Madinah. Ia bersama saudara tirinya Wan Abdu Qadir pergi ke Makkah untuk melaksanakan Haji. Setelah selesai menunaikan ibadah Haji Al- Falimbani tidak langsung kembali ke Tanah Air. Seperti yang dilakukan oleh saudara tirinya yang kembali ke Keddah dan menjadi Mufti di negeri Keddah menggantikan ayahnya yang telah wafat.

Di negeri barunya ini, beliau terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan untuk menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Keterlibatannya dalam komunitas Jawa inilah yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan-perkembangan sosio-religius dan politik Nusantara.

Sejak perpindahannya ke tanah Arab itu, Al-Falimbani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual. Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas dari proses pencerahan yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Syaikh Muhammad Al-Sammani Al-Madani, pendiri tarekat Al-Samaniyah AlKhalwatiyah.

Kurang lebih selama lima tahun ia belajar pada pendiri tarekat Al-Samaniyah Al-Khalwatiyah ini. Lama menuntut ilmu darinya, ia akhirnya di percaya mengajar sebagian murid Al-Samani. Al-Falimbani juga mendapatkan Ijazah dari gurunya untuk memperkenalkan dan mengajarkan tarekat Al-Samaniyah di Nusantara. Tarekat ini pada mulanya berkembang di Aceh pada abad ke-16. Namun kurang begitu jelas bagaimana penyebaran tarekat ini di Aceh. Tampaknya, hal ini didasarkan pada konsep tasawuf waḥdat al-wujud yang telah berkembang di Aceh pada masa itu. Karena hal ini dikaitkan dengan tokoh pendiri tarekat Sammmaniyah yang menganut faham tersebut. Namun, menurut Peeters, Al-Falimbani merupakan orang yang pertama menjadi juru dakwah Tarekat Sammaniyah. Ia juga berkesimpulan bahwa Al-Falimbani mendapatkan pelindung dari para Sultan di Palembang.

Menurut R.A. Dr. Hoesein Jayadiningrat dalam “Atjesch-Nederlandsch Woordenbook” (Batavia, 1934), mula-mula tarekat Sammaniyah merupakan tarekat yang bersih dan zikirnya terkenal dengan Rateb Saman-nya, tetapi lama-lama tarekat ini berubah menjadi sebuah kesenian tari yang hampir tidak ada sama sekali hubungannya dengan tarekat. Tari ini disebut Meusaman atau Seudati yang banyak dikecam oleh ulama Aceh pada waktu itu.

Al-Falimbani juga belajar suluk kepada syaikh tersebut bersama-sama dengan Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang merupakan salah satu anggota dari tempat serangakai dari Nusantara yang belajar di Makkah, kemudian di Madinah, pada tahun 1772 M pulang menuju daerahnya masing-masing kecuali Al-Falimbani yang tidak pulang lagi ke Palembang. Ia lebih memilih untuk menetap dan menghabiskan seluruh umurnya di tanah suci Makkah dan Madinah, di kedua kota inilah, Al-Falimbani terus berburu ilmu dan berkarya. Setelah hampir lima tahun belajar dan mengabdi dengan Al-Sammani, dia tidak merasa cukup atas Ilmu yang ia dapatkan. Atas anjuran dari Syaikh Muhammad As-Samman Al-Mandani, ia meneruskan belajaranya kepada Syaikh Abdur-rahman bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Maghribi.

Ia belajar tentang tasawuf dan filsafat, antara lain, Al-Tuhfah Al-Mursalah ila Ruh Al-Nabiyy, karya Syaikh Fadhullah Al-Burhanfuri Al-Hindi. Tentang popularitas kitab tasawuf ini di kalangan masyarakat sufi Nusantara, Drewes menulis sesungguhnya kitab ini sangat populer di kalangan masyarakat sufi Indonesia dan merupakan referensi bagi kaum sufi sejak dasawarsa pertama abad ke-17 M. Selain dua ulama di atas, masih banyak lagi nama-nama besar yang tercatat sebagai guru dari Al-Falimbani, diantaranya adalah : Muhammad Sulaiman Al-Kurdi, Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al- Jauhari, Atha’illah, Mashri, dan Ahmad ‘Abd Al-Mun’im Al-Damanhuri, seorang ulama besar dari al-Azhar, Mesir. Al-Falimbani sejak dini sudah menyenangi dunia tasawuf, barangkali karena pengaruh lingkungan spiritual di negerinya yang masyarakatnya sangat antusias terhadap ajaran tasawuf.

Di tambah lagi dengan adanya perdebatan, polemik, serta pergulatan pemikiran yang terus memanas antara penganut Hamzah Fansuri dengan Ar-Rairi sehingga ikut mewarnai dan mengiringi pertumbuhan intelektual Al-Falimbani.

Kecenderungan ke jurusan tasawuf ini, mungkin juga diakibatkan pengalamannya di masa kecil; paruh pertama dari abad ke-18 M itu, tasawuf mungkin adalah pelajaran agama yang paling disenangi di Palembang, sehingga diantara orang-orang Islam di sana sudah banyak pula yang tersesat. Pada tahun 1764 M ia menulis kitabnya yang pertama, tentang ilmu tauhid yaitu Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauḥid yang berisi tentang ringkasan kuliah-kuliah tauhid yang diberikan di Masjidilharam oleh Ahmad ibn ‘Abd alMun’im al-Damanhuri dari Mesir. Pada tahun 1765 M ia menulis Naşihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minīn fi Faḑail al-Jihad fi Sabilillah wa Karamah al-Mujahidin fi Sabilillah yang mengilhami orang-orang Aceh melawan Belanda. Pada tahun 1774 M atas permintaan Sultan Najmuddin untuk menulis mengenai hakikat iman dan hal-hal dapat merusaknya. Untuk memenuhi permintaan itu ia menulis Tuḥfah al-Raghibin fi Bayan Ḩaqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduh fi Riddah al-Murtaddin.

Meskipun mendalami tasawuf, tidak berarti Al-Falembani tidak kritis. Beliau dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Al-Falimbani menulis intisari dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Kitab ini ia terjemahkan pada awal tahun 1778 M ke dalam bahasa Melayu dengan menambahkan di dalamnya soal-soal yang dianggapnya sangat perlu diketahui oleh setiap muslim. Selain itu ia juga menerjemahkan kitab Lubab Ihya´ Ulumudīn (Intisari Ihya´ Ulumuddin) dengan judul Syar al-Salikin yang ia selesaikan pada tahun 1788 H. Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya secara moderat dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.

Walaupun Al-Falimbani dikenal sebagai tokoh tasawuf, ia juga telah mendalami ilmu-ilmu agama lainnya. Jika melihat dari guru-gurunya, pendidikannya bisa dikatakan sangat luas dan sempurna. Dia dipastikan telah mempelajari ilmu seperti hadis, fikih, tafsir, dan juga tasawuf. Seorang ulama dari Yaman yang pernah berguru kepadanya ketika mengunjungi negeri itu, menyebut beberapa gurunya dan ternyata mereka itu ulama fikih. Sumber lain menyebutkan bahwa ia telah mengajar ilmu fikih di Makkah, terutama kepada jamaah “jawah” orang Nusantara lainnya yang berada di tanah Arab pada zaman itu.

Pada tahun 1787 M, Al-Falimbani kemudian melakukan perjalanan ke Zabid untuk mengajar murid-murid setempat, terutama dari keluarga Ahdal dan Al-Mizjaji. Salah seorang muridnya di Zabid adalah Wajihud Din Al-Ahdal merupakan seorang muhaddis yang kemudian menduduki jabatan sebagai mufti Zabid. Ia menganggap Al-Falimbani sebagai gurunya yang paling penting. Karena itulah, ia memasukkan riwayat hidup Al-Falimbani dalam kamus biografinya yang berjudul Al-Nafis Al-Yamani wa Al-Ruh Al-Rayhani. Demikianlah kontribusi Al-Falimbānī terhadap perkembangan ajaran-ajaran agama Islam di Nusantara.

Karya Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani

  • Zuhrat Al-Murid fi Bayan Kalimat Al-Tawhid, karya ini memanfaatkan bahasa melayu, membahas tentang logika (manthiq) dan teologi (ushul al-din)
  • Hidayat Al-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin
  • Sayr Salikin ila ‘Ibadah Rabb Al-‘Alamin
  • Nashihah Al-Muslim wa Tadzkirah Al-Mukminin fi Fadha’il Al-Jihad fi Sabil Allah wa Karimah Al-Mujahidin fi Sabil Allah, karya ini menggunkan bahasa Arab, membahas keutamaan perang suci menurut Al Qur’an dan Hadis
  • Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin, di dalam kitab ini, beliau memperingatkan pembaca supaya tidak tersesat oleh berbagai nasihat yang menyimpang dari Islam, seperti petuah tasawuf yang mengabaikan syariat dan nasihat wujudiyah muthid yang masih marak pada saat itu.
  • Al-’Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
  • Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilaksanakan setelah shalat Isya. Pada dasarnya inti kitab ini nyaris sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.
  • Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin, berisi ringkasan petuah tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.

Pemikiran Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani

Pergumulan al-Falimbani yang intens dalam hal keilmuan juga membuatnya meninggalkan warisan intelektual berupa karya-karya tulis mengenai topik bahasan yang beragam. Mengenai jumlah karangan yang ditinggalkan oleh al-Falimbani, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para akademisi. Syamsu Rijal menemukan bahwa terdapat 7 karangan yang ditulis oleh al-Falimbani, sedangkan Arafah Pramasto mengidentifikasi didapati 8 karya tulis dari al-Falimbani. Sementara itu, Dzulkifli Hadi Imawan berpendapat bahwasanya ada 15 kitab peninggalan al-Falimbani. Lebih jauh, Mohammed Hussain Ahmad, cendekiawan asal Brunei Darussalam mengemukakan warisan intelektual al-Falimbani dalam bentuk karya tulis sebanyak 17 buah.


Dalam bidang akidah, al-Falimbani menulis kitab yang berjudul Zuhrah alMurīd fi Bayan Kalimah al-Tauhid. Pembahasan dalam kitab ini ialah mengenai logika dan teologi yang disampaikan secara ringkas dan padat. Muḥammad Uṡman El-Muḥammadi menambahkan bahwa kitab ini merupakan antologi catatan kuliah al-Falimbani dengan gurunya Aḥmad ‘Abd al-Mun‘im al-Damanhurī, seorang ulama Mesir dan salah satu maha guru (grand syaikh) di Universitas Al-Azhar.

Karangan lain berkeenan dengan akidah terdapat dalam kitab Zadd al-Muttaqīn fi Tauhid Rabb al-‘Ālamīn, di mana isi kitab ini adalah ringkasan ajaran tauhid dari gurunya, Syaikh ‘Abd al-Karim al-Samman al-Madanī. Selain itu, pandangan mengenai konsep jihad diutarakan oleh al-Falimbāni dalam kitabnya yang bernama Naṣīhah al-Muslimīn wa Tażkirah al-Mu’minīn fi Faḍl al-Jihad fi Sabilillāh wa Karamah al-Mujahidīn fi Sabilillāh.

Beliau menyeru kepada umat Islam pada waktu itu untuk berani melawan orang-orang kafir yang hendak menghilangkan agama Islam dari bumi nusantara. Al-Falimbani juga menyusun kitab yang berisi kumpulan wirid dan doa bagi kaum muslim yang dilantunkan pada waktu tertentu disertai dengan tata cara melakukannya dalam kitab Al-‘Urwah al-Wuṡqa wa Silsilah Uli al-Ittiqa. Senada dengan itu, ia juga mengarang kitab yang berjudul Ratib ‘Abd al-Ṣamad alFalimbāni. Kitab berukuran kecil ini berisikan zikir-zikir serta doa yang dibaca setelah salat Isya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Banyak akademisi dan sejarawan yang menyatakan bahwa kitab ini ditulis bersamaan dengan penulisan kitab yang lain, yakni Hidayah al-Salikin. Alasan utamanya didasarkan bahwa hal itu menjadi bagian dari proses sulūk al-Falimbāni dalam bertasawuf.

Pada beberapa tulisan mengenai kompilasi karya tulis al-Falimbani, banyak akademisi memasukkan kitab Tuhfah al-Raghibin fi Bayan Haqiqah Imam alMu’minīn wa ma Yufsiduh fi Riddah al-Murtaddīn. Menurut Drewes, penulisan kitab ini didasarkan atas permintaan Sultan Bahauddin yang saat itu menjadi penguasa di Kesultanan Palembang. Kitab ini membahas tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan keimanan dari seorang muslim. Hal yang dibahas di antaranya mengenai konsep iman dan Islam, perbedaan jin, iblis, dan setan, hingga pandangannya mengenai murtad dalam Islam. Secara garis besar, al-Falimbāni ingin memperingatkan orang-orang pada masa itu berkenaan dengan paham-paham menyesatkan yang berpotensi menyebar dan mengacaukan pemahaman masyarakat.

Konsep Suluk ‘Abd al-Ṣamad al-Falimbānī

Ditinjau dari segi bahasa, suluk berasal dari akar kata salaka-yasluku yang memiliki arti menempuh atau melakukan perjalanan. Dalam konteks tasawuf, perjalanan yang dimaksud ialah menempuh jalan menuju Allah. Perbuatannya disebut dengan sulūk, sedangkan orang yang menjalaninya dijuluki dengan sālik. Hasil yang diharapakan dari sulūk ialah kedekatan dengan Allah serta mendapatkan ma‘rifah.

Suluk sendiri biasanya disertai dengan latihan-latihan spiritual tertentu. Layaknya perjalanan ke sebuah daerah tertentu di muka bumi, pengembaraan menuju Sang Khaliq juga memerlukan peta sebagai panduan bagi orang yang melakukan perjalanan tersebut. Menjawab permasalahan tersebut, al-Falimbānī menguraikan panduan perjalanan bagi seorang sālik yang ingin menempuh perjalanan menuju Allah, terminal awal sekaligus akhir dari kehidupan manusia.

Petunjuk yang diberikan alFalimbānī berkaitan dengan jalan-jalan yang akan dilalui oleh seorang sālik beserta check point berupa kitab-kitab karangan para sufi yang bisa menjadi referensi dari setiap titik-titik pemberhentian selama perjalanan panjang itu. Hal itu dijelaskannya dalam kitabnya yang berjudul Siyar al-Salikin fi Ṭariqah al-Sadat al-Ṣufiyah. Mengawali penjelasannya mengenai tasawuf, Syaikh ‘Abd al-Ṣamad al-Falimbani menjelaskan mengenai kitab-kitab tasawuf beserta tingkatan-tingkatannya.

Dia mengemukakan beberapa kitab karya Imam al-Gazali seperti Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-Abidīn, Al-Arba‘īn fi Uṣul al-Dīn, hingga Mukhtaṣar Ihya Ulum al-Din yang menjadi inspirasi dari penulisan kitab beliau dengan judul Siyar al-Salikin. Syaikh Husain Faqih pernah berkata bahwa kitabkitab Imam al-Gazali dapat mengobati orang yang terkena racun, bermanfaat bagi orang yang bodoh, serta bagi pelajar di tingkatan pemula (mubtadi’), menguatkan pemahaman orang pertengahan tentang ṭariqah, serta meluaskan pandangan ulama tingkatan atas (muntahī). Selain itu, kitab-kitab Imam al-Gazali juga disebut mampu mengantarkan sesoerang untuk ma‘rifah kepada Allah. Bagi orang di tingkat pertengahan, Syaikh ‘Abd al-Ṣamad menganjurkan juga agar mereka membaca dan mempelajari kitabkitab Syadziliyah seperti Al-Hikam karya Ibn ‘Aṭāillāh al-Sākandari. Adapun bagi orang yang telah mempunyai żauq dan memahami hakikat ketuhanan, dianjurkan untuk membaca kitab-kitab karangan Ibn ‘Arabī.

Beberapa kitab tasawuf awal yang muncul pada masa dahulu di antaranya Qūt al-Qulūb karya Syaikh Abu Ṭālib al-Makkī, Risalah al-Qusyairiyyah karangan Syaikh Abu al-Qasim al-Qusyairī yang disyarahi oleh Syaikh Zakaria al-Anṣāri. Lalu beberapa kitab lainnya juga menghiasi keilmuan tasawuf seperti Ghunyah karya Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailanī, Awarif al-Ma‘arif karangan Syaikh Syihab al-Dīn ‘Umar as-Suhrawardī, Miftāḥ al-Falāḥ karya Syaikh Ibn ‘Aṭāillāh. Selanjutnya, disebutkan pula kitab-kitab karya beragam ulama seperti Syaikh ‘Abd al-Wahāb asy-Sya’ranī, Ḥabīb ‘Abdullāh al-Haddad, hingga kitab tasawuf kontemporer karangan ulama Nusantara. Semua kitab di atas dikategorikan sebagai kitab awal bagi seorang yang baru belajar ilmu tasawuf, yaitu mereka yang memulai membersihkan hati dan badannya dari hal-hal yang mengotorinya.

Dalam bahasa ‘Abd al-Ṣamad, kitab-kitab di atas digolongkan sebagai martabat pertama. Tingkatan kedua dari kitab-kitab tasawuf ialah yang diperuntukkan bagi murid yang pertengahan (mutawassiṭ), yakni mereka yang telah dibukakan Allah dengan berkah sulūk, wirid, dan zikirnya. Contoh dari kitab yang cocok dibaca oleh kalangan pertengahan di antaranya Al-Hikam karya Syaikh Ibn ‘Aṭāillāh alSākandari yang disyarahi oleh Muḥammad bin Ibrahim bin Ibad, Fī Isqatu Tadbīr karangan Ibn ‘Aṭāillāh, Laṭā’if al-Minan karya Ibn ‘Aṭāillāh, Hikam buah tulisan Syaikh Abu Madyan, Futuh al-Ghaib karya Syaikh ‘Abd al-Qadir Jailanī, AlJawahir wa al-Yawaqit karangan Syaikh ‘Abd al-Wahāb al-Sya’ranī, Risalah Qawanīn al-Aḥkam wa al-Asyraf ila al-Ṣufiyah yajma’ al-Āfāq karya Syaikh Muḥammad Abu al-Mawāhib al-Syāżilī, dan Risalah Asrar al-‘Ibādāt karya Syaikh Muḥammad Samman.

Lebih lanjut, martabat ketiga dari kitab-kitab tasawuf yaitu bagi mereka yang sudah muntahī, yakni orang yang telah mengetahui ilmu hakikat dan telah dibukakan oleh Allah kepadanya akan ilmu laduni.  Mereka sering disebut juga sebagai ‘ārifīn (orang yang telah mengetahui). Bagi kalangan ini, kitab-kitab yang sesuai dan layak dibaca ialah kitab-kitab karangan Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabī seperti Fuṣūṣ al-Hikam, Mawaqi’ al-Nujūm, Al-Futūḥāt Al-Makiyyah, dan beberapa kitab lainnya yang membicarakan tentang ilmu hakikat. Ada juga kitab al-Insān al-Kāmil karya Syaikh ‘Abd al-Karim al-Jilī, Misykah al-Anwār karangan Imam al-Gazālī, hingga Tuhfah al-Mursalah karya Syaikh Muḥammad bin Faḍlullāh al-Hindī yang disyarahi oleh Ibrahim al-Kuranī.

Klasifikasi yang dilakukan oleh al-Falimbāni di atas merupakan sebuah upaya penting dalam membantu perjalanan seorang sālik menuju Allah. Pemetaan tersebut juga bermanfaat bagi mereka yang ingin menyelami jalan tasawuf sesuai kedudukan (maqam) mereka. Para guru sufi sendiri memberi pesan betapa penting bagi setiap sālik menyadari maqam mereka di hadapan Allah. Pencapaian maqam sendiri didapat setelah melalui mujahadah tertentu yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, di samping hal itu juga bagian dari rahmat dan anugerah oleh Allah. Selain menjabarkan tahapan-tahapan yang perlu dilalui oleh seorang sālik, alFalimbāni juga menguraikan kunci-kunci penting dalam bertasawuf.

Dalam mempelajari ilmu tasawuf, diperlukan kesabaran dan keikhlasan bagi seorang murid hingga ia akhirnya bisa sampai (wuṣūl) kepada Allah. Syaikh ‘Abd al -Karim al-Jilī berkata bahwa dia melihat pada masanya orang-orang dari berbagai suku dan golongan (mulai dari Arab, Parsi, India, dan lain sebagainya) yang mendalami ilmu hakikat dengan muṭāla‘ah kitab-kitab tasawuf hingga melakukan sulūk dan riyadah, mereka semua akhirnya bisa mendapat hasil yang dimaksudkan, yakni ma‘rifah akan Allah serta dibukakan oleh-Nya akses ilmu laduni dalam kehidupannya.

Dalam bertasawuf, al-Falimbāni juga menekankan pentingnya integrasi antara tasawuf dan fikih. Dia mengutip perkataan Imam Mālik : “Siapa yang bertasawuf tanpa menjalankan fikih, maka dia telah zindik. Siapa yang menjalani fikih tanpa bertasawuf, maka dia telah fasik. Dan siapa yang bertasawuf dan menjalankan fikih sekaligus, maka dia meraih kebenaran.” Imam al-Gazālī dalam kitabnya yang berjudul Jawahir al-Qur’ān menyatakan bahwa ilmu tasawuf atau ilmu hakikat ialah ilmu yang mengetahui dan menjelaskan tentang Zat Allah (Aḥadiyyah), Sifat Allah (Waḥdah dan Waḥidiyyah), serta Af’al Allāh (Alam Rūh, Alam Miṡal, dan Alam Ajsam). Ilmu ini juga bertujuan mengetahui tempat kembali setiap manusia setelah kehidupannya di dunia.

Dalam bahasa lain, mereka yang ingin kembali dengan selamat ke hadirat-Nya, maka hendaklah ia mempelajari dan menjalani laku tasawuf. Jalan para sālik atau sufi juga melalui zikir yang dilakukan secara istiqamah. Sayyidina ‘Ali bin Abi Ṭalib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang jalan yang paling dekat serta mudah menuju Allah. Kemudian, Nabi Muhammad menjawab bahwa jalan tercepat dan termudah menuju kepada-Nya ialah dengan mendawamkan żikrullāh (berdzikir kepada Allah), baik secara lembut maupun keras atau baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Imam al-Gazālī juga mengungkapkan betapa zikir menjadi hal yang sangat penting bagi seorang muslim. Dalam salah satu pendapatnya, ia mengutip pendapat Ibn ‘Abbas bahwa zikir adalah bentuk ibadah yang paling agung dari pada segala ibadah lainnya. Oleh karenanya, sudah seharusnya bagi seorang sālik untuk melatih diri agar konsisten berdzikir setiap saat.

Zikir sendiri tidak hanya bermanfaat secara ruhani, namun ia juga berdampak positif dalam aspek jasmani. Riset yang dilakukan oleh para ilmuwan menunjukkan bahwa zikir berpengaruh besar dalam peningkatan sekresi hormon endorfin. Peningkatan hormon endorfin dalam tahap selanjutnya akan menciptakan morfin natural di dalam tubuh, sehingga kita tidak perlu mengonsumsinya dalam bentuk obat-obatan terlarang dari luar tubuh. Selain itu, hormon endorfin juga berperan dalam pembentukan kebahagiaan diri dari seorang manusia. Kekurangan jumlah hormon endorfin secara tidak langsung turut menurunkan kadar kebahagiaan seseorang.

Pada penutup penjelasannya, Syaikh ‘Abd al-Ṣamad al-Falimbānī menegaskan bahwa jalan tasawuf merupakan jalan yang mengikuti para nabi, wali, orang-orang yang dekat dengan Allah, dan orang-orang yang bertakwa. Hasil dari orang yang bertasawuf ialah lepasnya dia dari maksiat dan perbuatan-perbuatan tercela, baik maksiat zahir maupun maksiat batin.

Adapun contoh dari maksiat batin ialah rasa ujub, takabur, hasad, riya, hingga cinta dunia. Selanjutnya, Syaikh Muḥammad al-Maghribī al-Syażilī membedakan guru dari para murid tingkat awal dan guru dari murid tingkat akhir. Bagi seorang pemula, maka hendaknya mereka mengikuti jejak Imam Junaid al-Baghdadī, sedangkan bagi yang sudah mencapai tingkat ‘arif bisa berkiblat kepada Ibn ‘Arabī. Hal ini didasarkan pada ajaran dan bangunan keilmuan yang dibentuk oleh keduanya. Junaid al-Baghdadi merupakan tokoh sufi yang menekankan transformasi akhlak (baik sikap maupun perilaku) dalam kehidupan seorang salik, sedangkan Ibn ‘Arabi dikenal sebagai figur sufi dengan konsep tasawuf falsafinya sebagai landasan salik dalam menempuh jalan menuju Allah SWT.

Related posts