Biografi Singkat Robi’ah Al-Adawiyah : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Robi’ah Al - Adawiyah : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Rabiah Al-Adawiyah | Biografi Singkat Robi’ah Al-Adawiyah | Profil Robi’ah Al-Adawiyah | Pendidikan Robi’ah Al-Adawiyah | Karya Robi’ah Al-Adawiyah | Pemikiran Robi’ah Al-Adawiyah | Konsep Cinta Robi’ah Al-Adawiyah | Wislahcom | Referensi |

Profil Robi’ah Al–Adawiyah

Rabiah Al-Adawiah adalah seorang sufi yang mempelopori dan mengembangkan ajaran tasawuf mahabbah. Ia lahir di Basrah pada tahun 714 M. Kelahirannya diliputi bermacam cerita aneh-aneh. Pada malam ketika ia lahir, di rumahnya tidak ada apa-apa, bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tidak ada, juga tidak ditemui sepotong kain pun untuk membungkus bayi yang baru dilahirkan itu. Ibunya meminta ayah Rabiah agar meminjam minyak dari tetangga. Ini merupakan suatu cobaan bagi si ayah yang malang. Ayah ini telah berjanji kepada Allah untuk tidak mengulurkan tangannya meminta tolong kepada sesamanya. Namun begitu, ia pergi juga ke rumah tetangganya, mengetuk pintu, tetapi tidak mendapat jawaban. Ia merasa lega dan mengucap syukur kepada Tuhan, karena tidak perlu ingkar janji. Ia pulang dan tidur. Malam itu ia bermimpi, Nabi Muhammad memberikan tanda kepadanya dengan mengatakan bahwa anaknya yang baru lahir itu telah ditakdirkan menduduki tempat spiritual yang tinggi.

Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih kecil. Ketiga orang kakak perempuannya juga mati ketika wabah kelaparan melanda Basra. Ia sendiri jatuh ke tangan orang yang kejam, dan orang ini menjualnya sebagai budak belian dengan harga yang tidak seberapa. Majikannya yang baru juga tidak kurang bengisnya.


Si kecil Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala perintah majikannya. Malam hari dilaluinya dengan berdoa.

Pada suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah berdoa kepada Allah “Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadanya. Seandainya aku bebas, pasti akan kupersembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepada-Mu.”

Tiba-tiba tampak cahaya di dekat kepalanya. Dan melihat hal itu, majikannya menjadi sangat ketakutan. Esok harinya Rabiah dibebaskan.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat yang sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampaikan ia ke sebuah gubuk dekat Basrah. Di sini ia hidup seperti pertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, merupakan keseluruhan harta yang ia punya.

Pendidikan Robi’ah Al–Adawiyah

Diceritakan oleh Abdul Mu’in Qandil dan Athiyah Kamis, bahwa sejak kecil Rabi’ah sudah seperti orang dewasa, ia seakan-akan telah paham dan dapat merasakan kondisi yang dialami oleh orang tuanya, sehingga ia menjadi pendiam, tidak banyak menuntut kepada orang tuanya, sebagaimana layaknya gadis kecil yang menginjak remaja. Keistimewaan dan kekuatan daya ingat Rabi’ah juga telah dibuktikan sejak masa kanak-kanak. Al-Qur’an dihafalnya sejak usia 10 tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal Al-Qur’an ini dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Bila telah berhasil menghafal ia duduk lalu mengulanginya kembali dengan penuh khusyu’, penuh iman yang mendalam dan pemahaman yang sempurna.

Tidak jarang pula ayah Rabi’ah melihat putrinya mengasingkan diri, bermuka muram dan sedih, selalu dalam keadaan terjaga untuk beribadah kepada Allah tak ubahnya seperti tokoh-tokoh sufi yang terkenal. Permasalahan berikut yang patut untuk dikaji adalah bagaimana pendidikan Rabi’ah pada masa anak-anak. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Rabi’ah tidak pernah sekolah secara “formal” semisal al-kuttab, namun Rabi’ah dididik secara langsung oleh orang tuanya.

Ayah Rabi’ah menghendaki agar anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan bisa menyekat kesempurnaan batiniyahnya. Maka Rabi’ah sering dibawa oleh ayahnya ke sebuah Mushalla yang berada di pinggiran kota Basrah. Kegiatan tersebut dimaksudkan agar Rabi’ah terhindar dari polusi akhlaq yang melanda kota Basrah. Letak mushalla itu jauh dari kebisingan dari hiruk pikuk keramaian. Di tempat inilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan sang Khaliq Yang Maha Kuasa.

Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut, seseorang akan mudah mencapai kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan kekuasaan Allah. Inilah kiranya yang dapat dikategorikan sebagai “pendidikan khusus” yang diperoleh semasa kecil, dengan ayahnya sebagai guru. Sistem yang diterapkan oleh ayah Rabi’ah dalam mendidik putrinya merupakan bagian dari pendidikan informal yang diperoleh dalam lingkungan keluarga. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud merupakan satu lingkungan yang besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut.

Karya Robi’ah Al–Adawiyah

Rabi’ah al-Adawiyah memang populer sebagai pencetus konsep mahabbatullah. Rabi’ah lahir dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat. Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbatullah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep mahabbah melalui sya’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Sepanjang sejarah, konsep Cinta Ilahi (mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Meski konsep dan ajaran cinta Rabi’ah sebatas untaian kata penuh makna dan hakikat dari sekadar kata cinta.

Selain itu, Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk  sya’ir-sya’ir Cinta Ilahi yang kerap ia senandungkan.


Namun  begitu, sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’y an (Obituari Para Orang Besar), Yafi’i asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar  dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin.

Pemikiran  Robi’ah Al-Adawiyah

“Beliau adalah induk dari segala kebaikan yaitu Robi’ah Anak perempuannya Ismail di desa Adwiyah suku Qoisiyah wilayah basroh, dan beliau dianggap lebih masyhur-masyhurnya golongan ahli zuhud juga golongan ahli ibadah pada Allah SWT. Beliau juga pernah berkata ketika beliau terperanjat dari tempat tidurnya wahai seorang diri berapa banyak tidurmu dan sampai berapa banyak lagi tidurmu. Hampir dekat tidurmu satu kali kamu tidak bisa bangun darinyakarena kecuali teriakan yang keras pada hari kebangkitan dari kubur. Lihatlah terhadap seluruh perkataannya dikitab sifatus shofah. (4:17). Dan telah menyebutkan Ibnu Khalikan bahwasannya wafatnya berada ditahun135, dan kuburannya didaerah luar pinggir Masjid Mqoddas diatas puncak gunung yang bernama gunung Thur. “

Setelah mengetahui biografi dan karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah maka dapat diketahui bahwasannya konsep ajaran beliau atau isi pokok ajaran tasawuf beliau adalah tentang cinta (al-habb) atau Muhabbah.

  • Pengertian Muhabbah

Kata Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, muhabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan muhabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Muhabbah dapat pula berarti al-wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al Muhabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta sesorang yang sedang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya.

Kata al-Qusyairi al-Mahabbah adalah merupakann hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya, adalah di saksikannya (kemuttlakannya) Allah Swt, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihinya-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah Swt. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan. Pengertian yang diberikan kepada muhabbah anatara lain sebagia berikut:

a. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci melawan kepadaNya.

b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

c. Mengosongkan hati dan segalan-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Dilihat dari segi tingkatan, mahabah sebagai dikemukan al-Sarraj, sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabah orang biasa, mahabah orang shidiq, mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama Allah dan memperoleh kesenangan dengan Tuhan.

Senantiasa memuji Tuhan. Mahabah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmu-ilmuNya dan lain-lain.

Dan mahabbah orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai Tuhan sepenuh hati masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya dalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan katakatak, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.

Sementara itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa al-Muhabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (Roh). (Abuddin Nata: 2011: 207).

Paham mahabbah mempunyai dasar dalam al-Qur’an al-Maidah (5): 54 :

“Maka kelak akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”

  • Alat untuk mencapai mahabbah

Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti dijelaskan di atas? Para ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis Islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh Ma’rifah oleh sufi disebut. dengan mengutip pendapat al Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan.

Pertama, alqalb/hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahi sifat-sifat Tuhan.

Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan.

Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari pada qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci secu-sucinya dan sekosong-kosongnya, tidak berisi apapun.

Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.

Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugrahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (QS. Al-Isra’: 85)

Related posts