Biografi Singkat Ibnu Masarrah : Profil, Pendidikan, Karya, dan Pemikiran

Biografi Singkat Ibnu Masarrah : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Ibnu Massarah | Profil Ibnu Massarah | Pendidikan Ibnu Massarah | Karya Ibnu Massarah | Pemikiran Ibnu Massarah | Wislahcom | Referensi |

Profil Ibnu Masarrah

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah (269-319 H). Ia merupakan seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia, Spanyol. Menurut Musthafa Abdul Raziq mengatakan bahwa Ibnu Masarrah termasuk sufi Ittihadiyyah. Awalnya Ibnu Masarrah merupakan penganut aliran Mu’tazilah, tetapi ia berpaling pada madzhab Neo-Platonisme. Oleh karena itu, ia dianggap mencoba untuk menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno. Walau demikian, Ibnu Masarrah tergolong seorang sufi yang memadukan paham sufistiknya dengan pendekatan filosofis.

Ia mengajarkan gagasan-gagasan mu’tazilah tentang paham qadariyah, dan mengajarkan pula bahwa kenikmatan surga dan siksa neraka tidaklah berkaitan dengan jasmani, tetapi berkaitan dengan jiwa. Ajaran-ajarannya ini mendapatkan kecaman dan tantangan dari ahli madzhab Maliki yang bernama Ahmad bin Khalid al-Habbab, ia membuat buku untuk menentang pendapat Ibnu Masarrah.

Karena banyaknya tantangan dan kecaman, Ibnu Masarrah keluar dari Andalusia untuk menunaikan ibadah haji bersama dua muridnya yaitu Muhammad bin al-Madini dan Ibnu Suqail al-Qurtubi. Mereka singgah di Kairouan, kemudian setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mekkah, dan disini mereka singgah di rumah Abi Sa’id bin al-‘Arabi (w. 341 H), yang merupakan salah seorang murid al-Junaid, tetapi Aba Sa’ad tidak setuju dengan gagasan-gagasan Ibnu Masarrah, maka ia membuat buku yang menentang Ibnu Masarrah. Dari perjalanannya ini Ibnu Masarrah telah mendapatkan banyak manfaat ilmu dari bermacam-macam madzhab teologi dan ajaran-ajaran sufi.

Setelah perjalanannya yang cukup panjang, Ibnu Masarrah kembali ke Cordova, ia ber’itizal sekali lagi di gunung dan mengajari murid-muridnya secara sembunyi-sembunyi. Ia beserta murid-muridnya ingin membuktikan kepada para ahli Fiqih bahwa ajaran mereka tidaklah bertentangan dengan agama, Ibnu Masarrah meninggal dunia tahun 319 H/931 M, pada usia hampir 50 tahun.


Pendidikan Ibnu Masarrah

Ibn Masarah lahir tahun 269 H/883 M di Cordova, Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang pedagang yang berkesempatan mempelajari madzhab Mu’tazilah di Basrah dan temannya adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah Andalusia yaitu Kkholil al-Guflah. Pada saat itu ide-ide Mu’tazilah, ilmu kalam dan filsafat sangat terkenal dan sangat berharga bagi para pemikir Andalusia.

Ibnu Masarrah mempelajari ilmu agama dan filsafat Muktazilah dari ayahnya. Ayahnya meninggal tahun 286 H/899 M, pada saat itu Ibnu Masarrah berumur 7 tahun, dan pada usia yang begitu dini ia sudah menjadi zahid dan sering menyendiri (i’tizal) bersama beberapa teman-temannya dan para pengikutnya di gunung Cordova.

Karya Ibnu Masarrah

Karya- karya ibnu masarah diantaranya adalah buku-buku yang memuat teori iluminasi adalah kitab yang berjudul :

  • Tauhid al- Muqinin : Dalam kitab ini, beliau menuliskan tentang sifat tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan bukan zat
  • Kitab al- tabsirat (buku pengajaran)
  • Kitab al- huruf (lambing-lambang huruf).

Dalam bukunya “Risalah al-‘Itibar”, Ibnu Masarrah mejelaskan bagaimana manusia dapat mencapai kebenaran yang hakiki (Tuhan). Buku ini merupakan upaya Ibnu Masarrah sebagai seorang filosof muslim setelah al-Kindi (filosof Arab) untuk menyelaraskan antara filsafat dengan agama. Dimana pada saat itu filsafat dan para filosof mendapat banyak kecaman dari kaum agamis. Mereka diserang sebagai pembuat bid’ah. Ibnu Masarrah sependapat dengan pemikiran al-Kindi bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama.

Pemikiran  Ibnu Masarrah

Ibnu Masarrah dikenal sebagai pendiri aliran kebathinan di Andalusia. Beliau memiliki ajaran-ajaran kebathinan yang khas dan menarik perhatian banyak orang. Karena membentuk aliran tersendiri, Ibnu Masarrah memiliki banyak murid dan pengikut, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Di antara pengikut aliran kebatinan Ibnu Masarrah yang terkenal ialah Ismail bin Abdullah ar-Ra’ini yang hidup di akhir abad keempat. Ar-Ra’ini ini memiliki peranan yang begitu kuat dalam penyebaran ajaran-ajaran kebatinan Ibnu Masarrah di Andalusia dan tercatat sebagai pemimpin aliran kebatinan di masanya.


Dalam al-Fasl fi al-Milal wal Ahwa wan Nihal Ibnu Hazm menyebut tujuh ciri khas aliran kebathinan ala Ibnu Masarrah ini; pertama, di hari kiamat nanti yang dibangkitkan ialah ruh bukan tubuh; kedua, alam semesta ini bersifat kekal abadi dan tiada akhir; ketiga, Arasy ialah yang mengatur alam semesta ini dan bukan Allah. Bagi mereka, Allah tidak memiliki kaitan sama sekali dengan makhluknya; keempat, kenabian itu dapat diperoleh oleh siapa saja asalkan seseorang sudah bersih jiwanya. Jadi nabi bukanlah manusia yang dipilih oleh Allah namun semua hambanya bisa jadi nabi asalkan dapat menyucikan dirinya sendiri; kelima, kewajiban taat secara mutlak terhadap pimpinan aliran ini, dan kewajiban menyerahkan zakat kepada pimpinan; keenam, selain alirannya, aliran kebatinan ini menganggap negara di masanya sebagai negara kafir, dan karena itu warganya boleh dibunuh kecuali alirannya saja; dan yang terakhir, yang ketujuh, dibolehkannya nikah mut’ah.

Pasca ar-Ra’ini, ada juga salah seorang pengikut aliran kebatinan Ibnu Masarrah yang tak kalah terkenalnya di Andalusia, namanya Abul Abbas as-Sonhaji bin al-Ariif (w. 536). Ibnul Arif tercatat sebagai salah satu gurunya Ibnu Arabi. Ini seperti yang diakuinya sendiri dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah. Dengan kata-kata lain, Ibnu Arabi juga penerus aliran kebathinan yang dirintis Ibnu Masarrah di tiga abad sebelumnya. Seperti yang ditegaskan oleh Abdurrahman Ghallab dalam artikelnya, al-Ma’rifah Inda Muhyiddin Ibnu Arabi, Ibnu Arabi sering bolak-balik ke madrasah peninggalan Ibnu Masarrah.

Di madrasah ini pula, Ibnu Arabi diajari simbol-simbol kebatinan aliran Empedokles, Hinduisme dan lain-lain. Jadi wajar jika karya-karya Ibnu Arabi penuh dengan ajaran-ajaran rahasia dan ajaran-ajaran yang penuh dengan simbol. Semua itu karena interaksinya yang intense dengan aliran kebatinan yang menggabungkan ajaran-ajaran Islam, ajaran-ajaran Hindu, sufisme Persia dan kebatinan Yunani.

Selain itu, menariknya, seperti yang pernah disebut oleh Ghallab dalam artikelnya itu, Ibnu Arabi dalam kasyafnya pernah belajar langsung kepada arwah tokoh-tokoh suci dari kalangan filosof dan agamawan. Konon, Ibnu Arabi belajar kepada Empedokles, Plato, Jamblique dan lain-lain. Sayangnya, Ghallab tidak menyebutkan karya-karya Ibnu Arabi secara langsung yang menyebutkan perjumpaannya secara kasyfi dengan para tokoh besar ini.

Meski begitu, perjumpaan ini bisa jadi dapat dibenarkan mengingat muridnya sendiri yang bernama Abdul Karim al-Jili dalam kitab al-Insan al-Kamil menyebut perjumpaannya dengan filosof Yunani terbesar, Plato, secara kasyfi.

Dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu Arabi menegaskan afiliasinya terhadap aliran kebatinan Ibnu Masarrah ini dengan mengatakan: Rawaina ‘an Ibnu Masarrah al-Qurthubi min akbari ahli at-tariq ilman wa jalalan wa kasyfan (Kami belajar secara kasyfi kepada Ibnu Masarrah al-Qurtubi, seorang sufi terbesar yang pernah disingkapkan ilmu, keagungan dan tabir ilahi). Ibnu Arabi menyebut sosok ini sebagai rujukan utama ketika menulis tentang para pembawa Arsy Tuhan di kitab al-Futuhat al-Makkiyyah.  Selain Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in yang wafat tahun 669 merupakan penarus estafet aliran filsafat kebatinan yang puncak pemikirannya telah dirumuskan oleh Ibnu Masarrah jauh tiga abad sebelumnya.

Semua aliran kebatinan ini muara pemikirannya sebenarnya terpusat kepada filsafat Syiah Ismailiyyah. Pandangan Ibnu Masarrah dan ar-Ra’ini mengenai kebangkitan ruh bukan jasad, arasy, kenabian, nikah mut’ah, kewajiban taat dan bayar zakat kepada pimpinan aliran dan dan tafsir kebatinan Ibnu Arabi, terutama tentang hamalat al-arsy (para pemikul Arasy) di kitab al-Futuhat al-Makkiyyah..semua elemen-elemen pemikiran ini tidak lepas dari bayang-bayang filsafat Ismailiyyah dan aliran Syiah.

Kendati adanya pengaruh dari Syiah Ismailiyyah, aliran kebatinan Ibnu Masarrah ini amat jauh dari visi ideologi politik Syiah. Artinya, aliran kebatinan Ibnu Masarrah terlepas jauh dari ideologi politik gerakan Syiah yang ingin menghancurkan negara Sunni. Secara lebih tegasnya, aliran ini berbeda dari Syiah Ismailiyyah karena hanya memfokuskan diri pada pengembangan rohani, bukan pengembangan rohani untuk tujuan politik. Para ahli kemudian menyebut ajaran kebatinan Ibnu Masarrah ialah tasawwuf isyraqi, tasawwuf iluminasi.

Related posts