Biografi Singkat Ibnu Farabi : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Singkat Ibnu Farabi : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

Biografi Al Farabi | Biografi Singkat Ibnu Farabi | Profil Ibnu Farabi | Pendidikan Ibnu Farabi | Karya Ibnu Farabi | Pemikiran Al Farabi | Filsafat Al Farabi | Wislahcom | Referensi |

Profil Ibnu Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami Al-Andalusia. Ia terkenal dengan panggilan Muhyiddin Ibnu Arabi. Ia lahir di Murcia, Andalusia, Spanyol, tahun 560 Hijriah (1164 M) dari keluarga terpandang dan wafat pada tahun 638 Hijriah. Orang tuanya sendiri adalah seorang sufi yang memiliki kebiasaan berkelana. Pada usia 8 tahun, Ibnu Arabi sudah merantau ke Lisabon untuk belajar agama dari seorang ulama yang bernama Syaikh Abu Bakar bin Khalaf.

Setelah selesai belajar ilmu al-Quran dan hukum Islam, ia pindah lagi ke Sevilla yang pada masa itu merupakan pusat pertemuan para sufi di Spanyol. Di sana ia mempelajari al-Quran, hadis, dan fiqh dari seorang ulama Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. Ia menetap selama 30 tahun untuk memperluas pengetahuan di bidang hukum Islam dan ilmu kalam serta mulai belajar tasawuf.


Mesir adalah negeri pertama yang ia singgahi untuk beberapa lama, tetapi ternyata di daerah itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh karena itu, ia melanjutkan pengembaraannya melalui Jerussalem dan menetap di Mekah untuk beberapa waktu. Akan tetapi ia tidak menetap di kota suci tersebut, karena pengembaraannya berakhir di Damaskus sebagai tempat menetapnya sampai ia meninggal tahun 638 Hijriah (1240 M) dan dimakamkan di kaki Gunung Qasiyun. Ia mempunyai dua orang anak, pertama namanya Sa’duddin yang dikenal sebagai penyair sufi dan anak keduanya bernama Imaduddin, mereka dimakamkan berdekatan dengan Ibnu Arabi.

Ibnu Arabi adalah penulis produktif. Menurut Browne, ada 500 judul karya tulis dan 90 judul di antaranya asli tulisan tangannya yang disimpan di perpustakaan Mesir. Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah, Tarjuman Al-Asyuwaq, dsb.

Pendidikan Ibnu Farabi

Sejak kecil, al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan, bahkan ada yang mengatakan bahwa al-Farabi dapat bicara dalam tujuh puluh macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa : Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.

Pada waktu mudanya al-Farabi pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad kepada Abu Bajkar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Akan tetapi, tidak beberapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun. Di Baghdad pula ia membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang dikenal yaitu Yahya ibn Adi, filusuf Kristen. 

Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah AlHamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana. dengan tunjangan yang besar sekali, tetapi al-Fārābī memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja setiap hari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan yang diterimanya, di bagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus.

Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya al-Farabī di Damaskus adalah al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih dan kaum cendekiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun al-Farabī tinggal di Aleppo dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa di antara kedua kota ini semakin memburuk. Sehingga Saif Ad-Daulah menyerang kota Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya.

Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.

Al-Farabi orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Kehidupan yang gemerlap dan kemegahan di istana tidak memengaruhinya, dan dalam pakaian seorang sufi dia membebani dirinya dengan tugas berat ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemercik air sungai dan di bawah dedaunan dan pepohonan yang rindang. Al-Farabi hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu. Sehingga tidak dekat dengan penguasapenguasa Abasiyah waktu itu.


Karya Ibnu Farabi

Guru kedua setelah Aristoteles ini (al-Farabi) berhasil menyusun buku tanya jawab tentang pendidikan tinggi, menyusun pelajaran musik, puisi, tata bahasa Arab, sejarah, filsafat. Beberapa buku musiknya berisi model ritme dan model melodi (nagham). Al-Farabi pun adalah seorang sufi. Tak diragukan lagi seorang sufi adalah seorang yang jujur. Al-Farabi mengatakan bahwa dia menjadi seorang sufi agar dia mempunyai banyak waktu untuk menulis?

Pada saat ia menjadi penjaga sebuah taman di Damaskus; kemudian juga bekerja di Bai’ al-Hikmah, disanalah ia banyak membaca kitab di bawah cahaya lampu lilin di rumah penjaga taman itu. Sebagian besar karangannya mengomentari buku-buku karangan Aristoteles dan Al-Magisti (Al-Magest). Dia menulis buku tentang politik berjudul “As-Siyasah al-Madinah al-Fadhilah dan buku Al-Musiqa wal Maba fiil Insaniyah.

Karangan lain dari al-Farabi adalah Al-Aghadlu ma Ba’da at-Thabi’ah, AlJam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles), Tahsil as-Sa’adah ( Mencari Kebahagian), ‘Uyun ul-Masail (Pokok-Pokok Persoalan), Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama), dan Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).

Pemikiran  Ibnu Farabi

Al-Farabi memiliki teori tentang pengetahuan, al-Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusian. Tetapi pengetahuan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriyah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.

Menurut al-Farabi di dalam akal manusia terdapat kesiapan dan persiapan fitrah untuk membebaskan totalitas dari gambaran-gambaran inderawi yang bersifat parsial dan tersimpan di dalam daya fantasi dengan bantuan Akal Aktif. Sehingga, akal potensial pindah ke tingkat akal aktual kemudian pindah ke tingkat akal mustafad (akal yang dapat menangkap hal yang bersifat materi dan non materi. (fisik dan metafisik), dimana ia membentuk seluruh objek rasional menjadi rasional secara aktual. Dan yang beremanasi kepadanya dari Akal Aktif adalah suatu daya yang memungkinkannya memahami objek rasional secara langsung.

Menurut al-Farabi, Akal Aktif (yaitu seluruh ciptaan yang sudah ada sejak zaman diciptakan (azali) mengumpulkan semua gambaran yang ada di dalam dirinya, lalu mengirimkannya ke alam indera agar mengenakan materi, sebagaimana juga mengirimkannya ke akal manusia agar menghasilkan pengetahuan. Di antara gambaran-gambaran yang ada di dalam akal manusia dan gambaran-gambaran yang ada di alam indera terdapat kesesuaian universal yang membuat pengetahuan menjadi yaqinah (pasti).

Kesesuaian itu dibawa ke pusat semua gambar inderawi dan rasional dari Akal Aktif. Adapun tujuan akhir dari akal manusia adalah kebersambungan dengan akal yang terpisah dan mengidentikkan diri dengannya. Artinya, bahwa pengetahuan yaqinah tidak akan dicapai kecuali melalui emanasi yang berasal dari Akal Aktif sebagai pemberi pengetahuan dan pemberi gambar-gambar. Oleh Karena itu ia disebut ma’rifah isyraqiyah (pengetahuan iluminatif).

Al-Farabi mengatakan tercapainya ma’qulat (objek-objek rasional) yang pertama bagi manusia adalah kesempurnaan pertama. Ma’qulat dijadikan agar manusia menggunakannya untuk berproses menuju kesempurnaannya yang terakhir. Itulah kebahagiaan, yaitu jika jiwa manusia mengalami proses kesempurnaan dalam eksistensinya sehingga tegaknya jiwa tidak membutuhkan materi. Hal itu terjadi jika jiwa termasuk kumpulan sesuatu yang bebas dari fisik dan kumpulan substansi yang berbeda dengan materi serta tetap selalu bertahan dalam situasi tersebut, kecuali jika tingkatannya berbeda di bawah tingkatan Akal Akif.

Kontak akal mustafad dengan Akal Aktif dan penerimaan emanasi ma’qulat darinya merupakan faktor yang membentuk kebaikan yang paling agung dan kebahagian terbesar yang dapat dicapai manusia seta tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripadanya. Menurut al-Farabi bahwa kebaikan yang dituntut untuk dirinya sendiri dan tidak dicari secara prinsipil serta tidak dalam salah satu waktu. Pendeknya, tidak ada hal lain yang lebih besar yang dapat dicapai manusia selain itu.

Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa perilaku kognitif dan sebagian lain berupa perilaku fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai tetapi, dengan perilaku terbatas dan terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik. Situasi dan bakat menjadi sumber perilaku yang baik adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan untuk mencapai kebahagiaan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku buruk. Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa al-Farabi memandang adanya hubungan yang kuat antara akhlak dan pengetahuan rasional. Dengan demikian, niat baik yang menunjukkan atas akhlak yang baik merupakan hal penting bagi kejernihan jiwa manusia dan peningkatannya ketingkat berfikir sehingga mencapai akal mustafad yang berhak menerima emanasi ma’qulat dari Akal Aktif.

Related posts