Biografi Singkat Abu Yazid Al-Busthomi : Profil, Pendidikan, Karya, dan Pemikiran

Biografi Singkat Abu Yazid Al-Busthomi : Profil, Pendidikan, Karya, dan Pemikiran

Biografi Singkat Abu Yazid Al-Busthomi | Profil Abu Yazid Al-Busthomi | Pendidikan Abu Yazid Al-Busthomi | Karya Abu Yazid Al-Busthomi | Pemikiran Abu Yazid Al-Busthomi | Wislahcom | Referensi |

Profil Abu Yazid Al-Busthomi

Abu Yazid Al Bustami adalah seorang sufi terkemuka pada abad III H. Ia disebut sebagai seorang sufi yang memperkenalkan konsep Fana, Baqa, dan Iittihad dalam pengertian tasawuf. Dalam literatur-literatur tasawuf namanya sering ditulis Bayazid Al Bustami. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 188 H/ 801 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Nama kakeknya adalah Surusyan, penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada namun lebih memilih hidup sederhana.

Abu Yazid dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Saat remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan patuh dalam mengikuti perintah agama serta berbakti kepada kedua orang tua. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum menjadi seorang sufi, ia lebih dulu menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal yaitu Abu Ali As-Sindi yang mengajarkan padanya ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Sedangkan ilmu tasawuf, ia belajar dari orang sufi yang berasal dari Kurdi.


Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan dan minum. Dari kehidupan zuhud yang dijalaninya, timbullah cinta atau mahabbah yang semakin meluas dan mendalam hingga menghanyutkan dirinya hingga tenggelam dalam lautan zuhud. Abu Yazid melihat bahwa pengalaman tasawuf tidak dibenarkan untuk meninggalkan perintah Tuhan. Seorang pengenal tasawuf haruslah memiliki pembimbing atau guru. Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan.

Abu Yazid digolongkan ke dalam kelompok sufi malamatiyat, yaitu sufi yang cenderung bersikap rendah diri, menghinakan serta mencercanya dalam rangka memurnikan pendekatan hubungan kepada Tuhan. Ajaran tasawufnya dikembangkan oleh para pengikutnya dengan membentuk suatu aliran tarekat yang bernama Taifuriyah yang dinisbatkan pada namanya. Pengaruh tarekat ini masih didapati di berbagai wilayah Islam seperti Zoustan, Maghrib, yang meliputi Maroko, Al-Jazair, dan Funisia, bahkan tersebar sampai Chittagon, Bangladesh, yang merupakan tempat-tempat suci yang dibangun untuk memuliakannya.

Abu Yazid meninggal dunia di Bustam pada tahun 261 H/874 M. Makamnya bersebelahan dengan Al-Hujwiri, Nashir Kusrow dan Yaqud. Pada tahun 713 H/1313 M di bangun sebuah kubah di atas makamnya atas perintah Sultan Mongol Muhammad Khudabanda untuk memenuhi saran penasihat agama Sultan yaitu Syekh Syarifuddin yang mengaku keturunan Abu Yazid. Hingga akhir hayatnya, Abu Yazid rupanya tidak meninggalkan karya tulis yang dapat dipelajari. Akan tetapi, ia mewariskan sejumlah ucapan yang diungkapkan mengenai pengalaman spiritual yang disampaikan oleh muridmuridnya

Pendidikan Abu Yazid Al-Busthomi

Waktu remaja, Abu Yazid mempelajari dan mendalami Al-Qur’an serta hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Dia kemudian mempelajari fikih Mazhab Hanafi (salah satu arus metodologi fikih yang didirikan oleh Imam Hanafi, dan salah  satu mazhab yang dianut oleh kamu Sunni), sebelum kesudahannya menempuh jalan tasawuf. Karena dia menganut mazhab Hanafi, karenanya dia termasuk dalam golongan Ashaburra’yi, yakni suatu arus yang memberikan peranan akbar untuk cara melakukan sesuatu /pemikiran (Arab : Al-Ra’yu) untuk memahami hukum Islam.


Karya Abu Yazid Al-Busthomi

Abu Yazid Al-Bustami adalah sufi yang pertama sekali memunculkan faham fana dan baqa dalam ilmi tasawuf. ia senantiasa mempunyai keinginan untuk dekat dengan Allah Swt, sebagaimana ucapannya yang berupaya mencari jalan untuk berada di hadirat Tuhan. Ia berkata “Aku bermimpi melihat Tuhan. aku pun bertanya:

“Ya Tuhanku, bagaimana jalannya untuk sampai kepada-Mu? “Ia menjawab tinggalkanlah dirimu dan datanglah kemari!” Dengan fana Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan, kemudian ia telah berada dekat dengan Tuhan. Ia mengucapkan hal-hal yang puitis seperti:

  •  Aku tidak heran dengan cintaku kepadaMu, karena aku adalah hamba yang sangat butuh, tetapi aku merasa heran terhadap cintaMu kepadaku karena engkah adalah Raja Yang Maha kuasa.
  • Orang-orang bertaubat dari dosa mereka, tetapi aku bertaubat dari ucapanku: “laa ilahaillallah” karena dalam hal ini aku mengucapkannya dengan alat-alat dan huruf-huruf. sedangkan Allah yang Haq di luar huruf-huruf dan alat atau indera.

Ungkapan Abu Yazid yang puitis itu memperjelas adanya ittihad antara jiwanya dan Allah. Dan rangkaian ungkapan itu merupakan ilustasi proses terjadinya ijtihaj. Abu Yazid mengucapkan: “Tuhan berfirman: “semua mereka adalah makhlukKu, kecuali engkau. Kemudian aku berkata “aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau. “

Selanjutnya sehabis Sholat subuh Abu Yazid pernah mengucapkan kata-kata: “sesungguhnya Tuhan hannyalah aku, oleh karena itu beribadalah kepada-Ku”.

 Perkataan Abu Yazid selanjutnya terlukis dalam cerita berikut: “Ada seorang yang datang ke rumah Abu Yazid. lalu ia mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid berkata: siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab:  Abu Yazid. lalu Abu Yazid berkata: pergilah, di rumah ini hannya ada Allah yang Maha Gagah dan Maha Luhur”.

Sebagian orang yang mendengar perkataan dan pernyataan Abu Yazid mereka mengira bahwa Abu Yazid sudah gila dan meninggalkannya.

Pemikiran  Abu Yazid Al-Busthomi

Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai istilah fana, sebagai kosa kata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari gnostisisme hindu-budha. Konsep muraqabah (pendekatan spiritual) yang dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada puncaknya mencapai ekstase (fana) di mana terjadi penyatuan antara  yang mendekat (muraqib, yakni sufi) dan yang didekati (muraqab, yakni Allah).

Pada konteks ini diketahui bahwa Busthami memilah antara konsep ibadah dan marifah di mana ahli ibadah (ritual normatif) dipersepsikan sebagai orang yang jauh untuk dapat meraih marifah (tingkat spiritualitas hasil pendakian sufistik).

Harun Nasution memandang bahwa ittihad (yang menjadi teori sentral darial-Busthami) tampak sebagai suatu tingkatan dalam tasawuf di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu kepada yang lainnya dapat saling berkata: hai aku (ya ana!).

Konsep ittihad ini merupakan pengembangan dari konsep fana dan baqa  yang dicetuskannya. Menurutnya, setelah mencapai marifat, seseorang dapat melanjutkan kepada maqam selanjutnya yaitu fana, baqa dan akhirnya ittihad.

Fana adalah penyirnaan diri dari sifat keduniawian yang di lukiskan laksana kematian jasad dan lepasnya roh menuju kepada kekekalan (baqa) dan dari sini dapat melangkah kepada penyatuan denganAllah (ittihad). Pada titik ini kerap terjadi apa yang diistilahkan dalam dunia sufi sebagai syatahat atau keadaan tidak sadar karena telah terjadi penyatuan di mana dia seolah menjadi Allah itu sendiri.

Konsep fana  sebenarnya memiliki beberapa pemaknaan yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) ungkapan majazi bagi penyucian jiwa dari hasrat-hasrat keduniawian; (2) pemusatan akal untuk berpikir tentang Allah semata dan bukan selainnya; (3) peniadaan secara total kesadaran atas eksistensi diri dengan meleburkan kesadaran dalam eksistensi Allah semata. Inilah yang disebut sebagai fi al-fana  fana (peniadaan dalam peniadaan) atau baqa  fi Allah (menyatu dalam Allah).

Related posts