Biografi Singkat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) : Profil, Pendidikan, Karya, Politik dan Pemikiran

Biografi Singkat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) : Profil, Pendidikan, Karya, Politik dan Pemikiran

Biografi Singkat Abdurrahman Wahid (Gusdur) | Profil Abdurrahman Wahid (Gusdur) | Pendidikan Abdurrahman Wahid (Gusdur) | Karya Abdurrahman Wahid (Gusdur) | Perjalanan Politik Abdurrahman Wahid (Gusdur) | Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gusdur) |

Profil Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September1940 dari latar belakang kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam naungan keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.

Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh fenomenal yang memiliki gaya unik dan khas, pemikiran dan sepak terjang semasa hidupnya sering kali menimbulkan kontroversi. Abdurrahman Wahid atau akrab dengan nama panggilan Gus Dur, Gus adalah nama kehormatan yang diberikan kepada putra kiai yang bermakna mas. Nusantari, mengatakan bahwa, Gus merupakan sebuah kependekan dari orang bagus orang yang berakhlak mulia. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara, ayahnya, KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra KH Hasyim Asy‟ary, pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri Jamiyyah Nadlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia, bahkan barang kali didunia, melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang.


Pada usia 13 tahun, Abdurrahman Wahid harus sudah kehilangan ayahnya, dan hidup sebagai anak yatim. Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur meninggal dunia pada usia 38 tahun karena kecelakaan kendaraan.

Pada saat itu Abdurrahman Wahid sedang melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bersama ayahnya. Ia berada di depan dan ayahnya berada di belakang. Ketika mobil terbalik, ayahnya terlempar keluar dan luka parah. Sehari kemudian meninggal dunia.

Ayah Gus Dur KH. Abdul Wahid pernah menjadi mentri agama pertama, serta aktif dalam panitia sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Baik dari keturunan ayah maupun ibu, Gus Dur menempati strata sosial yang tinggi dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia dan secara genetic Gus Dur masih keturunan darah biru.

Ibu Gus Dur adalah Nyai Sholehah adalah putri dari pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU menjadi Rais Aam PBNU setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh nasional bangsa Indonesia. Gus Dur pertama kali belajar membaca Al Qur‟an pada sang kakek. Pada tahun 1944 ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai ketua partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Keadaan ini memutuskan keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta dan memulai babak baru dengan tradisi yang berbeda dari pesantren. Aktivitas sehari-hari banyak di sibukkan dengan menerima tamu, yang terdiri dari para tokoh dengan berbagai latar belakang bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya. Tradisi ini memberikan pengalaman tersendiri dan secara tidak langsung Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik.

Pada 1984, Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa all-aqdi yang diketuai KH. As‟ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 dipesantren kerapyak, Yogyakarta (1989) dan muktamar di Cipasung, Jawa Barat (1989). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur yang kontroversal. pendapatnya sering berbeda dengan pendapat orang.

Pada hari Rabu, 30 Desember 2009, Gus dur meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak lama. Menurut sang adik, Salahuddin Wahid, Gus Dur meninggal akibat sumbatan pada arterinya.

Pendidikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Abdurrahman Wahid tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.

Pada tahun 1950, Abdurrahman Wahid dan saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayahnya KH. Wahid Hasyim dilantik sebagai Menteri Agama Republik Indonesia.Sehingga akhirnya mereka harus bermukim di Jakarta.karena kedudukan seorang ayah ini pula, untuk kesekian kalinya Abdurrahman Wahidakrab dengan dunia politik yang telah didengarnya dari rekan-rekan ayahnya yang sering mangkal dirumahnya.

Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagai jenjang pendidikn formal Abdurrahman Wahid ditempuh di sekolah-sekolah ”sekuler”. Ia lulus dari Sekolah Rakyat (SR) di Jakarta pada tahun 1953. kemudian dari tahun 1953 hingga 1957, Abdurrahman Wahid melanjutkan sekolah ke Yogyakarta. Ketika ia belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Abdurrahman Wahid tinggal dirumah seorang pemimpin modernis, KH. Junaid, ulama anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah.

Setelah itu ia banyak mengahabiskan waktunya dengan mondok dibeberapa pesantren NU terkemuka. Dari tahun 1957-1959, Abdurrahman Wahid mondok di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Namun pendalamannya tentang ilmu agama masih dianggapnya belum cukup juga, kemudian Abdurrahman Wahid memutusakan untuk kembali ke Jombang. Hingga pada tahun 1960 ia kembali kepesantren Denanyar, Jombang, untuk belajar di pesantern kakeknya dari nasab ibu, yakni KH. Bisyri Syamsuri. Sambil mondok di sana, Abdurrahman Wahid juga belajar di Madrasah Mu’alimat Bahrul Ulum Tambak Baras, Jombang. Berikutnya ia mondok di pesantern Krapyak Yogyakarta dan tinggal di rumah pemimimpin NU terkemuka, yaitu KH. Ali Makshum.

Kemudian pada tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo pada Department of higher Islamic and Arabic Studie. Di Mesir ia tidak menyelesaikan studinya karena universitas tersebut dianggap tidak kondusif bagi dirinya. Selama dua tahun di Kairo justru ia gunakan untuk belajar di luar universitas, dengan mengikuti halaqah, menghabiskan waktunya di Perpustakaan Mesir Nasional “Dar al-Kutub”, serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Prancis. Abdurrahman Wahid juga mengadakan kontak dan bergabung dengan ulama dan cendekiawan Muslim Mesir, seperti Zaki Naguib Mahmud, Soheir al-Qalamawi, dan Syaudi Dheif.

Selepas dari Kairo Abdurrahman Wahid sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Iraq.  Di kota itu ia menghabiskan empat tahun untuk belajar, bukan untuk belajar agama sebagaimana yang diharapkan, melainkan tentang sastra dan kebudayaan Arab, juga filsafat Eropa dan teori sosial. Hingga pada tahun 1971 Abdurrahman Wahid ingin mengenyam dunia pendidikan liberal di Eropa, sehingga ia akhirnya menjelajahi salah satu universitas Eropa untuk pindah atau melanjutkan pendidikan di sana. Namun, Abdurrahman Wahid tidak diterima, dan harapannya tidak kesampaian kerena latar belakang pendidikan yang telah ditempuh sebelumnya. Hingga akhirnya Abdurrahman Wahid memustukan untuk kembali ke Indonesia.


Sekembalinya ke Indonesia Abdurrahman Wahid menetap di Jakarta bersama ibunya dan melangsungkan pernikahannya dengan Nuriyah pada desember tahun 1971. Sejak saat itu Abdurrahman Wahid sangat ingin tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia terutama tentang kondisi pesantren-pesantren yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika keliling mengunjungi pesantren Abdurrahman Wahid sangat terkejut melihat besarnya serangan yang ditujukan pada system nilai tradisional pesantren. Banyak orang dari kalangan pesantren yang merasa perlu untuk menjalankan program sekolah dengan menggunakan silabus negeri. Gus Dur menyambut gembira gerakan untuk merubah pesantren, akan tetapi ia gundah karena unsur-unsur tradisional dalam proses pembelajaran sangat diabaikan. Sejak saat itulah beliau merasa perlu adanya perbaikan dalam proses pembelajaran yang ada di pondok pesantren. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan di Indonesia dan menggagalkan rencana studinya di Belanda

Karya Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Berikut adalah beberapa buku karya Gus Dur :

  • Islam dalam Cinta dan Fakta
  • Sebuah Dialog Mencari Kejelasan; Gus Dur Diadili Kiai-Kiai
  • Tabayun Gus Dur, Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural
  • Islam, Negara, dan Demokrasi
  • PRISMA PEMIKIRAN GUS DUR
  • Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
  • Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser
  • Mengatasi Krisis Ekonomi: Membangun Ekonomi Kelautan, Tinjauan Sejarah dan Perspektif Ekonomi
  • Gus Dur Bertutur
  • 90 Menit Bersama Gus Dur
  • Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat
  • Khazanah Kiai Bisri Syansuri; Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat
  • Sekedar Mendahului, Bunga Rampai Kata Pengantar
  • Umat Bertanya Gus Dur Menjawab
  • Tuhan Tidak Perlu Dibela
  • Islamku Islam Anda Islam Kita

Perjalanan Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur

Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, setelah itu mulai muncul partai politik baru seperti PAN dan PDI-P. Pada Juni 1998, banyak orang komunitas NU mengusulkan agar Gus Dur mendirikan partai politik dan permintaan tersebut mulai ditanggapi pada bulan Juli, Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasihat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.

Pada November 1998, Di Ciganjur Gus Dur bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.

Terpilih Menjadi Presiden RI

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam pemilu legislatif, PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Namun, karena PDI-P tidak memiliki kursi mayoritas penuh, lalu membentuk aliansi dengan PKB. Pada bulan Juli, Amien Rais membentuk Poros tengah yaitu koalisi partai-partai Muslim.

Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi mengumumkan bahwa Abdurrahman Wahid yang akan dicalonkan sebagai presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul untuk mulai memilih presiden baru, kemudian Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Indonesia ke-4 dengan perolehan 373 suara.

Pada masa pemerintahannya, Ia membentuk Kabinet Persatuan Nasional yaitu kabinet koalisi yang anggotanya berasal dari berbagai partai politik, seperti : PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK) termasuk juga Non-partisan dan TNI. Kemudian Gus Dur melakukan dua reformasi pemerintahan, reformasi pertama yaitu membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media dan reformasi kedua yaitu membubarkan Departemen Sosial yang korup.

Gus Dur berencana memberikan referendum kepada Aceh. Namun referendum tersebut bukan untuk menentukan kemerdekaan melainkan untuk menentukan otonomi.

Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat memilih secara langsung, PKB memilih Gus Dur sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolaknya sebagai kandidat Capres.

Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Seperti yang kita ketahui, Abdurrahman Wahid adalah cucu dari pendiri serta kiai yang paling senior dalam jajaran kiai Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim Asy’ari dalam kedudukannya adalah pendiri NU yang sejak berdirinya tahun 1926 menjadi rais Akbar NU, jabatan tertinggi yang di pegangnya hingga wafat tahun 1947. Seperti yang diungkapkan oleh Choirul Anam bahwa Wahab Hasbullah selaku pengganti KH. Hasyim Asyari setelah meninggal dunia tidak memakai lagi nama Rais Akbar, tapi memakai nama Rais A’am karena merasa derajat keulamaannya masih belum setingkat dengan KH. Hasyim Asy’ari. 103 Hal tersebut menggambarkan betapa diseganinnya KH. Hasyim Asy’ari oleh ulama-ulama NU lainnya.

Abdurrahman Wahid juga merupakan cucu dari pengasuh pondok pesantren Denanyar Jombang, kiai Bisri Syansuri yang juga masuk dalam jajaran ulama pendiri NU dan juga sangat dihormati dikalangan pesantren dan NU. Kiai Bisri juga menjadi Rais A’am NU menggantikan Wahab Chasbullah sampai beliau wafat tahun 1980. Kedua kakek Abdurrahman Wahid tersebut sangat dihormati di kalangan NU, baik karena peran mereka dalam mendirikan NU maupun karena posisi mereka sebagai ulama. Selain itu, Abddurrahman Wahid adalah putra dari Wahid Hasyim salah satu pahlawan nasional yang sangat disegani oleh berbagai kalangan karena jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dalam diri Abdurrahman Wahid mengalir deras darah biru NU, seperti yang diutarakan Laode Ida bahwa NU berdiri atas andil dari beberapa tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan KH. Cholil (dari Madura) keluarganya akan dianggap sebagai darah biru NU. Kendati demikian, yang paling menonjol di masyarakat sebagai keluarga darah biru NU adalah keluarga keturunan KH. Hasyim Asy’ari, dan yang sering direpresentasikan oleh Abdurrahman Wahid. Dengan geneologi yang dijelaskan diatas, maka secara otomatis Abdurrahman Wahid telah berada pada posisi inti dalam kosmologi dan emosi komunitas Nahdlatul Ulama.

Posisi geneologi Abdurrahman Wahid seperti yang dijelaskan diatas sangatlah mendukung pemikiran-pemikirannya diterima dalam mengembalikan NU pada khittah serta diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal dan mempunyai peran yang dominan di Tim Tujuh. Tim yang yang pada saat itu mendapat tugas untuk merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU yang sesuai dengan Khittah 1926. Selain itu Tim ini juga merumuskan pola kepemimpinan yang sesuai dengan perkembangan NU serta menetapkan garapan yang hendak dikerjakan kedepan untuk disampaikan saat Munas Situbondo. Munas ini merupakan kemenangan nyata bagi kiai Achmad Siddiq serta Tim Tujuh karena pada munas ini berhasil membenahi NU serta mengembalikannya pada garis Khittah 1926.

Sesuai dengan tradisi nasab NU, Abdurrahman Wahid mempunyai darah biru NU dengan karismanya tersendiri akan lebih bisa mempengaruhi perubahan pada diri NU. Selain itu ia akan lebih bisa memainkan peran besar dalam Majelis 24 serta Tim Tujuh yang bertujuan mengembalikan NU pada Khittah 1926 serta penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Tradisi nasab yang dimaksudkan diatas adalah tingkah laku atau kebiasaan serta aturan-aturan tidak tertulis yang dipegang teguh oleh para kiai NU maupun warga NU baik dalam kehidupan berorganisasi serta kehidupan bermasyarakat sebagai konsekuensi dari ajaran agama yang mereka pelajari dan diajarkan dari lingkungan nahdlatul ulama.

Prof. Dr. Koentjaraningrat mengategorikannya: “wujud kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya”, yaitu wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak, yang lokasinya “dalam alam pikiran” manusia warga masyarakat. Yang dimaksud disini adalah semua kaum warga NU yang masuk dalam jajaran organisasi NU maupun tidak. Dimana tradisi menghormati dan menempatkan kedudukan ulama yang dianggap paling senior pada posisi paling atas sudah lama dilakukan.

Related posts