Biografi Al-Jilli | Biografi Singkat Abdul Karim Al-Jilli | Profil Abdul Karim Al-Jilli | Pendidikan Abdul Karim Al-Jilli | Kitab Karya Abdul Karim Al-Jilli | Pemikiran Abdul Karim Al-Jilli | Tasawuf Al-Jili | Wislahcom | Referensi |
Profil Abdul Karim Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli, lahir tahun 1365 M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi sebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun1417 M. Ia adalah sufi terkenal dari Baghdad. Ia belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyyah yang sangat terkenal. Tidak hanya itu, ia juga berguru kepada Syaikh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) tahun 1393-1403 M.
Abdul Karim al-Jili merupakan seorang sufi yang masyhur di Bagdad. Dia mendapatkan gelar paling tinggi dalam maqam sufi yaitu Quthb al-Din. al-Jili diyakini lahir di Bagdad. Hal itu didasarkan atas pengakuan dirinya sendiri yang menyatakan bahwan dirinya adalah keturunan dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Menurut kesepakatan para peneliti, al-Jili lahir pada tahun 767 H di awal bulan Muharram.
Pemikiran tasawuf al-Jili ini menarik utuk dicermati. Budaya Yaman sangat memengaruhi kehidupan sosio kulturalnya. Saat itu Bani Rasul sedang menguasai pemerintahan. Pengetahuan keagamaan yang berkembang di pemerintahan Bani Rasul bercorak sunni dan perkembangan kajian filsafat belum maksimal.
Pendidikan Abdul Karim Al-Jilli
Kehidupan al-Jili dihabiskannya di Yaman sebelum ia mengembara ke daerah India. Selama di Yaman, ia tinggal bersama gurunya Syeikh Syarifuddin Ismail Ibn Ibrahimal-Jabarty. Pada saat itu, tasawuf yang berkembang adalah corak tasawuf falsafi yang diprakarsai ibn ‘Arabi, dimana corak ini mempengaruhi bentuk tasawuf alJili. Tidak banyak tulisan-tulisan al-Jili dapat ditemukan. Meskipun demikian, ada satu karyanya yang terbesar yang tidak terlepas dari pengaruh pemikiran tasawuf Ibnu ‘Arabi adalah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awa’il wa al-awakhir yangterdiri dari dua juz dan berisi 63 bab. Buku ini sempat memperoleh perhatian yang serius dari kalangan ulama fiqh, karena masih terkait dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Meskipun konsep insan kamil ini terinspirasi dari konsep wahdat al-wujud ibnu ‘Arabi, bukan berarti al-Jili sepentuhnya mengadopsi pemikiran ibn ‘Arabi. Mungkin dalam beberapa hal, mempunyai kemiripan dengan apa yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi, seperti qadim atau baharunya alam, namun dalam konteks uraiannya, ia justru telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam memberikan uraian secara sistematis dan integral terhadap pemikiran tasawuf falsafi Ibnu ‘Arabi.
Karya Abdul Karim Al-Jilli
Menurut Isma’i Pasya al-Baghdadi, karya al-Jili berjumlah 11 buah. Pendapat ini menyempurnakan pendapat Haji Khalifah yang meenyebutkan karya al-Jili berjumlah enam buah kitab. Sedangkan menurut Muhammad Iqbal, jumlah karya al-Jili hanya tiga dan itu pun hanya ulasan karya Ibn Arabi.
Mengenal al-Jili rasanya tidak lengkap kalau tidak mengenal pula karya populernya, yaitu al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Kitab ini terdiri dari 41 bab pada jilid pertama dan 22 bab pada jilid kedua. Kitab unggulan al-Jili ini diluncurkan oleh beberapa penerbit, seperti Dar Al-Fikr (Beirut), Maktabah Shabih (Kairo) dan Dar al-Kutub al-Mishriyah (Kairo).
Ada beberapa alasan mengapa kitab ini disebut unggulan. Pertama, kitab ini sempat diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Universal Man oleh Angele Culme Seymour. Kedua, Kitab ini juga diterjemahkan ke bahasa Perancis dengan judul De l’Homme Universal oleh Titus Burckhardt. Ketiga, ada pembahasan yang sangat menarik dalam kitab tersebut, yaitu konsep Insan Kamil.
Istilah Insan Kamil secara bahasa tersusun dari dua kata, yaitu al-insan yang mempunyai arti manusia serta al-kamil yang berarti sempurna. Dalam sejarah Islam, Insan Kamil pertama kali muncul dari ide Ibn Arabi awal abad ke 7 H/13 M. Ibn Arabi menggunakan istilah ini untuk melengkapi konsep “manusia ideal”. Jika dilihat dari segi materinya, sebenarnya Insan Kamil ini telah lama ada, namun tidak banyak yang menggunakan istilah ini.
Yusuf Zaidan berpendapat, istilah Insan Kamil mengarah pada hamba yang saleh. Istilah ini disandarkan pada Nabi Khidir, seorang manusia yang dikenal kaum muslimin karena bisa mengetahui rahasia yang tidak bisa diketahui manusia biasa. Istilah ini pun sempat disandarkan pada Uways al-Qarni, seorang tabi’in asal Yaman. Selain itu, banyak juga tokoh sufi yang memberikan perhatian terhadap konsep Insan Kamil, di antaranya Ibn Arabi dan al-Jili sendiri.
Pemikiran Abdul Karim Al-Jilli
Ajaran tasawuf Abdul Karim yang terpenting adalah paham insan kamil. Menurutnya, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan. Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Adapun perumpamaan yang dikemukakan oleh Al-Jilli ini adalah Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya sendiri, melalui cermin. Demikian pula dengan Tuhan yang mengharuskan diri-Nya agar semua sifat dan nama-Nya dilihat, maka Tuhan menciptakan insan kamil sebagai cermin bagi diri-Nya. Dari sinilah tampak hubungan antara Tuhan dan insan kamil.
Menurut Al-Jilli, insan kamil merupakan proses tempat beredarnya segala sesuatu yang wujud (aflak al-wujud) dari awal hingga akhir. Ia adalah satu sejak diwujudkan dan untuk selamanya. Ia dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. Nama aslinya adalah Muhammad, nama kehormatannya Abu Al-Qasim, dan gelarnya Syamsudin. Dari uraian tersebut, Al-Jilli menunjukkan penghormatan dan apresiasi yang tinggi kepada Nabi Muhammad sebagai insan kamil yang sempurna, sebab walaupun beliau telah wafat, nurnya akan tetap abadi dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup. Adapun pendapatnya mengenai insan kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut martabah (jenjang atau tingkatan), diantaranya:
- Islam. Islam yang didasarkan pada lima rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam, misal puasa. Menurutnya, puasa merupakan syarat untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar orang yang berpuasa memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan.
- Iman. Artinya, membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman menunjukkan sampainya hati untuk mengetahui sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal, sebab sesuatu yang diketahui akal tidak selalu membawa keimanan.
- Shalah. Pada maqam ini kaum sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan tujuan ibadah pada maqam ini adalah mencapai nuqthah Ilahi pada lubuk hati sehingga menaati syariat dengan baik.
- Ihsan. Pada maqam ini menunjukkan bahwa kaum sufi mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya.
- Syahadah. Pada maqam ini, kaum sufi telah mencapai iradat yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi.
- Shiddiqiyyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap dari ‘ilm al-yaqin. Menurut Al-Jilli, kaum sufi yang telah mencapai derajat shiddiq mampu menyaksikan hal-hal yang ghaib kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya setelah mengalami fana, ia akan memperoleh baqa Ilahi. Inilah batas pencapaian ‘ilm al-yaqin.
- Qurbah. Ini merupakan maqam yang memungkinkan kaum sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama Tuhan.