Wislahcom | Referensi | : Catatan serius ini sengaja saya posting untuk menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76. Pemilihan judul Ali Ahmad Bakatsir pun bukan karena sama-sama memiliki nama Ahmad. Ini tentang salah satu sastrawan Mesir yang saya kagumi. Sastrawan dengan keindahan bait-bait puisi yg diciptakannya. Dan tentang Indonesia yang begitu dicintainya. beliau merupakan sosok pejuang kemerdekaan dari bumi Mesir.
Bagaimana dengan biografi Ali Ahmad Bakatsir?
Simak penjelasan singkat tentang : Profil Ali Ahmad Bakatsir, Karya Ali Ahmad Bakatsir, Catatan Ali Ahmad Bakatsir dan Syair-Syair Ali Ahmad Bakatsir.
Profil Ali Ahmad Bakatsir
Ali Ahmad Bakatsir (1910-1969) adalah sastrawan Arab kelahiran Surabaya yang sangat mencintai tanah kelahirannya. Walaupun sejak 1934 ia mukim di Cairo, kemudian 1951 resmi menjadi warga negara Mesir, kecintaannya pada Indonesia tidak luntur, bahkan semakin tak terbendung. Kecintaan ini dituangkan dalam beberapa beberapa puisi, novel dan naskah drama yang ia tulis dan dipentaskan.
Ali adalah orang yang pertama kali menulis drama berbahasa Arab dalam bentuk puisi secara fasih. Kiprahnya yang sangat berpengaruh di Mesir hingga mendapat kewarganegaraan yang dinaturalisasikan oleh Raja Fuad dan dipatenkan sebagai sastrawan besar Mesir. Ali juga mendapat anugerah Medali Kehormatan Republik Indonesia atas jasa-jasanya yang ikut andil memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia melalui bidang seni karya sastra yang disematkan langsung oleh Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno di Mesir.
Pada 10 November 1969, Ali wafat. Duta Besar Indonesia untuk Mesir saat itu, Letjen TNI (purn.) A. J. Mokoginta turut mengantarkan ke peristirahatan terakhir. Kehadiran tersebut untuk mengenang jasa Ali sebagai sastrawan nasionalis pejuang kemerdekaan Indonesia. Berkat potensi Ali dalam mengusung tema kemerdekaan Indonesia dalam drama ‘Audatu al-Firdaus yang dipandang sebagai kerangka respon di balik proses pengakuan Mesir dan Liga Arab terhadap kedaulatan Indonesia.
Karya Ali Ahmad Bakatsir
Diantara karya spektakuler yang menggambarkan “kecintaan” Ali Ahmad Bakatsir terhadap Indonesia adalah naska drama yang berjudul : عودة الفردوس ( Kembalinya Surga Firdaus) yang menceritakan babak puncak perjuangan menuju proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Drama ‘Audat al-Firdaus, mengisahkan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Diterbitkan pertama kali oleh Maktabah Mesir Press. Dalam cetakan asli berjumlah 155 halaman. Jiwa nasionalisme tokoh pribumi dan tokoh intelektual ditonjolkan Ali sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.
Empat babak dalam drama ini, menampilkan Sulaiman pengikut Syahrir, Majid pengikut Soekarno, Zainah (kekasih Sulaiman, saudari Majid), Aisyah (saudari Sulaiman), Halimah (ibu Sulaiman dan Aisyah), Haji Abdul Karim (ayah Sulaiman dan Aisyah), Otih (pembantu Abdul Karim), Izzuddin (pimpinan perlawanan rahasia Jepang), Sutan Syahrir (tokoh nasional), Soekarno (kepala negara), Van Dick (warga Belanda, tawanan Jepang), Van Martin (warga Belanda, sekutu Jepang), Kitajo dan Sahuti (tentara Jepang, tawanan pribumi). Ali juga menulis kesan pada pengatar dramanya yang bertuliskan “Untuk mendengarkan suara rantai yang terlepas yang membelenggu 75 juta bangsa Indonesia”.
Ia sukses menggambarkan karakter pribumi dan kaum cendikiawan dalam suasana kemerdekaan tersebut. Latar yang diambil dalam ‘Audatu Al-Firdaus yaitu rumah Haji Abdul Karim dan Markas Gerakan Bawah Tanah di suatu kampung. Ali jelas menunjukkan dua strategi yang berlawanan untuk merebut kemerdekaan yaitu jalan diplomasi yang dipahami Majid pengikut Soekarno dan jalan perang yang diyakini Sulaiman pengikut Syahrir. Toleransi inilah yang ingin digaungkan Ali guna meraih kemerdekaan, tak perlu menghilangkan perbedaan. Perbedaan bukan hambatan, tetapi kekuatan tambahan mewujudkan kemerdekaan.
Dua strategi yang berlawanan dipahami pembaca sebagai bentuk perselisihan berkepanjangan. Namun, alur cerita yang ditampilkan di luar perkiraan. Perbedaan strategi tersebut telah disepakati baik oleh Soekarno maupun Syahrir. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dapat diwujudkan Ali dalam penggalan kisah perdebatan panjang antara Majid dan Sulaiman tentang jalan terbaik yang harus diambil. Dilanjutkan dengan penyerbuan oleh pasukan Syahrir, berakhir pada keputusan Soekarno untuk menarik mundur anak buah Syahrir. Meski Sulaiman sempat menolak hal tersebut, tetapi Syahrir dapat memahamkan Sulaiman, bahwa perjuangan belum berhenti saat mencapai kemerdekaan, harus ada penerus untuk mengisi kemerdekaan.
Jiwa nasionalisme, toleransi, dan perjuangan dalam ‘Audatu Al-Firdaus merupakan bentuk apresiasi dan harapan bagi Ali bahwa semua negara dapat merdeka dengan usaha-usaha tersebut. Kisah tersebut menolak keras pernyataan kemerdekaan Indonesia adalah pemberian penjajah melainkan didapat dengan tetesan air mata, keringat, dan darah pahlawan.
Ali telah mempersembahkan hampir lima puluh karya sastra dan lebih dari tiga puluh karya sastra drama telah ditulis. Kiprahnya yang besar mengesankan masyarakat Arab. Ali secara kuat berusaha menonjolkan nuansa keislaman sebagai ekspresi dari keyakinan dan lingkup sosial budaya yang dimilikinya. Beberapa di antara karyanya adalah al-Malhamah al-Islamiyyah al-Kubra’, Fi Bilad al-Ahqaf, Wa Islamahu, dan Siratu Syuja’ yang tidak lepas dari tema sejarah, legenda, dan folklor. Bahkan beberapa karyanya telah difilmkan, salah satunya Salamah al-Qis.
Catatan Ali Ahmad Bakatsir
Setidaknya ada empat catatan penting mengenali Ali Ahmad Bakatsir.
Pertama, Ali Ahmad Bakatsir sebagai sastrawan telah berjasa memperkenalkan nama Indonesia bagi politisi, akademi dan rakyat awam dunia Arab dan Afrika. Sebab literatur berbahasa Arab sampai awal abad XX tidak ada yang menyebut Indonesia.
Para ulama dan akademisi hanya mengenal nama Jawa.
Kedua, walaupun Ali Ahmad Bakatsir hanya 10 tahun sejak kelahirannya tinggal di Surabaya, tapi kecintaannya pada Indonesia tempat ia lahir sangat menggelora melebihi WNI asli yang sepanjang tinggal di Indonesia.
Ketiga, pengetahuannya tentang tradisi Jawa sangat mendalam. Ia mempraktikkan tradisi itu sekaligus menyebarkannya melalui karya-karyanya. Kedalamannya terhadap tradisi Jawa itu terikat dengan sanak-saudaranya yang sampai saat ini tinggal di Surabaya, Jakarta, Solo dan Jember.
Keempat, selama tinggal tinggal di Mesir antara 1931 sampai wafat pada 1969 ia aktif berhubungan dengan para pemuda dan mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar guna berjuang dalam gerak diplomasi agar Mesir segera mengakui kemerdekaan Indonesia.
Gerak diplomasi ini menghasilkan Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Di sinilah Ali Ahmad Bakatsir ikut berjasa. Jiwa nasionalisme dan kecintaan Ali Ahmad Bakatsir terhadap Indonesia memiliki keunggulan dibanding kaum nasionalis yang lain.
Syair-Syair Ali Ahmad Bakatsir
Saya kutipkan beberapa Syair yg diucapkan oleh tokoh Sulaiman dalam drama Audatul Firdaus karya penyair Ali Ahmad Bakatsir, yang mengisahkan perjalanan kemerdekaan Indonesia.
الحُبُّ وَالْحُرِّيَّةُ
Cinta dan Kemerdekaan
مَتَى يَؤُوبُ الطَّيرْ * يَوْمًا إلى وَكْرِهْ
Kala suatu hari burung itu kembali. Pada sarangnya sendiri
فلا يَجُور الغَيْرْ * فِيهِ عَلَى أمرِهْ؟
Maka tak seorangpun dapat berkuasa. Menentang segala perintahnya
بَعْدَ السُّرَى والأينْ * هلْ يَصِلُ الرّكْبُ؟
Setelah perjalanan malam pada suatu masa. Apakah kabilah itu akan sampai?
وهَلْ تَقَرُّ العَينْ * ويَفْرَحُ القَلْبُ؟
Dapatkah mata berbinar bahagia. Dan hati riang sentosa?
الحبُّ في الأكْبَادْ * لكن تَرَكْنَاهُ
Cinta bersemayam dalam hati. Namun kita tinggalkan ia sendiri
فَلْيَحْطِمِ الأصْفَادْ * مَنْ يَتَمَنَّاهُ
Maka hancurkan saja belenggu itu. Bagi siapa saja yang mendambakannya
يا لَذَّةُ الحُبِّ * إن شيبَ بالذُّلِ؟
Apa nikmatnya cinta. jika masa tua berakhir hina?
الحُبُّ في قَلْبِي * والقيدُ في رِجْلِي؟
Cinta di hati. sedangkan belenggu di kaki?
زَيْنُ اذْكُرِي يا زَيْنْ * هَيمانُ يَهْوَاكِ
Zain …… ingatlah wahai Zain… cinta buta menginginkanmu
ضَرَّسهُ بالبَيْنْ * تحريرُ مَثْوَاكِ
menggertaknya dengan perpecahan.