Wislahcom | Referensi | : Sejak awal, saya tidak yakin jika akar Teologi GPdI datang dari Armenian, Wesleyan, Holiness Movement, bahkan secara serampangan dari Azusa Street seperti diyakini banyak orang selama ini. Mungkin itu terjadi karena banyak orang mengunyah tulisan sejarah yang ada dan terpublikasi lebih dahulu tanpa dicoba untuk dikritisi atau ditantang lagi secara terus-menerus.
Atau barang kali yang ada ialah unsur kemalasan dari tokoh populer GPdI sebelumnya saja sehingga warisan pengajaran diteruskan dan diterima begitu saja tanpa berani “tarung otak dan adu data”. Haraf mahfum, jangan senggol bijinya Tuhan.
Saya mencoba mempelajari alasan-alasan logis yang dibangun untuk meyakini kesalahan data yang diwariskan secara taken for granted tersebut, maksudnya turun-temurun.
Apa Itu? Saya merasa yakin hampir bulat 100%, yang selalu dirujuk ialah latar belakang denominasi gereja atau gerakan para tokoh awal dari kaum Pentakostal modern secara global yang menyebarkannya ke seluruh dunia. Logika sejarah ini tampaknya benar tapi benar hanya bagi yang malas menggali kubur sejarah, alasan lain, tak banyak buku tentang GPdI. Entah sampai kapan itu semua jadi topeng.
Saya, sudah sampai “neg” seperti mau muntah karena kekenyangan membaca data sejarah yang ada. Baiklah, Saya ikutin logika mereka yang sudah keliru itu.
Saya mencoba seperti mereka, yakni menelusuri latar denominasi kaum Pentakostal modern awal. Misalnya Saya membaca buku tulisan dari Frank J. Ewart sendiri. Yah, tokoh ini sangat dibenci banyak orang Trinitarian. Alasannya seolah logis dari mata kaum tiga persona satu substansi tersebut karena Ewart memang adalah dedengkot dari Oneness Pentakosta yang meluas di Kanada dan Australia. Okelah, Saya paham sampai di situ.
Tetapi, sebagai tokoh awal yang masih mengalami fenomena gerakan Pentakosta antara 1906-1914 dan ikut di kamping-kamping Pentakosta setiap tahun sejak awal, justru Ewart adalah Pendeta resmi dari Baptis, sama seperti istrinya.
Dari data sejarah Ewart dapat disebutkan di sini bahwa orang atau Pendeta Baptis juga akhirnya bisa dan mau berbahasa Roh ketika orang tersebut “dijamah” Tuhan dan membuka hati untuk hal tersebut karena memang adalah sesuatu yang Alkitabiah saja. Bahkan, ketika bahasa Roh diucapkan oleh Ewart dites oleh sesama pendeta Baptis yang marah karena gereja Baptis sedang dilawat oleh manifestasi Roh Kudus. Seperti di halaman 13 dalam tulisannya, ia bisa membuktikannya secara langsung ke muka kaum Baptis tersebut. Pendeta itu sendiri mengerti bahasa tersebut sampai-sampai pucat pasi melihat bukti nyata di hadapanya soal bahasa Roh semburat dari lidah Ewart yang telah “disentuh” oleh kuasa Roh kala itu.
Lantas, mengatakan teologi GPdI adalah teologi Alkitabiah (hanya karena semua ajaran diambil-ambil dari ayat -ayat Alkitab dan disistemasasi secara subjektif) bisa-bisa akan mempertebal dan mensosialisasi unsur kemalasan kritik doktrinal seperti sudah saya senggol di atas. Alasannya, berbicara teologi resmi dari organisasi resmi pasti harus berbicara soal nomenklatur resmi dan tata tertib administrasi sebagai “the way of life” teologi bersama yang mana tak lagi sekedar “yang penting sudah berdasarkan Alkitab”. Tak cukup sampai di sana, karena di pintu toliet sekalipun stiker ayat-ayat Alkitab mudah ditemui.
Jika latar belakang tokoh selalu dikaitkan dengan kelompok Teologi, maka jelas sekali bila Teologinya GPdI yang juga selalu dikangkangi untuk terpaksa harus masuk Pentakolisme global memang bukan dari akar teologi seperti telah dituduhkan di alinea pertama di atas. Dari Ewart terlihat sebagai tokoh Pentakostalisme global yang masih ada ikatan dan akar sejarah Azusa Street justru ia adalah pentolan Baptis sebelumnya. Lantas, apa dan bagaimana sejarah sosial di balik Teologi GPdI? Bersambung…
Satu sub point yang sedang Saya tulis: Teologi bahasa Pantekosta dalam monograf buku Sejarah Sosial Teologi Pantekosta.